19. Puasa hari ke-1

685 43 3
                                    

Ramadhan sudah didepan mata, menurut HPL, Ara akan melahirkan sekitar satu minggu lagi, itu artinya bayinya akan lahir sebelum idul Fitri. Keadaannya sudah jauh lebih baik dari pada saat ia menjalani kehamilan trimester kedua.

"Sahur pertama pakai nasi bakar cumi nggak papa kan mas?" tanya Ara sore itu saat Rasyid baru selesai mandi.

"Nasi biasa aja, nasi bakar ribet mas nggak bisa bikinnya, cuminya pakai yang di botol kan?" tanya Rasyid sambil menunjuk jar cumi kemasan produk Ara di atas meja.

"Iya itu, tinggal ku angetin berarti kalau mas nggak mau nasi bakar."

"Mas aja, kalau cuma angetin lauk doang mas sendiri bisa lah sayang."

"Aku mau ikut puasaaa." rengek Ara.

"Sayaaang, nurut kenapa sih?"

"Aku cuma hamil mas, bukan sakit. Dokter juga bolehin aku puasa kok. Mumpung aku nggak halangan mas, jadi bisa puasa full. Boleh ya mas?"

Rasyid mendesah kasar, ia tak suka berdebat dengan Ara, apalagi jika istrinya itu sudah merengek, Rasyid merasa gemas sendiri, seperti sedang menghadapi Nisa yang merajuk.

"Huh, ya udah iya boleh. Tapi janji sama mas, kalau mulai ngrasa nggak nyaman, langsung makan ya." ucap Rasyid memperingatkan.

Setelah adzan isya berkumandang, Rasyid dan Ara berboncengan motor menuju masjid untuk melaksanakan sholat tarawih berjama'ah. Ara yang tadinya keukeh ingin berjalan kaki akhirnya hanya bisa menurut saat Rasyid mengancam akan sholat di rumah saja jika Ara tetap ingin jalan kaki.

"Eh Ara, MasyaAllah udah gede banget perutnya. Berapa bulan?" tanya Ajeng, Teman Ara dan Rasyid saat di SMA dulu.

"Masuk tiga puluh enam minggu Jeng."

"Tinggal nunggu waktunya nih."

"Iya nih Jeng. Masuk yuk Jeng, takut nggak kebagian tempat. Tau sendiri gimana ramenya tarawih hari pertama."

"Yuk Ra."

Rasyid meninggalkan Ara menuju shaff laki-laki setelah memastikan istrinya itu aman bersama Ajeng.

***

"Sayaaaaang, bangun yuk. Katanya mau ikut sahur." ucap Rasyid mencoba membangunkan istrinya, dikecupnya kening Ara berkali-kali yang membuat Ara menggeliat tak nyaman.

"Sahur sahur sahur dulu, mumpung masih ada waktu. Sahuuuur sahur sahur sahur sahur. Sekarang waktu menunjukkan pukul tiga lebih sepuluh menit, sahuuuuuur." Rasyid menirukan suara bapak bapak yang biasa membangunkan masyakarat menggunakan toa masjid.

"Iya iya ini bangun." Ara terkekeh karena cara Rasyid membangunkannya dirasa lucu.

"Sana ke kamar mandi dulu. Mas udah angetin lauknya, mas tunggu di meja makan ya."

Ara hanya mengangguk, dengan telaten Rasyid membantu istrinya untuk bangun. Setelah itu ia berjalan ke meja makan meninggalkan sang istri yang akan melakukan rutinitas di kamar mandi.

"Mas bangun jam berapa emang? Kok udah angetin lauk? Kok aku gak tau mas bangun?" tanya Ara setelah mendaratkan bokongnya di kursi samping Rasyid.

"Mas nggak bisa tidur, adek tidurnya gelisah gitu. Yang minta usap punggung lah, yang minta pijet kaki lah, yang kepanasan lah. Baru anteng jam setengah dua, mas mau tidur takut labas, ya udah akhirnya baca Qur'an aja sambil nunggu waktu sahur. Soalnya kalau langsung sahur takut nanti masih siang udah laper lagi."

Ara terkekeh mendengar kalimat terakhir suaminya, ia faham betul bagaimana Rasyid yang sering merasa lapar akhir-akhir ini. Ia sendiri pun merasakan hal yang sama.

"Buruan habisin, keburu imsak loh, jadi puasa nggak sih?" tanya Rasyid saat dirinya sudah selesai makan sedangkan Ara hanya mengaduk nasi di atas piring yang baru dimakan setengah.

"Jadi lah, cuma keinget bapak sama ibu aja, mereka sahur pakai apa ya? Aku kangen mereka." mata Ara mulai berkaca-kaca. "Padahal aku udah biasa sahur dan buka puasa tanpa mereka, bener-bener sendirian malah. Tapi kalau udah punya suami, rasanya beda, kangeeeeen banget."

"Habisin makannya, mas ambil hp ke kamar dulu, kita vc mereka."

Ara mengangguk berbinar, dengan semangat ia habiskan makanan di piringnya dan meneguk habis susu hamil yang disiapkan sang suami.

"Gimana kabarnya bapak ibu?" tanya Rasyid sambil berjalan menuju meja makan. Tadi panggilan vc nya langsung terjawab pada dering ke dua, tak lupa ia mengucapkan salam.

"Alhamdulillah baik, kalian berdua gimana kabarnya?" tanya Suwardi dari seberang sana.

"Alhamdulillah baik juga pak. Anak gadisnya kangen ini loh pak." Rasyid mengarahkan kamera pada Ara yang saat itu sedang mencuci piring di wastafel.

"Assalamu'alaikum pak."

"Wa'alaikumussalam, anak bapak, gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik pak. Ibu mana pak?"

"Lagi ke kamar mandi tadi. Nah itu dia." tak lama Rohani muncul dan langsung duduk di sofa samping suaminya. "Halo calon ibuuuu, gimana kehamilan nya? Puasa nggak nih? " sapa Rohani antusias.

"Alhamdulillah lancar buuu, aku puasa, kemarin pas kontrol terakhir sama bu bidan boleh puasa jadi aku puasa." jawab Ara tak kalah antusias.

Rasyid tetap memegang hp karena tangan Ara masih banyak busa sabun. Dengan isengnya pria itu memeluk sang istri dari belakang membuat tubuh mereka tak berjarak. Tak hanya itu, ia juga menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ara. "Lepas mas, geli ih."

"Cuma peluk doang masa gaboleh, pelit banget."

Ara mencuci tangan setelah selesai mencuci piring. Ia merebut ponsel Rasyid dan berjalan menuju ruang keluarga lalu duduk di sofa yang ada disana, Rasyid mengekor di belakangnya.

Kedua orang tua Ara tertawa melihat tingkah lucu anak dan menantu mereka. "Rasyiiid, puasa hey." tegur Suwardi mengingatkan.

"Belum imsak pak."

"Alasan saja kamu ini, tetap hati hati memperlakukan istri Syid. Meski kata bidan boleh dan memang bagus untuk induksi alami, tapi kamu juga harus tetap memperhatikan kenyamanan istrimu, ingat waktu kalau sudah berduaan, jangan sampai membuat anak bapak kelelahan karena melayanimu yang nantinya malah membahayakan mereka berdua."

"Tuh denger apa kata bapak." ucap Ara sewot.

"Emang mas pernah nggak tau waktu? Mas selalu izin dulu kalau mau mulai, selalu tanya sayang nyaman atau nggak. Setelah itu juga selalu mas pijit pinggang sayang sampai tidur baru mas tidur kan. Mas juga tau batasan kok sayang."

"Udah-udah, malah ribut." ucap Rohani menengahi. "Kalian kapan kesini? Sejak Andin mulai kuliah, rumah sepi. Rame nya cuma siang pas ibu-ibu pada bikin kue pesenan."

"Akhir pekan nanti Rasyid atur jadwal biar bisa nginep disana tiga hari ya bu." jawab Rasyid.

Setelah puas berbincang, Rasyid menutup sambungan video call karena adzan subuh berkumandang.

"Mas, aku ke toko ya. Bosen di rumah." ucap Ara seraya memasangkan dasi ke kerah suaminya. Satu hal yang harus kalian tau, Rasyid tidak bisa memasang dasi nya sendiri.

"Nanti capek, di toko adek tuh nggak pernah bisa diam."

"Duduk di kasir aja kok."

"Ya sudah kalau gitu. Janji sama mas jangan capek capek. Deeeek, ayah berangkat kerja dulu yaaaa." ucap Rasyid berlutut menyamakan tinggi perut Ara. Satu tendangan dari dalam perut Ara sebagai balasan dari ucapan Rasyid. Setelah berpamitan, pria itu lantas berangkat ke kantor, ada meeting penting pagi ini sehingga ia harus berangkat lebih pagi dari biasa nya.

Life after MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang