15. Anak tak Berdosa

888 51 4
                                    

Rasyid baru saja menyelesaikan aktifitas malamnya bersama sang istri saat jarum jam di dinding menunjukkan angka 12 tengah malam. Ia merebahkan tubuhnya di samping sang istri yang tertutup selimut hingga ke dada, mereka belum mengenakan sehelai pakaianpun.

"Kenapa sayang? Kok gelisah banget kayaknya?" tanya Rasyid dengan mata tertutup saat merasakan pergerakan dari samping kirinya.

"Gerah mas, perutnya nggak nyaman, dedek dari tadi rusuh di dalem." jawab Ara sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit.

Dengan sigap Rasyid mengambil remote AC yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya. Ia menurunkan suhu ruangan agar lebih sejuk dan sang istri nyaman, mungkin ia akan kedinginan esok pagi. Dikehamilan Ara yang memasuki bulan keenam membuat wanita itu sering kesulitan tidur.

Dengan telaten Rasyid mengusap perut buncit istrinya dan benar saja, calon anak mereka sedang bergerak aktif di dalam sana. Rasyid bergegas duduk dan mendekatkan kepalanya ke depan perut sang istri.

"Dedek lagi belajar karate ya?" tanya Rasyid sambil mengusap perut Ara, sedangkan Ara tetap memejamkan matanya berusaha untuk tidur, olahraga malam mereka tadi cukup menguras tenaganya.

"Bobok yuk dek, ini udah malem, bundanya capek. Kita bobok sama sama ya dek, anak ayah yang sholeh atau sholeha ini nurut sama ayah, yuk bobok sayang." lanjut Rasyid dengan mata yang hampir terpejam, Ara yang mendengar hal itu hanya bisa menahan tawa tanpa berniat menanggapi ucapan suaminya yang sedang berusaha menenangkan calon buah hati mereka.

Ara dan Rasyid sering mengajak ngobrol sang janin yang ada di dalam perut Ara, mereka percaya bahwa janin mungil itu sudah dapat mendengar apa yang orang tuanya katakan, maka dari itu Ara sangat menjaga lisannya.

Setelah dirasa sang istri cukup lelap, Rasyid baru berani kembali ke posisinya semula. Ia mengganjal punggung istrinya dengan guling, Rasyid sering melihat Ara melakukan hal itu agar dapat tidur dengan nyaman. Mereka tidur saling berhadapan dengan tangan Rasyid yang tak henti mengusap pinggul besar sang istri hingga ia sendiri terlelap.

Sekitar 30 menit berlalu, Rasyid terbangun karena mendengar suara tangisan anak kecil yang cukup nyaring. Dengan kepala berdenyut Rasyid berusaha bangun dengan hati-hati agar tak mengganggu tidur sang istri.

Dengan cekatan Rasyid mengenakan pakaiannya dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati.

"Husstt.. Diem Cha, udah malem. Nanti mbak Ara kebangun." ucap Zahra menenangkan sang adik yang berada di pangkuannya. Rasyid bisa mendengar suara mereka dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Ini sudah kali ke-3 adik dan keponakan Ara menginap di rumah mereka, tujuannya hanya satu yaitu bertemu dengan Diki. Tapi sejak kunjungan pertama, mereka belum juga bertemu, Diki seolah menghindar setiap Ara menghubunginya melalui telfon atau Rasyid yang berusaha berbicara di kantor saat mereka berpapasan.

"Ayaaaah... Ayaaaaah..." tangis Nisa terdengar kian memilukan, Rasyid masih terpaku di tempatnya berdiri.

"Iya besok kalau udah terang kita ke rumah ayah ya." ucap Zahra menenangkan adiknya, sesekali ia menghapus air mata yang dengan lancang jatuh kepipi.

"Mbak Zahra boongin chacha, kita nggak pernah ketemu ayah, chacha mau ayah." rancau Nisa di sela tangisnya, suhu tubuh Nisa tinggi sejak sore.

"Minum susu aja ya. Sebentar, tante Firda sama tante Andin lagi buatkan susu untuk Zahra."

Rasyid tak tahan lagi, cukup sudah Diki menghindar dari anak-anaknya, Rasyid sungguh tak tega menyaksikan anak-anak tak berdosa itu harus menjadi korban dari kebodohan orang tuanya. Rasyid mengetuk pintu kamar tamu yang di tempati adik-adiknya, setelah dipersilahkan masuk oleh Zahra barulah ia masuk ke dalam kamar. Rasyid sempat melihat Zahra mengusap pipinya.

Life after MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang