6|| Balas budi atau cinta?

70 16 3
                                    

Happy reading')
.
.
.
.


'Pilihan yang sulit, memang. Kala cinta datang, rintangan datang menyerang. Menjadikan manusia paling brengsek yang pernah terkenang. Semoga ia bisa memaafkanku di masa mendatang'

***

Semilir angin malam menerpa wajah rupawan nan tegas itu. Iris legam sekelam jelaga itu terus menerus menelisik ribuan bintang yang menyelimutinya kala itu. Rambut lurus setengah panjangnya berterbangan mengikuti melodi angin. Jemarinya saling bertautan, sedang bergelut dengan pikirannya.

Raganya disini, namun hati dan memorinya menjelajah ke masa lampau.

Jeff dan Metta baru saja keluar dari ruangan itu. Banyak sekali anak-anak seumurannya di dalam sini. Hatinya mendadak gugup saat berdiri di depan kelas.

"Hai, namaku Mahda Megantara. Umurku 9 tahun. Semoga kita bisa berteman baik."

Saut-sautan dari murid kelas itu begitu riuh. Melontarkan segala macam pertanyaan. Dari yang wajar sampai yang nyeleneh.

Setelahnya ia duduk di bangku kosong yang ada di dekat gadis berbando abu-abu. Gadis itu nampak menyambut kehadirannya dengan senyum yang belum pernah ia temui.

Gadis kecil itu mengulurkan tangannya. "Hai, Mahda. Aku Anindya Rahma, bisa dipanggil Anin."

"Hai, Anin. Boleh berteman?"  tanya Mahda setelah membalas uluran tangan itu.

"Boleh. Nanti istirahat kita main bareng, ya."

"Oke."

Sejak saat itu, hatinya terpaut pada satu nama. Segalanya mereka lakukan berdua. Hingga memasuki SMA mereka bertemu dengan Zidan, Imam, baru Cavan, karena Cavan baru saja pindah di semester 2 kelas XII.

Bimbang.

Itulah yang dirasakannya saat ini. Mengingat ucapan yang baru saja ia dengar dari orang berjasa dalam hidupnya. Sedikit merasa sakit, kala tau yang mereka lakukan selama ini harus ada bayarannya.

"Mahda, papa mohon, pikirkan ini baik-baik. Papa percaya sama kamu, kamu pasti bisa menjaga putri kami Cilla. Selama ini kami tidak pernah meminta satu hal pun sama kamu. Sekarang papa minta, untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Tolong turuti keinginan mama, nak."

Kalimat itu terus berdengung di telinganya. Tangan yang tadinya saling bertautan, kini beralih meremas pembatas balkon kamarnya. Melampiaskan segala emosinya.

"Gue gak bisa. Enggak!"

Tubuhnya meluruh ke lantai. Memeluk lutut dengan pikiran yang berkecamuk. Dihadapkan pilihan sesulit ini benar-benar membuatnya gila. Segala keputusan pasti ada resikonya.

Cinta atau balas budi.

Cinta? Resikonya ia dianggap tak tahu diri. Ia juga tak sanggup melihat raut kekecewaan yang nantinya ada di kedua orang tuanya.

Balas budi? Meninggalkan bahagia. Menjumpai luka, kekangan, dan tanggung jawab yang seharusnya belum saatnya ia terima.

Melupakan segala impiannya soal cinta, dan cita-cita bukanlah hal yang mudah. Sekian lama ia berjuang, dan memilih bertahan dengan rasa itu sendiri. Masa harus ditinggal pergi?

Soal cita-cita yang sudah tersusun rapi. Membahagiakan orang tuanya yang sudah tenang di surga sana. Dan juga orang tua angkatnya yang selalu ada di sisinya sejauh ini.

SATU SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang