1

2K 244 2
                                    

***

"Kencan di Le seul, jam 09:00 AM."

G Dragon mendesah sebal karena notifikasi di handphonenya. Padahal mereka sudah putus, tapi notifikasi dari agenda-agenda yang sebelumnya sudah direncanakan tidak ikut hilang seperti kekasihnya. Sebal karena notifikasi itu, G Dragon meninggalkan handphonenya di ruang tengah.

Di dalam kamarnya, pria itu menatap langit-langit ruangannya. Ia berbaring di ranjang, menatap ke atas sembari menghela nafasnya berkali-kali. Ia sudah mengosongkan seluruh jadwalnya hari ini, hanya karena ingin pergi kencan ke Le seul— sebuah restoran aneh yang jadi buah bibir orang-orang setelah dikunjungi Presiden Jepang dan istrinya.

"Haruskah aku datang ke sana?" ragu Jiyong. "Tapi untuk apa aku pergi ke sana sendirian? Harusnya aku tidak membuat reservasi itu!" susulnya, mengingat banyaknya usaha yang sudah ia lakukan untuk memesan tempat di restoran itu.

Jiyong butuh waktu lebih dari satu bulan sampai ia mendapat pesan kalau reservasinya berhasil dikonfirmasi. Ia butuh waktu lebih dari satu bulan untuk bisa berkencan di restoran itu. Namun sayangnya, dua minggu yang lalu hubungannya berakhir begitu saja. Meledak seperti nuklir dan rasanya mustahil bisa diperbaiki. Kerusakan pasca ledakannya, terlalu parah untuk bisa dimaafkan dan dilupakan.

"Dia tidak akan datang ke sini, kan?" ragu Jiyong untuk kesekian kalinya setelah ia akhirnya mandi, berpakaian dan pergi ke Le seul. Dengan setelan jasnya, pria itu datang seolah ia akan makan di restoran mewah yang hanya melayani satu orang pelanggan setiap minggunya. Restoran itu hanya buka di hari Minggu, satu kali dalam seminggu dan hanya melayani satu pelanggan setiap kali buka. "Tapi kenapa restorannya ada di sini? Di rumah?" herannya, yang keluar dari mobilnya kemudian berdiri di depan sebuah pagar kayu dari satu rumah yang amat tertutup.

Ada dinding batu setinggi dua setengah meter yang mengelilingi rumah itu, dengan sebuah gerbang kayu besar untuk jalur keluar masuk mobil dan sebuah pintu— yang juga terbuat dari kayu— di sebelahnya. Sembari melirik jam tangannya, yang kini menunjuk pukul sebelas, Jiyong kembali meragu di depan pintu. Tidak ada pihak restoran yang menghubunginya karena ia tidak muncul di waktu reservasinya. Tidak ada yang mengabarinya kalau reservasinya dibatalkan karena ia terlambat.

"Apa mungkin dia juga datang? Karena itu tidak ada yang menghubungiku?" lagi-lagi pria itu ragu untuk menekan bel rumahnya. "Atau aku datang ke alamat yang salah?" susulnya, terus ragu di depan pintu kayu yang bukan rumahnya itu.

"Oppa datang ke tempat yang tepat," tegur seorang gadis, yang baru saja datang, muncul di belakang Jiyong tanpa bersuara.

Jiyong, alias G Dragon, membeku di tempatnya. Ia mengenali suara wanita itu. Ia masih mengenali nada bicara itu, meski sudah lama ia tidak mendengarnya.

"Aku pikir oppa tidak akan datang," susul gadis tadi, melangkah melewati pintu kemudian mendorong pintu kayu di depan Jiyong dengan sebelah tangannya. "Tidak terkunci," ucapnya, mempersilahkan Jiyong masuk sementara pria itu masih termenung di tempatnya.

"Lisa?" panggil Jiyong, membuat gadis yang sudah berada di pekarangan rumah itu menghentikan langkahnya. Menoleh untuk menatap orang yang memanggilnya. "Lama tidak bertemu," tambah Jiyong, masih canggung terlebih ketika kepalanya membawakan senampan ingatan akan masa lalu mereka.

"Ya, lama tidak bertemu oppa, masuk lah... Oppa sudah membuat reservasi," ajak Lisa, menggerakan tangannya, meminta Jiyong untuk segera mendekat padanya. "Dimana oppa mau makan? Halaman? Di depan gerbang? Bagaimana kalau di dalam saja? Di luar panas. Kemarilah."

Tidak lama, mereka melangkah masuk ke dalam rumah yang juga merangkap sebagai restoran itu. Begitu melangkah ke dalam, Jiyong bisa melihat ruang tengah yang nyaman dan luas. Tidak ada banyak perabot, meski begitu pemilik rumahnya punya beberapa lukisan yang terlihat indah bagi Jiyong. Lukisan-lukisan di atas kanvas persegi yang dipajang di dinding-dindingnya seperti sebuah foto dalam bingkai. Sudut-sudut ruangannya di hias dengan bunga-bunga segar dalam vas, sedang sebuah lampu kristal besar yang tergantung di tengah ruangannya dibiarkan mati.

Mereka terus melangkah masuk lebih dalam. Tidak ada seorang pun orang yang Jiyong temui di sana, sampai mereka tiba di ruang makan juga dapur bersih di bagian belakang rumahnya. "Oppa datang sendirian? Bukankah oppa kesini untuk berkencan?" tanya Lisa kemudian.

"Ya?"

"Apa? Mana kekasihmu?"

"Ah... Kekasihku? Tidak ada,"

"Heish... Oppa ingin aku mempercayai itu? Omong kosong. Jelas-jelas kau datang untuk anniversary, satu tahun? Dua tahun?"

"Batal. Aku baru putus beberapa minggu yang lalu."

"Ah? Sungguh? Aku minta maaf-"

"Tapi bagaimana kau tahu aku datang ke sini untuk merayakan anniversary? Dan dengan siapa kau datang ke sini?"

"Ini rumahku."

"Ya?!"

"Le seul, milikku."

Masih terkejut, Jiyong duduk di meja makan, menghadap sebuah meja kayu besar yang mampu menampung sampai dua puluh orang. Dari atas kursi kayu yang ia duduki, pria itu memperhatikan Lisa di dapur bersihnya. Ia memperhatikan gadis itu tengah menyalakan kompornya, menghangatkan sepanci kecil kaldu di atas kompornya.

Tidak pernah Jiyong bayangkan ia akan bertemu lagi dengan wanita yang mencampakkannya sebelas tahun lalu. Wanita yang menangis di depannya, marah dengan wajah merah padam, mengakhiri kisah cinta mereka. Masih sembari memperhatikan punggung kurus gadis itu, yang tertutup rambut ikal, Jiyong mengingat-ingat alasan mereka putus. Alasan yang sangat keji untuk kembali diingat. Jiyong tidak menyukainya.

"Kenapa dengan wajahmu? Oppa sangat terkejut karena melihatku di sini?" tanya Lisa. "Oppa pasti tidak percaya aku bisa memasak, persis seperti Seunghyun dan Yongbae oppa saat mereka ke sini."

"Seunghyun hyung dan Yongbae pernah ke sini?"

Lisa mengangguk, menunjuk dinding di belakang Jiyong dan meminta pria itu melihat sebuah papan kayu penuh foto di atasnya. Foto-foto para pengunjung Le seul, yang di ambil dengan sebuah kamera instan.
"Hm... Seunghyun oppa datang dengan keluarganya, kalau Yongbae oppa datang dengan istrinya. Seungri oppa juga melakukan reservasi, untuk bulan depan."

Jiyong bangkit, berdiri untuk melihat-lihat foto yang dipajang di sana. Entah sudah berapa lama restoran itu di buka, tapi Lisa punya banyak foto di sana. Sepintas, Jiyong tidak melihat foto orang yang sama di sana. Seolah Lisa selalu memilih pelanggan yang berbeda setiap minggunya. Jiyong melihat foto Seunghyun bersama orangtua dan saudara-saudara. Jiyong juga menemukan foto Yongbae dengan Hyorin di sana. Yang lebih mengejutkan lagi, Jiyong melihat foto beberapa orang terkenal dengan kekasih mereka.

"Biasanya aku mengambil handphone pengunjung-pengunjungku sebelum membiarkan mereka masuk. Tidak ada alat perekam apapun yang ku izinkan masuk. Tapi karena oppa yang datang, aku akan membiarkanmu. Jangan coba-coba membocorkan rahasia pelangganku yang lain, aku bisa menuntutmu," pesan Lisa, yang kemudian bertanya apa Jiyong ingin menikmati makanan pembukanya sekarang atau pria itu masih ingin melihat-lihat restorannya.

Jiyong masih sibuk melihat-lihat, ia fokuskan kepalanya untuk melihat foto-foto itu sembari menata pikirannya. Mereka tidak lagi perlu membahas apa yang sepuluh tahun lalu terjadi, semuanya sudah berlalu dan mereka pun sama-sama sudah berubah— sepertinya. Di saat yang sama, ketika Jiyong tengah melihat-lihat, seorang pria turun dari lantai dua. Sedikit berlari, melambaikan tangannya pada Lisa yang memperhatikan langkahnya kemudian berhambur keluar rumah tanpa mengatakan apapun.

Merasa kalau Jiyong tidak memperhatikannya, Lisa tidak mengatakan apapun. Jiyong tidak menanyakan siapa pria itu dan Lisa pun tidak berencana mengenalkan kekasihnya pada pria itu. "Ini pelanggan pertamamu?" tebak Jiyong, menunjukkan sebuah foto yang kebetulan ia temukan— foto Lisa dengan seorang pelanggannya. Hanya foto itu, yang punya gambar Lisa di dalamnya. Pada foto lainnya, Lisa hanya mengambil gambar pelanggan-pelanggannya.

"Tidak," geleng Lisa. "Dia bukan pelanggan pertamaku. Karena aku tidak mengizinkan kamera apapun ada di sini, aku meminjamkan kameraku pada semua tamu. Polaroid, mereka bisa mengambil gambar sebanyak yang mereka mau dan membawa gambar-gambar itu pulang setelah menunjukannya padaku, kebetulan pria itu datang sendirian dan dia tidak menyentuh kameraku. Jadi aku menawarinya, mau berfoto denganku? dan hanya itu fotonya."

"Ah... Dia tidak suka berfoto?"

"Hm... Kurasa begitu," angguk Lisa. "Sampai sekarang dia tidak banyak berfoto. Dia pelanggan tetap di sini. Kapan oppa mau makan?"

***

Hi, Hello!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang