18. Just Dream!

125 14 2
                                    

Rubi membuka matanya perlahan.
Bau karbol memenuhi indra penciumannya. Dinding berwarna putih menyambutnya. Sejenak dia terpaku. Dia dimana?

"Rubi, kau sudah sadar, alhamdulillah." Suara itu, suara Bundanya! Rubi menoleh ke sebelah kirinya. Matanya terbelalak, wajahnya pias seperti melihat hantu. Benarkah itu wajah Bundanya? Melihat Rubi bertingkah aneh, sang Bunda yang awalnya lega, menjadi bingung. Diguncang-guncangnya lengan Rubi lembut. Menyadarkan putrinya.

"Rubi, kamu baik-baik aja."
Sentuhan itu tak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Rubi bangun, merangkul erat Bundanya dan menangis tersedu-sedu. Dia tak tahu apa yang sebenarnya dia tangisi. Setelah tangisnya reda, sang Bunda menceritakan bahwa Rubi sudah 3 hari tidak sadarkan diri. Setelah dia ditemukan pingsan di depan pintu pagar rumahnya oleh Pak Hadi tetangga di depan rumah mereka.

Rubi tercenung lama. Jadi yang terjadi selama ini hanya mimpi. Hanya mimpi. Betulkah? kenapa terasa seperti nyata.

"Apa mau Bunda panggilkan dokter." Ketika Dia melihat Rubi seperti orang linglung. Rubi menggeleng.

"Rubi ga apa-apa, Bun. Kapan Rubi boleh pulang?"

"Kita tanya dokter dulu." Sang Bunda memencet bel dan menceritakan bahwa putrinya sudah sadar. Tak lama dokter datang bersama perawat. Memeriksa Kondisi Rubi. Setelah memastikan Rubi baik-baik saja. Dokter menyarankan untuk pulang esok pagi, Mereka akhirnya menyetujui saran dokter tersebut.

Pagi itu setelah menyelesaikan semua urusan administrasinya, mereka pun beranjak pulang. Rubi menyandarkan tubuhnya di bahu Bundanya. Sementara ayahnya mengemudi dengan tenang di depan.

Ada banyak hal yang Rubi pikirkan. Jingga, Laksa, Ratih ibunya Laksa, teman-temannya di Muara Bunga 1. Kenapa kenangan itu tak mau hilang dari benaknya. Apalagi kenangan saat Laksa melukai hatinya. Masih terasa sakit jika dia mengingatnya. Aneh bukan. Padahal itu hanya mimpi?

Betulkah itu hanya mimpi? Atau dia kembali lagi ketika hujan turun deras sore itu. Tapi, itu tak mungkin. Menurut ibunya dia pingsan di depan pintu pagar rumahnya. Dia sama sekali tidak menghilang seperti yang dipikirkannya.

Setelah 4 hari tak masuk kerja. Hari
ini Rubi kembali memulai aktifitasnya. Gedung berlantai 3 itu dinaikinya dengan canggung. Aneh. Dia merasa begitu asing berada di kantornya sendiri. Merasa seolah-olah baru pertama kali. Rubi menuju ruangannya di lantai 2.  Belum nampak satupun manusia di ruangan itu. Lama dia termangu, sampai sapaan seseorang mengejutkan lamunannya.

"Rubi, kamu sudah masuk."
Inge merangkulnya erat. "Syukurlah, senang banget kalau kamu ada. Semua urusan pasti beresss." Kata wanita itu dengan raut wajah lega, lalu menjentikan kedua jarinya.

Rubi nyengir. Otaknya masih belum nyambung dengan ucapan Inge. Tak berapa lama, teman-teman yang lain pun datang, semua kelihatan senang dengan kehadirannya kembali. Berasa dirinya jadi orang penting. Geer sendiri, dia.

"Jam 2 siang kita ada rapat, Rubi. Materinya sudah disiapkan. Karena kamu sudah masuk, kamu yang nanti akan mempresentasikan, lagian kamu lebih memahami materinya. Aku hanya menambahkan beberapa gambar yang kamu minta, sebelum kamu masuk rumah sakit." Doni menyodorkan materi yang sudah di print out plus sebuah flasdisk. " Kamu cek dulu, apa sudah sesuai, kalo belum kita perbaiki lagi mumpung masih ada waktu."

Rubi segera memeriksa materi yang ada di flasdisk. Lalu hard copynya. Rasanya sudah sempurna. Tidak perlu ada tambahan lagi. Mereka memang diberikan waktu se-minggu untuk mengerjakannya. Ini belum melewati batas yang ditetapkan.

"Bukannya masih ada waktu 3 hari lagi?" Tanyanya ke Doni, wakil ketua timnya.

"Direktur produksi menghendaki dipecepat." Rubi mengernyitkan dahinya. Setahunya Pak Endang orang yang paling kalem yang ditemuinya, ga pernah macam-macam. Dan juga ga pernah terburu-buru. Juga penuh toleransi. Ini yang paling disukai Rubi.

"Ga biasanya pak Endang banget."

"Bukan pak Endang, tapi penggantinya minta dipercepat." Kata Doni. Rubi menoleh kaget.

"Diganti. Lho memangnya pak Endang kemana?"

"Ditarik ke tempat lain." Jawab Doni.

Oala. Pantes saja mereka bahagia dia masuk. Dia yang bakal yang jadi tamengnya. Dia nyakin direktur produksi yang baru berbeda jauh dari tipologi pak Endang. Melihat dari suramnya wajah teman-temannya, Rubi nyakin dugaannya 100 persen benar. Oke, siapa takut, siapa pun kamu, Aku ga akan mundur.

"Oke, semangattt ya!" Rubi mengepalkan tangannya. Disusul pekikan teman-temannya saling mensupport tim mereka. Semoga kali ini ide mereka diterima. Bonus besar menanti mereka, jika project kali ini berhasil.

Tepat pukul 2 siang kurang 15 menit, Rubi dan 2 orang timnya sudah tiba di lantai 3. Membuka pintu, dia melangkahkan kakinya penuh percaya diri ke dalam ruangan rapat. Hmm.. nampaknya ada yang sudah datang lebih awal dari mereka. Seorang pria tampak sedang asik membaca dokumen di ujung meja rapat. Tak terusik dengan kedatangan mereka. Rubi baru saja akan menjatuhkan tubuhnya di kursi, ketika pria itu tiba-tiba saja mengangkat wajahnya, dan...ya Tuhan! Maha Besar Engkau Ya Allah,  Rubi kaget setengah mati, ketika melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya. Dokumen yang dipegangnya terlepas, meluncur begitu saja dari tangannya. Wajahnya pias seketika. Matanya terbelalak lebar. Laksa! Benarkah?

"Laksa." Pekiknya histeris, membuat kaget teman-temannya. Oh Tuhan, ini mimpi atau nyata sih. Gumam Green frustasi.

💪💪💪💪💪💪
Bersambung...
Yuk, vote dan komennya ya yang sudah baca...terimakasih
8 Oktober 2021.

One Upon A Time I Wake Up In A Strange Place (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang