43|| Isi Hati Anin

81 9 0
                                    

Happy reading')
.
.
.

'Mau sebanyak apapun kamu menjelaskan tentang dirimu pada orang lain, pada dasarnya hanya kita yang bisa memahami diri sendiri.'

***

"Udah?"

Jeff mengangguk menjawab pertanyaan Istrinya, kemudian menaruh ponselnya ke dalam saku tuxedo hitam yang ia kenakan. "Udah take off dari setengah jam yang lalu," jelasnya saat baru saja membaca pesan dari Raffa.

"Terus gimana sama Tara?" tanya Metta acuh, walau dalam hatinya terasa campur aduk. Kecewa, marah, namun masih ada kasih sayang yang tersisa untuk Mahda.
"Biarin aja," jawab Jeff terkesan bodo amat sambil menekan tombol remote Televisi.

Niat awal ingin bekerja, namun, mengingat Istrinya yang baru saja ditinggal kedua anaknya, maka dari itu ia memutuskan untuk tidak bekerja beberapa hari kedepan. Jeff tau rasanya kesepian.

"Tapi, tetep dia anak kita, Pa." Metta akui saat memutuskan mengirim Cilla ke London tanpa memberi tau Mahda perihal kehamilan Cilla, ia sedang dikuasai amarah.

"Udah enggak sejak dia menyakiti Cilla, Ma. Mama sendiri yang bilang kita nggak boleh berurusan sama anak itu lagi." Jeff masih membalas santai dengan pandangan yang tak lepas dari Televisi yang tengah menyala.

"Iya, Mama bilang begitu, tapi, berat rasanya melepas Tara. Bertahun-tahun kita bersama. Mama ingat betul, saat dia berlari ke arah Mama sambil menangis setelah mendengar tetangga ada yang menjelek-jelekkan Mama di hadapannya. Dia menyayangi kita, kan?"

Jeff menoleh ketika mendengar isak tangis dari istrinya. "Dia menyayangi kita, dan begitu juga sebaliknya. Hanya saja, dari awal memang kita yang salah atas kegagalan pernikahan mereka. Kita memutuskan tanpa bertanya pendapat mereka. Tapi, semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa diperbaiki selain masa depan Cilla dan anaknya kelak. Jangan terlalu dipikirkan, nanti Mama drop."

Metta semakin sesenggukan saat Jeff membawanya ke dalam pelukan. Perjodohan konyol itulah yang membawa mereka dalam kehancuran. Tidak ada keharmonisan yang dulu selalu hadir di depan mata, keluarganya terpecah-belah. Pun dengan perginya Cilla, dan Raffa yang juga menambah rasa kehilangan sepasang suami-istri itu. Namun, dalam kondisi seperti ini hanya kepergian kedua anaknya yang menjadi jalan keluar.

Bel berbunyi seiring tangisan Metta yang mereda. Ibu dua anak itu yang lebih dulu melerai pelukan mereka, lalu menatap sang suami penuh tanya. Jeff menjawab dengan gedikan bahu tanda tidak tau siapa yang berkunjung, "nggak tau, Papa nggak ada janji sama siapapun."

"Sekertaris Papa, mungkin, takutnya ada kepentingan mendadak. Biar Mama yang buka," ujar Metta sambil membenahi penampilannya sebelum beranjak membuka pintu.

Pintu terbuka, senyum yang berusaha Metta perlihatkan sedari tadi langsung runtuh tergantikan tatapan dingin nan menusuk yang tak pernah Mahda lihat selama ini. "Ma," panggil Cowok itu  pelan.

"Mau apa lagi?" Mahda menunduk mendengar suara yang terasa asing di telinganya itu, hatinya tentu sakit. Karena kebodohannya, kehangatan yang selalu ia dapatkan dahulu lenyap bersamaan dengan asa yang Mahda punya.

"Maaf, Ma. Mungkin emang Tara nggak pantes buat dapet maaf dari kalian semua, tapi, izinin Tara ketemu Cilla." Mahda bersumpah, dia benar-benar ingin memperbaiki semuanya.

"Untuk apa? Mau kamu sakiti lagi?"

Mahda mendongak sambil menggeleng cepat, tidak sama sekali. "Enggak, Ma, kali ini Tara nggak bakal nyakitin Cilla. Tara mau minta maaf sama dia, dan berusaha buat semuanya kayak dulu lagi, meskipun susah," ujar Mahda begitu yakin, air matanya turut menguatkan keseriusannya.

SATU SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang