10

705 134 3
                                    

***

"Oppa, mau ku beri tips untuk menarik hati wanita?" tawar Lisa, kepada Kwon Jiyong yang akhirnya menginjakan kaki di Le seul untuk kedua kalinya. Awalnya Lisa ingin makan di luar, duduk di restoran dan memesan makan malam. Minum bir kemudian pulang ke rumah setelah merasa sedikit lebih baik. Namun Jiyong justru mengajaknya pulang. Jiyong ingin mencicipi masakan Lisa sekali lagi.

"Untuk apa? Aku hanya perlu menatap mereka," tolak Jiyong, yang justru duduk di meja makan, memperhatikan si pemilik rumah yang sedang menyimpan belanjaannya di dalam lemari es.

"Wahh... Menyebalkan," komentar Lisa. "Kalau begitu, apa yang ingin oppa makan sekarang? Aku harus mulai memasak agar kita tidak terlambat makan malam, kecuali kalau oppa hanya ingin semangkuk mie instan."

Lima belas menit, selama Lisa menyimpan belanjaannya, Jiyong berfikir. Sayangnya, tidak ada satupun nama makanan yang muncul di kepalanya. Jiyong tidak tahu apa yang ia inginkan. Jiyong tidak tahu apa yang harus ia makan malam ini. "Kalau begitu, kita minum bir saja, ya? Hari ini tidak ada yang bisa ku ajak minum bir," ajak Lisa, yang justru mengeluarkan sebungkus makanan beku dari lemari es-nya.

Jiyong tidak menolak. Ia menganggukan kepalanya, menerima ajakan Lisa dengan senang hati. Sedang Lisa membuat kudapan untuk teman minum bir mereka, Jiyong berkeliling, melihat-lihat restoran yang beberapa waktu lalu belum sempat ia kelilingi. Dari dapur dan ruang makan yang bersih itu, Jiyong melangkah keluar dari pintu geser berbahan kaca, berjalan ke halaman belakang yang punya sebuah kolam renang.

"Kau berenang?" tanya Jiyong, sedikit berteriak agar Lisa bisa mendengarnya.

"Ya, tengah malam kalau aku tidak bisa tidur. Hati-hati, jangan menyentuh bunga-bunga di dekat dinding."

"Kenapa? Itu bunga beracun? Daisy tidak beracun."

"Jihyuk oppa memasak perangkap tikus di sana. Ada kawat listriknya. Kau bisa pingsan kalau menyentuh kawatnya,"

"Kawat listrik di halaman?! Bagaimana kalau hujan?"

"Air hujannya bisa menyetrum?" santai Lisa, sedang Jiyong bergegas masuk kembali ke dapur, menghindari ranjau berbahaya yang Lisa ceritakan. "Kenapa? Oppa takut? Di dinding dekat pintu, ada sakelar, oppa melihatnya? Matikan sakelarnya kalau takut tersetrum. Aku hanya menyalakan itu kalau sendirian di rumah. Lagi pula pagar berlistrik bukan hal mengejutkan, kan? Kebun binatang, pagar perbatasan antar negara, semuanya memakai kawat listrik."

"Kenapa kau memasangnya di rumah? Menakutkan."

"Keamanan? Aku takut ada pencuri karena tinggal sendirian di sini."

"Kekasihmu tidak tinggal di sini?"

"Dia punya rumah sendiri, tapi sesekali menginap di sini. Oppa tinggal bersama kekasihmu? Maksudku saat kalian masih berkencan."

"Aku pernah melakukannya, tapi saat berkencan dengan Yoona, kami tidak tinggal bersama," cerita Jiyong yang setelahnya terdiam, sebab Lisa menanyakan alasannya putus.

"Tidak perlu menjawabnya kalau tidak ingin-"

"Kenapa dulu kau ingin berhenti menemuiku? Kenapa dulu kita putus?" potong Jiyong, bersamaan dengan Lisa yang selesai memasak udang bekunya menjadi kemerahan, dengan bubuk cabai juga potongan bawang putih.

Belum menjawab pertanyaan Jiyong, Lisa menyajikan masakannya di meja makan. Sembari menunggu Jiyong untuk duduk di sana, gadis itu melangkah mengambil gelas yang sudah lama ia dinginkan, juga sebotol bir. Sedikit canggung, Jiyong menawarkan diri untuk membuka botol itu, Lisa memberikan botol itu pada Jiyong, membiarkan Jiyong membantunya membuka botol bir yang dingin itu.

Dalam kesunyian, mereka menyesap teguk pertama bir masing-masing. Duduk berhadapan dengan dinding kaca dan halaman belakang di sebelah mereka. Sembari melihat rintik hujan yang diam-diam jatuh, Lisa membuka mulutnya.

"Dulu aku membencimu, sangat," tuturnya, tentu membuat Jiyong bertanya-tanya apa alasannya.

Ia tidak pernah berselingkuh. Ia tidak pernah mengabaikan Lisa. Ia tidak pernah meninggalkan gadis itu. Tidak juga pernah ia tunjukan punggungnya pada Lisa. Seingat Jiyong, hanya Lisa yang selalu ia lihat waktu itu. Hubungan mereka baik-baik saja, penuh cinta, penuh kebahagiaan, meski akhirnya mereka terlena dan ketahuan.

"Oppa yang paling tahu betapa inginnya aku berdiri di atas panggung, menari, bernyanyi, menunjukan diriku di depan banyak orang. Aku ingin sekali debut. Oppa yang paling tahu apa mimpiku."

"Hm... Dulu kita berbagi mimpi yang sama. Kita berusaha keras untuk mimpi itu. Tapi kenapa kau membenciku? Padahal saat itu aku sangat menyukaimu. Aku suka berbagi mimpi denganmu. Aku suka berlatih bersamamu. Masa pelatihan dan awal debutku terasa menyenangkan karena mengenalmu. Aku tidak tahu kalau kau membenciku."

"Benar. Aku juga merasa begitu, awalnya. Kita berlatih, debut dan mulai bersinar bersama. Semuanya menyenangkan... Tapi... Saat berita kita keluar, sinarku dipaksa redup sendirian." Lisa bercerita. Membicarakan apa yang sebelumnya tidak pernah bisa ia katakan dengan percaya diri. "Kita sama-sama berkencan, kita sama-sama bergantung satu sama lain, kita saling menghibur, kita menangis bersama, kita tertawa bersama, tapi saat aku di usir dari agensiku, aku membencimu. Kita berkencan berdua, bukan hanya aku yang mencintaimu, bukan hanya aku yang menyukaimu, tapi kita harus menerima takdir yang terlalu berbeda. Agensimu memutuskan untuk mengabaikan beritanya. Mereka hanya meminta kita berhenti bertemu untuk beberapa waktu, sampai keadaan membaik. Tapi agensiku, tanpa mengatakan apapun mereka mengeluarkan berita kalau aku keluar dari grupku, keluar dari agensi. Mereka menyuruhku berlibur beberapa hari, lalu keesokan harinya aku melihat beritanya, kalau aku dikeluarkan. Aku menghubungi managerku, aku menghubungi CEO agensiku, aku datang ke agensiku, tapi tidak ada yang mau menemuiku. Tidak ada yang mau bicara padaku. Aku... Dibuang begitu saja. Kenapa aku harus menerima perlakuan seperti itu hanya karena berkencan denganmu? Aku penasaran tapi tidak ada seorang pun yang memberiku jawaban. Karena itu aku tidak bisa bertemu lagi denganmu. Hanya dengan melihatmu, aku merasa... hancur."

Masih terdiam, Jiyong tidak mengatakan apapun. Ia bahkan tidak lagi menyentuh gelasnya. Pria itu hanya menundukkan kepalanya, mencoba memahami perasaan seorang gadis dua puluh tahun yang mimpinya dirampas dengan begitu keji. Ia mencoba memahami isi hati Lisa yang hancur dua puluh tahun lalu.

"Kalau mengingatnya lagi, aku jadi sangat malu," aku Lisa selanjutnya. "Saat itu aku sangat kekanakan, pengecut, lemah, bodoh, menyedihkan. Iya kan? Kalau bisa mengulang waktu, aku tidak akan melakukannya— menyalahkanmu atas apa yang sebenarnya tidak oppa lakukan. Aku tidak akan menyalahkanmu karena oppa punya agensi yang lebih baik dari agensiku. Maaf-"

"Bagaimana kalau sekarang? Kau sudah merasa lebih baik?" potong Jiyong, yang akhirnya membuka mulutnya untuk bicara juga membasahi tenggorokannya dengan beberapa teguk bir. "Apa sekarang kau baik-baik saja? Aku harap semuanya sudah lebih mudah untukmu sekarang."

Kali ini Lisa yang terdiam. Rekasi Jiyong hari ini, seusai mendengar ceritanya, tidak pernah Lisa bayangkan sebelumnya. Lisa pikir Jiyong akan marah, membencinya, atau setidaknya menganggapnya menyebalkan. Bukan salah Jiyong kalau hubungan mereka ketahuan publik. Bukan juga salah Jiyong kalau fans tidak menyetujui hubungan itu. Saat hubungan mereka terekspos, Jiyong juga mendapatkan banyak hinaan dari publik, sama sepertinya. Dan yang paling penting, bukan Jiyong yang membuat Lisa diusir dari agensinya. Jiyong tidak melakukan apapun, tapi saat itu egonya, membuat Lisa tidak bisa memahami seluruh situasinya.

"Tidak perlu merasa bersalah. Selama ini aku juga membencimu, karena mencampakkanku. Kita impas. Tapi kalau kau tetap merasa bersalah, aku bisa memaafkanmu. Hari ini aku memaafkanmu. Aku bisa membayangkannya, bagaimana perasaanmu saat itu. Aku tidak tahu persisnya, tapi semuanya pasti sulit. Kau sudah berlatih sekuat tenaga, selama yang kau bisa, tapi hasilnya tidak seperti harapanmu, kau pasti hancur. Aku bisa memakluminya. Kau sudah berusaha sebisamu, tidak perlu merasa bersalah. Untung saja kita baru bertemu lagi sekarang, kalau aku tahu alasanmu mencampakkanku saat aku belum terlalu dewasa, mungkin aku akan membencimu seumur hidupku. Aku senang karena tidak perlu membencimu seumur hidupku."

***

Hi, Hello!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang