26. Perlahan

551 54 5
                                    

Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Laa ilaa ha ilallah
Wallahu Akbar
Allahu Akbar
Wa lillahilham

Gema takbir berkumandang, Ara hanya dapat mendengarkannya dari dalam rumah. Untuk pertama kali dalam hidup, ia harus rela tidak mengikuti sholat idul Fitri.

Ara duduk di sofa ruang tamu dengan Aufa di pangkuannya. Bayi berumur lima hari itu tampak begitu tampan dengan baju Koko mini hadiah pemberian dari sang Tante, ia tampak tertidur pulas.

Sedangkan sang bunda tak henti hentinya mengucapkan takbir dengan pipi basah berlinang air mata. Ara juga tampak begitu anggun mengenakan gamis yang senada dengan sang putra.

Pukul setengah tujuh pagi tadi Rasyid dan keluarganya berangkat menuju masjid besar yang berada dalam kompleks perumahan mereka, jarak nya hanya beberapa puluh meter dari rumah, maka dari itu Rasyid memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Sedangkan keluarga Ara sudah kembali pulang ke rumah mereka sejak dua hari lalu. Rohani sudah menyiapkan berbagai hidangan khas hari raya sebelum pulang meninggalkan sang putri.

Gumaman takbir dari bibir Ara terhenti karena mendengar notifikasi dari ponsel Rasyid, tanda ada pesan masuk. Awalnya Ara ragu untuk membukanya karena ia tau ranah mana yang tidak boleh ia masuki. Tapi rasa ragunya kalah oleh rasa penasaran setelah ponsel sang suami terus berdering berturut-turut, Ara hanya menarik layar ponsel tersebut ke bawah untuk melihat notifikasi tanpa perlu repot-repot membuka ponsel Rasyid.

3 pesan baru

A' Senoo

Maas

Selvira muntah-muntah dan demam dari semalam.

Pagi tadi ku bawa ke dokter sama dokter di kasih rujukan ke rumah sakit.

'Siapa Seno?' batin Ara. Karena rasa penasarannya tak terbendung lagi, Ara membuka ponsel sang suami dan melacak google maps dari ponsel tersebut untuk mengetahui kemana perginya sang suami selama satu Minggu terakhir.

Semua laporan masih terlihat normal hingga Ara melihat daftar caffe dan hotel di ponsel tersebut, dada Ara bergemuruh menahan amarahnya. Kini ia tau kemana suami nya pergi saat putra mereka baru lahir. Diletakkan kembali ponsel tersebut ke tempat semula.

"Assalamu'alaikum." Ucap Rasyid memasuki rumah mereka.

"Wa'alaikumussalam, sendirian mas? Yang lain langsung pada pulang?" Tanya Ara lembut. Rasyid sempat terpaku beberapa detik, ini adalah kalimat terpanjang yang Ara ucapkan setelah diam selama berhari-hari.

"I-iya dek."

Ara duduk di sofa samping Rasyid setelah meletakkan bayinya di kamar. Ia lalu meraih tangan kanan sang suami dan mengecupnya takzim.

"Minal aidzin wal Faidzin ya mas. Maafkan aku selama ini banyak salah nya sama mas, belum becus menjalani peranku sebagai seorang istri." Ucap Ara sungguh sungguh, air mata bahkan sudah mengalir deras di pipinya.

Rasyid yang juga menangis sesenggukan tak sanggup lagi berkata-kata, seperti sebuah kaset, pikirannya kini berputar mengingat semua kesalahan yang ia perbuat terhadap sang istri. Direngkuhnya tubuh Ara, seperti takut kehilangan, Rasyid memeluknya erat.

"Assalamu'alaikum." Ucapan salam memisahkan pelukan sepasang suami istri tersebut.

"Wa'alaikumussalam. MasyaAllah, masuk pak, buk."

"Kayaknya kita Dateng di waktu yang nggak tepat pak." Ledek Fauzi di ambang pintu.

"Kita mau kesana kok malah kalian yang orang tua kesini duluan." Ucap Rasyid sembari menyongsong keluarganya.

"Nggak apa, kasian Aufa sama Ara kalau harus kesana." Jawab kepala keluarga mereka.

Setelah itu mereka saling bergantian untuk meminta maaf, momen haru yang menyelimuti mereka tak urung membuat dada Ara kian sesak. Kini seperti ada batu besar yang menimpa dada dan kepala nya.

Tak lama, keluarga Suwardi juga datang ke rumah mereka. Setelah acara sungkeman yang penuh khidmad selesai, rumah itu menjadi riuh karena seluruh anggota keluarga berebut untuk menggendong Aufa. Acara di lanjutkan dengan makan bersama.

⭐⭐⭐

"Mas mau makan pakai lauk apa?"

Tanya Ara pada sang suami, ia hendak mengambilkan makan untuk Rasyid. Semua anggota keluarga berada di ruang tengah untuk makan bersama, karena meja makan di rumah itu tidak muat menampung seluruh anggota keluarga, jadilah mereka makan lesehan di ruang tengah.

"Rendang, opor sama dendeng boleh dek." Jawab Rasyid yang duduk di meja makan, fokusnya tertuju pada ponsel yang ia pegang. Dengan sigap Ara mengambilkan menu yang suaminya sebut tadi.

"Kita makan disini aja dek." Ucap Rasyid sambil menatap istrinya penuh cinta. Ara hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Mbak, dedek nangis." Teriak Andin saat bokong Ara baru saja mendarat di kursi. Buru-buru ia bangkit dan mencuci tangannya sebelum menemui sang putra.

"MasyaAllah anak Sholeh, nangisnya kenceng amat, haus ya nak?" Ucap Ara sambil menggendong Aufa.

Ara menjejalkan puting payudaranya ke mulut mungil Aufa, ia sudah mulai terbiasa, rasanya sudah tak sesakit di awal dirinya menyusui Aufa. Tubuh bayi kecil itu kini kian montok karena selalu ingin menyusu.

"Kita makan bareng ya dek." Ucap Rasyid memasuki kamar dengan sepiring makanan di tangan kanan nya dan segelas air di tangan kirinya kemudian duduk di samping Ara. Dengan telaten Rasyid menyuapi istrinya yang sedang menyusui putra mereka.

"Dek, besok pagi pak Edi ada meeting sama jajaran direksi di Jakarta, kaya nya mas bakalan nginep selama beberapa hari kedepan deh, tolong bantu siapin baju ganti sama keperluan lain ya sayang."

"Iya mas." Jawab Ara tanpa menaruh curiga pada sang suami. "Lebaran kedua kok udah kerja mas?"

"Para petinggi di perusaan mas kan rata-rata non muslim sayang, jadi lebaran nggak lebaran nggak ada pengaruhnya bagi mereka. Mas kan cuma asisten nya pak Edi, jadi mau nggak mau ya ngikut aja kemana pak boss pergi, ini bukti e-mail nya kalau sayang nggak percaya." Jawab Rasyid sembari menunjukkan e-mail yang ada di ponselnya kepada sang istri.

"Iya mas, aku percaya kok."

Tok.. Tok..

"Boleh ibu masuk?" Tanya ibu Rasyid di ambang pintu yang tidak tertutup rapat.

"Masuk aja buk."

"Anak Sholeh lagi nyusu ya?" Tanya Tini pada cucu kecilnya yang ia tau tak akan menjawab.

"Iya ini Uti, nen terus sampai pipi nya gembul." Jawab Ara menirukan suara anak kecil.

"Boleh ibu gendong? Ibu kangen sama Aufa, kalian lanjutin makannya ya."

"Apa nggak ngrepotin buk?" Ucap Ara basa basi sembari berusaha melepaskan putingnya yang masih di hisap sang putra.

"Nggak ngrepotin lah, masa cucu sendiri ngrepotin." Jawab Tini sembari menerima tubuh mungil Aufa. "Ibu bawa keluar ya?" Ara hanya mengangguk saat ibu mertuanya membawa sang anak keluar.

"Mau nambah?" Tawar Rasyid saat memberikan suapan terakhir pada istrinya.

"Enggak mas, kenyang."

"Mas taruh belakang dulu ya piringnya, sayang tolong siapin bajunya mas, kopernya udah mas turunin dari atas lemari kok. Jangan lupa baju tidur hitamnya mas dimasukin ke koper juga, kan baju nya couple sama baju tidur sayang, jadi nanti kalau mas kangen sayang bisa mas Pake deh." Ucap Rasyid kemudian berjalan keluar kamar.

Ara menuruti ucapan suaminya, tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal pikiran nya. Sebagai seorang istri, naluri nya tak bisa dibohongi. Ia memasukkan beberapa potong pakaian kerja, pakaian santai dan baju tidur ke dalam koper. Ia juga menyiapkan perlengkapan pribadi sang suami. Ara kemudian mengambil tas laptop milik Rasyid, baju tidur hitam kesukaan Rasyid ia masukkan ke dalam tas laptop, bukan ke dalam koper seperti biasa. Setelah semua beres ia meletakkan koper dan tas laptop tersebut ke ruang kerja Rasyid.

Life after MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang