16. Ingin bertemu ayah

779 43 8
                                    

"Saya anak kandung bapak Diki, bisa saya bicara dengan ayah saya?" ucap Zahra lantang dengan mata nyalang tanda ia menahan amarah.

"Tahan Ra." bisik Andin pelan, Firda yang berada di sampingnya ikut mengusap pelan punggung Zahra agar emosi gadis itu mereda.

"Ooh kamu ternyata yang nama nya Zahra. Ayah mu lagi nggak ada, ada perlu apa nanti bunda sampaikan." ucap Rulita -istri kedua Diki- dengan nada meremehkan.

"Bunda? Bunda kami ada di rumah, nunggu ayah pulang. Cukup sudah kamu menahan ayah kami disini, sekarang tolong biarkan ayah kami pulang. Tepati janjimu, kamu bilang begitu anak pertama mu lahir, kamu akan membiarkan ayah kami pulang, kenapa sampai anak kedua mu besar ayah kami belum pulang? Dasar munafik." Zahra tak sanggup lagi, matanya berkaca-kaca dengan tangan mengepal erat.

"Zahra, yang sopan!" tegur Ara yang merasa keponakannya hilang kendali.

"Oh jadi begini cara ibu kalian yang kampungan itu mendidik anak? Nggak punya sopan santun, masih untung kalian saya bukakan pintu."

"Maafkan perkataan keponakan saya mbak, dia hanya meluapkan emosi yang selama ini ia pendam. Tolong biarkan..."

Belum sempat Ara melanjutkan perkataannya, Nisa sudah berlari masuk ke rumah saat melihat foto pernikahan ayahnya yang dipajang di ruang keluarga.

"Ayaaah. Mbak Zahra ini ayah, tapi kok foto nya sama tante itu?" ucap Nisa lantang, tanpa di duga anak pertama Diki dan Rulita berlari dan menyerang Nisa dengan tongkat golf milik ayahnya. "Itu ayah dan bundaku."

"Nisa awas." seru Andin dan yang lainnya.

Zahra yang melihat hal itu berlari dan melindungi kepala adiknya dari ayunan tongkat golf yang kemudian mengenai foto pernikahan Diki dan rulita hingga hancur berserakan.

Pecahan kaca bingkai berhamburan, beberapa keping menancap di lengan kanan dan juga pelipis Zahra yang ia gunakan untuk melindungi adiknya.

"Astaghfirullah Zahra." pekik Ara yang melihat darah mulai bercucuran dari kening dan lengan keponakannya, ia lantas mendekati Zahra dan menuntun gadis itu keluar rumah.

Andin dan Firda bertugas menggendong dan menenangkan Nisa yang menagis kencang karena ketakutan. Sedangkan Rulita berjalan cepat masuk ke kamar untuk mengamankan anak kedua nya.

Ara berjalan menghampiri anak pertama Rulita yang menangis ketakutan dan segera menggendong tubuh kecil itu menjauh dari serpihan kaca yang berserakan.

Disaat yang bersamaan Rulita keluar dari kamarnya, ia tak terima melihat Ara menggendong anaknya. Dengan kasar ia merebut tubuh mungil sang putri dan mendorong Ara hingga wanita itu jatuh terduduk.

"Jangan berani-berani menyentuh anak saya. Datang tanpa di undang dan membuat onar di rumah saya. Pintu keluar ada di belakang kalian, silahkan pergi dari sini sekarang juga." usir Rulita tanpa memperdulikan Ara yang mulai meringis merasakan nyeri di perut nya. Satu hal yang Ara sesali, yaitu pergi tanpa didampingi sang suami.

***

Sementara itu di kantor, Rasyid sedang harap-harap cemas menantikan kedatangan Diki. Seperti yang sudah ia rencanakan, ia akan mencari kesempatan untuk berbicara dengan Diki karena hari ini dirinya dan Diki ditugaskan untuk rapat di lokasi yang sama.

Tak lama kemudian Diki dan rombongan datang untuk melakukan rapat. Selesai rapat, Rasyid mendekati Diki yang hendak bangkit dari kursinya.

"Mau ngopi di kantin mas? Masih ada 15 menit sebelum rombongan mas berangkat ke lokasi berikutnya." sapa Rasyid sopan.

"Ada yang mau kamu omongin? Kita ngobrol disini aja."

Rasyid mengangguk. "Baik mas."

Ia menolak dengan halus tawaran rokok dari Diki dengan gelengan kepala saat ayah empat anak itu menyodorkan kotak rokok miliknya. Diki menyalakan sebatang rokok dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Rasyid bisa mendengar dengan jelas kakak iparnya menghela nafas berat seolah melepaskan rasa frustasi nya.

Life after MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang