Ini hari ketiga sang ibu dirawat. Kondisi beliau dari hari ke hari membaik. Setelah beberapa kali kadar trombositnya naik-turun, pada dua kali pemeriksaan lab terakhir menunjukkan bahwa kadar trombositnya konsisten meningkat, meski masih di bawah normal. Jika besok pagi hasil pemeriksaan lab menunjukkan kadar trombosit yang meningkat dan sudah sesuai kadar normal, maka ibu Farah sudah bisa pulang esok hari.
Setelah penolakan Fariha, Erlang tidak lagi memaksa untuk menunggui selama di rumah sakit. Tapi lelaki itu tetap berkunjung setiap hari, meski hanya selama 30 menit. Dalam hal ini, Farah cukup kagum pada persistensi Erlang yang tidak mudah menyerah.
Tapi sang ibu juga tidak kalah persisten. Beliau konsisten dengan sikapnya yang netral: tidak dingin, tapi juga tidak terlalu bersahabat. Sang ibu bahkan melarang Farah untuk keluar ruang rawat jika Erlang sedang berkunjung. Beliau tidak mau dirinya hanya berada berduaan dengan Erlang. Juga tidak mau Farah berduaan dengan Erlang.
Siang itu, Erlang baru saja pulang menjenguk ibunya, ketika ponsel Farah bergetar, menandakan sebuah panggilan telepon masuk. Itu nomer yang tidak dikenalnya. Tapi Farah tetap mengangkatnya, karena bisa jadi itu panggilan dari salah satu perusahaan yang ia lamar.
Tapi ternyata, suara yang didengarnya di ponselnya, diluar ekspektasi Farah.
"Kak Farah!"
Farah mengerjap sesaat. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap nomer yang meneleponnya. Seingatnya, ia sudah menyimpan nomer Mbak Dedeh, ART di rumah mamanya Ahsan, di ponselnya. Kalau-kalau kapan-kapan Ahsan menelepon lagi dengan nomer tersebut. Tapi nomer yang meneleponnya kali ini adalah nomer yang lain lagi.
"Ahsan?" tanya Farah memastikan. Lalu ia mendengar latar belakang suara yang berisik. "Kamu dimana?"
"Aku di depan rumah sakit nih Kak!"
"Rumah sakit apa? Kamu sakit?"
"Rumah sakit tempat Tante Riha dirawat."
"HAH?!!!"
Pekikan kaget Farah membuat sang ibu kaget juga. Kedua perempuan itu kemudian saling menatap. Fariha menatap puterinya meminta penjelasan, dan Farah balik menatap ibunya sambil mengendikkan bahu, tanda tidak tahu.
"Kesini sama siapa?" tanya Farah, dengan nada suara yang dikendalikan. Seingatnya, Ahsan bilang bahwa ayahnya sedang tugas keluar kota dan sekarang tinggal bersama ibunya. Apa itu berarti Ahsan datang bersama mamanya? Dan jam segini? Harusnya ini jam pulang sekolah kan?
"Sendiri Kak. Dianter supir taksi."
"HAH?!!!" Lagi-lagi Farah terkejut.
"Aku pinjem hape supir taksi Kak. Jemput aku di halte rumah sakit dong."
"HAH?!!!"
"Aku tutup ya Kak, hape pak supir taksinya."
Dengan setengah linglung dan bingung, Farah menjelaskan dengan cepat kepada ibunya bahwa ia perlu menjemput Ahsan yang menunggu di halte bis di depan rumah sakit. Dan ketika sang ibu bertanya dan meminta penjelasan lebih, Farah hanya bisa menjawab bahwa ia juga tidak tahu.
Meski tidak berlari, dengan langkah panjang dan cepat, Farah menyusuri koridor-koridor yang membawanya ke pintu masuk RS. Di seberang pintu masuk tersebutlah berdiri halte bis rumah sakit.
Selagi melangkah keluar dari pintu masuk, Farah menemukan seorang anak dengan seragam sekolah. Dan ternyata anak itu memang duduk sendirian, tidak ditemani siapa-siapa.
"Astaga tuh anak!" keluh Farah dengan suara pelan. Antara merasa geram dan bingung.
"Ahsan!" panggil Farah ketika dirinya makin mendekati halte.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEGITIGA BERMUDA (season 2)
RomanceCAMPUS SERIES #2 --Kisah Cinta Segitiga Bersama Dua Duda-- Setiap orang berhak atas kesempatan kedua. Tapi tidak semua orang beruntung mendapatkan kesempatan kedua. * * * First published on October 2021 Reposted on February 2024