25

345 79 2
                                    

***

Ia adalah pengantin paling murung yang datang untuk memilih gaun pengantinnya sendiri. Bahunya turun, terkulai malas dengan nafas yang terdengar selalu berat. Seolah ada banyak beban di dadanya. Rasanya seperti setengah jiwanya melarikan diri entah kemana. Ia sedih, bercampur dengan ragu.

Lisa yang sudah murung beberapa hari terakhir ini, tidak lagi bersemangat untuk bekerja. Ia pun tidak lagi membuka restorannya. Langkahnya selambat matahari siang yang enggan terbenam. Malas namun tetap harus bergerak.

"Darimana saja?" tegur Jennie, membuat gadis yang baru saja tiba di tempat kerjanya langsung mengangkat kepalanya.

"Ada urusan," jawab lawan bicaranya, setelah beberapa detik ia menimbang-nimbang jawabannya.

Lisa seharusnya bekerja, namun karena gadis itu terlihat sangat murung hingga tidak bisa mengulas senyum palsunya, Jennie melarang Lisa untuk bekerja. "Jangan menemui murid-muridmu dengan wajah begitu. Pulang saja. Cuti saja hari ini," suruh Jennie. "Aku benar-benar terganggu melihat wajahmu akhir-akhir ini. Apa yang membuatmu sangat kesulitan begitu? Bertengkar dengan kekasihmu?"

"Sudah tiga minggu dia tidak pulang."

"Bukankah itu hal biasa?"

"Dia pergi setelah Jiyong- augh! Ceritanya sudah terlalu panjang untuk bisa aku ceritakan," keluh Lisa, di dalam ruang kecil tempat mejanya juga beberapa barang-barang Jennie berada. "Eonni tahu aku ingin menikah, kan?"

"Hm... Tapi kekasihmu tidak mau. Lalu?"

"Jihyuk oppa mau menikah denganku, setelah misi terakhirnya selesai. Tapi tiga minggu lalu, Jiyong oppa mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak pernah dia katakan. Batalkan saja pernikahanmu dengannya, menikah saja denganku. Aku tahu kau ragu untuk menikahinya, kau bahkan tidak berani memberitahu teman-teman dan orangtuamu. Jihyuk oppa mendengarnya."

"Dia pasti marah. Dia memukul Jiyong?" tebak Jennie dan Lisa menggeleng.

"Tidak tahu, tapi sepertinya tidak," tunduk Lisa, meletakkan kepalanya di atas meja kerjanya, melirik layar laptop yang sudah beberapa hari tidak ia nyalakan. Sama sekali tidak ada semangat untuknya bekerja. "Jihyuk oppa bilang kami bisa menikah di awal tahun nanti-"

"Awal tahun?! Satu minggu lagi?l!" potong Jennie. "Kau gila?! Kau pikir satu minggu cukup untuk menyiapkan semuanya?!"

"Persiapannya sudah delapan puluh persen. Jiyong membantu menyiapkannya, bulan lalu sebelum dia melanggar kata-katanya sendiri dan membuat semuanya jadi canggung."

"Whoa! Kau melakukan semuanya hanya dengan Jiyong? Tanpa memberitahuku? Memberitahu Jisoo juga Rose?! Keterlaluan," gerutu Jennie, membuat Lisa kembali menatapnya dengan matanya yang bergetar, terlihat lelah juga sedih. "Heish... Jangan menatapku begitu! Kau pikir aku akan kasihan melihatmu begini? Melihatmu sangat ingin menikah dengan pria yang pernah meninggalkanmu di hari pernikahan kalian saja sudah aneh untukku. Sekarang dia meninggalkanmu lagi? Kau mau jatuh lagi ke lubang yang sama?"

Tidak seorang pun mendukung pernikahan yang Lisa impikan. Jihyuk sudah pernah meninggalkan Lisa di hari pernikahan mereka yang pertama, mereka ragu Jihyuk akan benar-benar datang kali ini. Bahkan kejadiannya sama seperti sebelumnya— kini Jihyuk menghilang lagi. Ia bahkan pergi setelah dibuat begitu marah. Kalau saja Jiyong tidak melanggar kata-katanya sendiri, janjinya sendiri— kalau ia tidak akan mengajak Lisa menikah dengannya.

Diakhir harinya yang sunyi dan kelabu, Lisa pulang ke rumahnya. Berharap akan bertemu dengan Jihyuk di sana namun justru orangtuanya yang berdiri di depan rumahnya. Kelihatannya kedua orang paruh baya itu baru saja tiba, mereka terlihat khawatir ketika Lisa mendekat dan mulai menyapa. Bertanya juga berbasa-basi kenapa orangtuanya datang tanpa menghubunginya sama sekali. Mungkin sang ibu, atau justru sang ayah juga dapat merasakan rasa sesak yang putri mereka rasakan sekarang, karenanya mereka datang.

"Kenapa kau tidak memberitahu kami kalau pria itu sudah kembali?" tanya sang ibu, sementara putrinya masih membuatkan tiga cangkir teh untuk mereka.

Lisa menoleh karena ucapan ibunya, ia sempat terkejut mendengar pertanyaan ibunya itu namun rasa terkejutnya kemudian mereda— pasti Jennie yang memberitahu mereka.

"Maaf," tunduk sang putri. "Aku tidak ingin kalian marah," bisiknya, yang juga mengatakan kalau ia tidak ingin pulang ke rumah. Ia ingin tetap hidup di tempat tinggalnya sekarang, di rumah kekasihnya.

"Kenapa dia tidak datang tahun lalu?" tanya sang ayah, yang duduk di meja makan, memperhatikan gerak gerik putrinya sendiri.

"Dia terjebak di suatu tempat, sakit dan tidak bisa kembali," kata Lisa, tanpa mengatakan apapun tentang pekerjaan kekasihnya.

"Kau mempercayainya?" desak sang ayah dan Lisa menganggukkan kepalanya. "Aku tidak menyukainya, kekasihmu itu. Tapi ibumu bilang tidak apa-apa kalau kau mau menikah dengannya."

"Ya?"

"Tapi ini kesempatan terakhirnya. Kalau dia tidak datang lagi seperti tahun lalu, kau harus meninggalkannya," tegas sang ayah, membuat Lisa menatap bingung pada ibunya.

Menurut cerita sang ibu, Jihyuk mendatangi rumah orangtua kekasihnya siang tadi. Pria itu sudah berusaha menunjukan penampilan terbaiknya tadi, namun luka di wajahnya tetap tidak bisa ia sembunyikan. Matanya merah seolah sudah beberapa hari ia tidak tidur, beberapa luka di wajahnya tidak diobati dengan benar, hanya diberi beberapa antiseptik agar tidak infeksi. Lukanya pasti membekas— kata ibu Lisa. Ia datang untuk memohon ampun, meminta maaf karena sudah membuat banyak masalah sebelumnya. Ia pun datang untuk meminta izin atas pernikahan yang kekasihnya impikan, dimarahi kemudian diusir oleh ayah kekasihnya.

"Kenapa appa mengusirnya?! Dia terluka! Appa harusnya meneleponku!" protes Lisa, jadi luar biasa khawatir.

"Tidak apa-apa, lukanya sudah hampir sembuh, ibumu hanya membesar-besarkan!" balas sang ayah, tidak menghapus kerucut di bibir putrinya.

Ketika Lisa merasa kalau seluruh dunia menentang keputusannya, kedua orang yang membesarkannya justru datang, berdiri mendukungnya. Meski sang ayah tidak menyetujui impian putrinya, ia tidak meninggalkannya. "Aku tidak setuju kau menikah dengan pria seperti Min. Kau akan sangat kesepian karenanya. Tapi kalau kau sangat menginginkannya, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Daripada kau memilih untuk menikah diam-diam, kawin lari lalu tersiksa sendirian seperti sekarang. Menikah saja di depanku," kata sang ayah.

Mengetahui kalau putrinya sudah berusaha menyiapkan pernikahannya sendirian membuat pria paruh baya itu tidak bisa mengabaikannya. "Untuk sekarang, aku menyetujui pernikahanmu karena kau sudah berusaha mewujudkannya, keinginanmu itu. Bukan karena aku senang kau akan menikah dengan pria seperti kekasihmu itu. Karena itu, jangan tersiksa sendirian. Kau punya orangtuamu, kau punya kami," susul sang ayah, membuat gadis yang sangat ingin menikah itu menangis. Kembali menjadi putri kecil kesayangan ayah dan ibunya. Setelah lama khawatir sendirian, kini ia mendapatkan kembali tempatnya bersandar. Bahu kokoh ayahnya yang sudah tua, juga pelukan hangat ibunya.

***

Hi, Hello!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang