"Menurut kamu, Vanya hilang ke mana?" tanya Sisy sambil berbisik.
Hilda mengangkat bahu saja untuk menjawabnya. Sisy sudah menanyakan hal itu sepanjang perjalanan mereka menuju petak.
"Mungkin gak sih, kalau dia balik ke Jogja?" Sisy bergumam.
Mungkin sebenarnya gadis itu bertanya pada dirinya sendiri, menduga-duga dan menciptakan teorinya sendiri tentang hilangnya Vanya.
Hilda mengambil meteran dari dalam tasnya untuk mengukur diamater pohon-pohon yang masuk dalam petak ukur. Tugas mereka hari ini hanya membuat petak ukur untuk inventarisasi pohon. Lebih baik dia mulai mengukur saja agar pekerjaan mereka cepat selesai.
"Aku aja yang ukur, kamu catat ya," ujar Arif.
Pemuda itu mengambil meteran dari tangan Hilda. Kemudian mulai membuat petak ukur 1 X 1 meter untuk menghitung semai. Hilda tersenyum.
"Fandy!" teriak cowok itu, memanggil anggota kelompok yang lain, "Kamu tolong bikin petak ukur yang 5 X 5 sama 10 X 10 ya. Sisy, kamu bantuin Fandy nyatet," ujarnya memberi komando.
Arif memang tipe cowok manajer. Hilda memandangnya dengan kagum.
"Oke!" teriak Fandy.
"Aku bantuin Fandy, deh," ujar Rizal.
Kakak angkatan itu memegang parang untuk membuka jalan di hutan mengikuti Fandy, juga Sisy. Untungnya Rizal mau mengambil inisiatif untuk membantu, mungkin juga dia tahu kalau Arif pasti akan sungkan memberi perintah padanya karena dia lebih senior.
Ayu berdiri saja di sebelah Hilda yang sibuk mencatat. Gadis itu memperhatikan Rizal pergi menjauh.
"Aku gak suka cowok itu," ujarnya berbisik pada Hilda.
Hilda menoleh ke arah yang ditunjuk Ayu, "Maksudmu Mas Rizal? Kenapa?"
"Dia aneh, kamu harus hati-hati sama dia."
Sejak pertama kali Hilda melihat cowok itu di pembekalan PU, dia memang sudah merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dengannya. Cara dia menatap atau melirik ke arah Hilda selalu membuatnya merasa tak nyaman. Hilda sepakat dengan sahabatnya itu bahwa ada sesuatu yang aneh dengan Rizal. Dan lagi, untuk hal-hal semacam itu, Ayu lebih ahli dari Hilda. Gadis itu memilih untuk percaya saja pada sahabatnya.
Sudah beberapa kali lengan Sisy tergores duri tanaman secang dan semak-semak yang tumbuh liar di dalam petak hutan itu. Rizal dan Fandy berjalan terlalu cepat, meskipun di dalam hutan.
Siang hari sebelum Dzuhur mereka sudah selesai mengerjakan tugas pertama mereka menginventarisasi. Mereka berkumpul kembali untuk berjalan bersama-sama lagi ke kampus. Gadis-gadis berjalan lebih lambat di belakang, mereka kecapekan, terutama Sisy yang memang fisiknya agak lemah. Arif dengan baik hati memperlambat jalannya dan berjalan bersama-sama gadis-gadis itu. Rizal dan Fandy seperti biasa berjalan cepat di depan.
"Hey! Kalian cepet banget sih jalannya," teriak Sisy.
Kedua cowok yang diajaknya bicara hanya menoleh sesekali dan melanjutkan jalannya.
"Udahlah...," hibur Hilda, "Khan masih ada aku sama Arif."
"Kalian mau kita hilang ya, kayak Vanya?" teriak Sisy lagi, tidak puas.
Fandy tetap tidak mempedulikannya dan terus berjalan. Hanya Rizal yang berhenti dan membalikkan badannya setelah mendengar perkataan Sisy, "Hilang? Siapa yang hilang?"
Ayu menjauh, dia tidak suka dekat-dekat dengan pemuda itu.
Arif juga terkejut mendengarnya, Vanya hilang? Mengapa Sisy atau Hilda tidak menceritakannya padanya dari tadi?
"Vanya hilang?" tanya Arif.
"Iya, kalian gak tau khan kalau ada yang hilang? Vanya tuh dari bangun tidur tadi gak kelihatan, gak ada di mana-mana."
"Kok bisa? Beneran hilang? Udah dicariin?"
Nada cemas dalam berondongan pertanyaan Arif membuat Hilda merasa tidak enak. Sepertinya Arif punya perasaan khusus pada Vanya.
Sisy bersemangat karena mendapatkan tanggapan, "Iya udah dicariin sama kita-kita yang sekamar. Trus Adel juga udah lapor co-ass, tapi katanya kita belum bisa lapor polisi kalau hilangnya belum 24 jam."
Rizal kesal sekali mendengarnya, dia merasa kecolongan. Dari awal, Rizal sudah merasa bahwa akan ada sesuatu yang terjadi di PU Getas itu. Hanya saja dia tidak tahu bahwa sesuatu itu akan terjadi secepat itu. Baru hari kedua di Getas, seorang mahasiswi sudah 'hilang'.
"Kalian balik ke kampus, sekarang!" kakak angkatan itu bicara agak keras seperti memberi perintah.
"Lho, Mas Rizal mau ngapain?" tanya Sisy, "Mau nyari Vanya?"
"Iya, aku mau nyari Vanya, kalian balik dulu ke kampus."
"Aku ikut nyari, Mas," sahut Arif.
"Terserah," jawab Rizal.
Hilda menarik tangan Sisy, "Yuuk, kita balik duluan ke kampus."
Rizal dan Arif masih berdiri di tempat mereka semula.
"Di mana kita mau mulai nyari, Mas?" tanya Arif.
Yang ditanya diam saja. Rizal memejamkan matanya, mata lahirnya, namun mata batinnya justru ia buka lebar-lebar. Pemandangan di hadapannya mulai berubah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo Dua Wajah
HorrorSetiap mahasiswa Fakultas Kehutanan semester 5 harus mengikuti praktek lapangan di hutan jati di Ngawi selama 20 hari. Selama praktek tersebut, mereka akan tinggal di kampus Getas yang terletak di tengah hutan jati. Sudah turun-temurun, kampus Getas...