18. Merekatkan yang retak

666 46 3
                                    

Diki duduk di ruang tamu dengan Nisa yang berada di pangkuannya. Bocah kecil itu tak mau lepas dari sang ayah sejak mengetahui bahwa sang ayah datang berkunjung.

Alangkah terkejutnya Diki saat ia melihat sang putri sulungnya diperban pada beberapa bagian tubuhnya, Rasyid sudah menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada Diki.

"Maafin ayah ya nak, ayah nggak pernah mengunjungi kalian. Tante Rulita bener-bener nggak pernah bolehin ayah untuk keluar rumah kalau nggak sama dia, ayah harus pulang kerja tepat waktu atau dia akan ngamuk dan ngancam mau bawa pergi adik-adik kalian."

"Adik-adik ayah bilang? Adikku cuma Nisa dan ibu ku cuma ibu Cahya, sampai mati aku nggak akan pernah sudi nganggap mereka bagian dari keluargaku. Ayah lupa apa kata ibu dulu waktu ayah ketahuan nikah lagi?  Ibu bahkan mau nerima ayah kembali dan mau ngurus anak haram ayah itu asal ayah mau ninggalin tante gatel nggak tau diri itu yah, begitu sabarnya ibu ngadepin ayah. Di kampung kita punya rumah sebesar istana, ladang berhektak hektar dan ayah rela hidup ngontrak dengan pelacur itu, dimana otak ayah? Aku dan ibu nanggung malu karna kelakuan ayah, dimana hati ayah?" amuk Zahra tak terkendali, ia meluapkan segala keluh kesah nya pada sang ayah dan Diki membiarkan hal itu karena ia sadar keluarga nya menderita karena ulahnya.

"Istighfar Zahra, biar bagaimanapun mas Diki ini ayahmu, Menghormatinya tetap menjadi kewajibanmu. " ucap Rasyid yang bertugas mendampingi Zahra dan Nisa menemui ayah mereka, Zahra sendiri yang memintanya untuk ikut duduk di ruang tamu.

Sedangkan Andin dan Firda hanya mendengarkan keributan itu dari kamar Ara, Ara yang memang harus istirahat total tertidur pulas setelah minum obat yang di resepkan oleh dokter.

"Biarkan Syid, biarkan Zahra menumpahkan segala amarahnya." ucap Diki dengan mata berkaca-kaca. "Sudah selesai sayang? Sudah lebih lega kan? Sekarang boleh ayah memeluk anak-anak ayah?" tanya Diki penuh harap, Zahra yang menginginkan hal itu sejak lama langsung masuk ke dalam pelukan sang ayah dengan tangisan yang begitu memilukan.

"Tolong bantu saya untuk lepas dari jeratan Rulita Syid." ucap Diki saat Zahra sudah mulai tenang. "Saya sudah ikhlas jika harus kehilangan dua putri saya yang lain, sungguh saya menyesal dan ingin kembali pada keluarga saya, bantu saya Syid."

"Apa yang bisa saya bantu mas?"

"Pertama yang pasti saya ingin meminta maaf kepada ibunya anak-anak, bantu saya untuk pulang Syid. Saya nggak pernah bisa pulang atau sekedar menghubungi mereka lewat telfon karena Rulita menyadap hp saya. Sore ini saya bisa datang karena saya ada jadwal rapat dengan manager di daerah Bandar Sari, saya bolos dan nekat kesini."

Rasyid memutar otaknya mencari cara agar Diki bisa pulang menemui istrinya. "Gini aja mas, anak-anak biar saya antar pulang besok pagi, kebetulan saya ada waktu. Mas kan besok nggak ada jadwal ke Lokasi, malam ini saya buatkan surat tugas ke Tanjung Harapan sebagai bukti ke mbak Rulita bahwa mas akan pergi bertugas selama dua hari. Mas bisa pulang ikut mobil pengantar ayam, besok jam dua siang pekerja saya ngantar ayam ke rumah bapak.
Hp mas yang di sadap itu titipkan ke regu yang akan diberangkatkan ke Tanjung Harapan, jadi lokasi mas ada disana. Mas berakting seolah-olah mas benar-benar berangkat bertugas, kendaraan mas bisa mas titipkan di kantor. Bagaimana mas?"

"Iya Syid saya setuju."

***

"Mas, aku ikut pulang ya." ucap Ara pagi itu saat membantu anak-anak berkemas.

"Sayang kan harus istirahat total. Tau sendiri jalan ke rumah orang tua sayang tuh kaya arena offroad, mas nggak mau anak kita kenapa-kenapa loh."

"Tapi aku kangen bapak ibu mas." rengek Ara.

"Nanti kalau keadaan sudah lebih baik, bapak ibu mas ajak kesini, mas janji." peluk Rasyid pada sang istri yang emosi nya masih belum stabil.

Setelah Ara sedikit tenang, anak-anak mulai berpamitan padanya. "Mbak, kami pulang dulu ya. Cepet pulih, sehat lagi mbak dan dedeknya." ucap Andin sambil mengelus perut buncit sang kakak. "Mas nggak nginep kan?" tanya Andin yang hanya di balas gelengan oleh sang kakak ipar.

"Tante, makasih banget udah berjuang sejauh ini buat keluarga kami, kami hutang budi sama tante Ara dan om Rasyid. Makasih udah bantu kami ketemu ayah sampai ayah mau pulang, aku seneng banget. Maafin kesalahan ayahku dulu yang udah bikin tante dan keluarga hidup susah ya te." ucap Zahra sesenggukan.

"Sama-sama sayang, makasih juga karena udah kuat bertahan sejauh ini demi keluargamu, tante bangga sama kamu."

"Boleh aku peluk tante?" tanya Zahra takut-takut, Ara langsung menariknya dalam pelukan.

Setelah tenang, Zahra melepas pelukan mereka, ia takut membuat Ara tak nyaman, ia lalu berbalik pada Andin dan Firda. "Buat kalian berdua, makasih banget udah nemenin aku sama Nisa, nangis bareng sama aku tiap malem karena hampir nyerah, kalau nggak ada kalian berdua, mungkin aku udah nyerah dari dulu." ucap Zahra, lantas merek bertiga berpelukan.

"Udah belum lebarannya? Pelukan sambil pada maaf-maafan, kalian tuh kaya teletubbies tau." ledek Rasyid memecah suasana, mereka semua tertawa.

"Sayaaang, ayah pergi dulu antar tante-tantemu ya, dedek jangan nakal, jagain bundanya." Rasyid berjongkok di dekat ranjang sambil mengelus perut istrinya dan mengajak sang buah hati mengobrol, senyum nya mengembang saat ia merasakan pergerakan dari dalam perut Ara tanda bayi mereka merespon.

"Sayang nggak boleh kemana-mana ya. Mas udah minta Cecil kesini buat nemenin sayang."

"Harus banget ganggu Cecil ya mas? Kerjaan dia di toko banyak mas, dia sibuk loh, aku nggak papa kok sendiri di rumah." bantah Ara.

"Nggak ada, nggak ada. Mas nggak mau kejadian kemaren keulang sayang. Urusan toko Cecil libur dulu, dia bisa tetap urus penjualan online dari rumah, mas udah bilang semalam."

Ara diam, ia tak akan menang melawan sang suami dalam urusan berdebat. Ara sadar keadaannya menjadi seperti ini juga karena salahnya yang nekat pergi tanpa menunggu Rasyid pulang kerja untuk mendampingi mereka.

***

"Mas, besok waktunya dedek kontrol loh, jangan pulang kesorean besok ya." pesan Ara sambil menyiapkan makan malam mereka.

"Iya sayang, sekalian belanja perlengkapan dedek. Masih di simpen kan list belanjaan dari ibu?"

"Masih mas. Oh iya mas, mas penasaran nggak sama jenis kelamin dedek?"

"Ya penasaran sebenernya, tapi biarlah, biar jadi kejutan untuk kita. Lagian kalau kita udah tau jenis kelamin nya malah nanti terus terusan berharap, takut kecewa kalau prediksi dokter ternyata salah. Menurut mas, laki-laki atau perempuan sama saja. Yang penting dedek dan sayang sama sama sehat selamat." ucap Rasyid sungguh-sungguh.

Life after MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang