Bagian 6

13 10 0
                                    

Pemuda itu mencoba mengingat-ingat siapa nama gadis yang berdiri di hadapannya dengan senyum manis, Dita? Lia? Vanya? Entahlah mengapa dia bisa tiba-tiba lupa. Jangankan untuk mengingat nama gadis itu, tempat di mana dia berpijak sekarangpun, dia tidak tahu di mana. Tapi senyuman gadis itu benar-benar manis dan melambungkan perasaannya.

Dia ingat sedang ikut PU Getas dan sekarang mungkin dia ada di kampus Getas. Ya, sedikit demi sedikit dia ingat bangunan-bangunan di kampus itu; letak kamar-kamarnya, kelasnya, atau dapurnya. Tapi ada suasana yang berbeda yang membuatnya merasa sedang berada di tempat lain. Apa yang berbeda itu, dia sendiri bingung, tapi dia merasa yakin bisa merasakannya.

Dia duduk di atas bangku taman yang terbuat dari kayu dan mencoba lagi mengingat-ingat di bagian mana di kampus Getas dia pernah melihat bangku kayu panjang itu. Gadis itu sekarang duduk di sebelahnya.

Hei, mengapa tidak ada satupun teman-temannya yang kelihatan disini? Teman-teman yang biasanya heboh menyorakinya saat dia duduk dekat-dekat seorang gadis cantik berkulit mulus putih pucat. Tidak ada seorangpun dari teman-temannya ada di situ. Teman-teman yang biasanya mengejeknya bahwa gadis secantik Vanya tidak akan mungkin mau jadi pacarnya. Dia ingin mereka melihatnya sekarang bersama Vanya. Mereka pasti iri setengah mati. Vanya si kembang kampus, siapa yang tidak mau jadi pacarnya. Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Benarkah gadis itu Vanya? Dia sebenarnya tidak yakin.

Bukan hanya teman-temannya yang tidak ada di situ, tapi semua orang-orang lain. Kemanakah mereka? Kemanakah para co-assisten? Kampus itu terasa sangat sepi, terlalu sepi, seperti tidak hidup, seperti mati.

Bahkan angin pun tidak ada untuk sekedar menggoyangkan daun-daun hijau di pepohonan yang tampak angkuh menjulang melebihi tinggi atap-atap bangunan dan menutupi cahaya bulan.

Saat dia membatin soal angin mati, angin sepoi kecil berhembus meniup rambut gadis cantik di sebelahnya. Gadis itu tertawa ringan, bibirnya yang berbalut lipstik merah cerah membentuk lengkungan indah yang membingkai gigi geligi kecilnya. Wajahnya nampak semakin putih dan pucat, tapi tetap cantik. Jari jemarinya yang lentik berusaha merapikan rambutnya yang berantakan dipermainkan angin sepoi itu.

Namun ketika angin itu mempermainkan gaun merahnya hingga tersibak sampai di atas lutut, gadis itu membiarkannya saja. Tawa renyah sang gadis bagaikan simponi yang mengalun merdu di telinganya.

Lalu pemuda itu merasa jantungnya copot sampai ke mata kaki.

-------

Yunan terbangun saat adzan Subuh dengan perasaan bersyukur. Malam pertama dia tidur di kampus Getas itu bukan pengalaman yang terlalu menyenangkan. Tidurnya sama sekali tidak nyanyak. Dia berkali-kali terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpinya seakan-akan dia tersesat di hutan. Tentu saja sebenarnya dia tidak takut berada di hutan karena dia mahasiswa Kehutanan semester lima. Sejak semester satu mahasiswa-mahasiswa Fakultas Kehutanan sudah dibiasakan keluar masuk hutan.

Tapi hutan dalam mimpinya terlalu lebat dan terasa sangat gelap, juga dipenuhi binatang-binatang buas. Setiap kali dia bangun dan kemudian mencoba tidur lagi, mimpi itu berlanjut. Seumur-umur, baru sekali itu dia merasakan mimpi yang bersambung-sambung mirip sinetron.

Dilihatnya Arif keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Pemuda teman sekamarnya itu menggosok-gosok rambutnya dengan handuk untuk mengeringkannya.

"Ngapain kamu Subuh-subuh keramas?" tanya Yunan.

Arif nyengir saja untuk menjawab pertanyaan Yunan, terlalu malu untuk mengaku bahwa malam pertamanya di kampus itu diisi dengan, mimpi basah.

"Jadi kamu yang ketemu?" suara Anto menyahut dari atas tempat tidurnya.

Anak itu sudah bangun dari tidurnya tapi masih berbaring di atas ranjangnya. Matanya menyelidik memperhatikan temannya yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah.

"Ketemu? Siapaaa?" tanya Arif bingung.

Arif kebingungan karena teman-temannya menatapnya dengan tatapan yang aneh. Bukan hanya Yunan dan Anto. Tapi Romi dan Yuda yang juga sudah bangun juga ikut-ikutan menatapnya. Bahkan kakak angkatan si Rizal juga memicingkan matanya dari atas bantalnya.

"Noni bergaun merah, lebih tepatnya Noni ber-lingerie merah. 'Penghuni legendaris' kamar nomor 5. Selamat yaa...," Yunan menjawab spontan.

Teman-temannya yang lain semua tertawa kecuali Rizal.

"Penghuni legendaris?" Arif bergidik.

Jadi semalam itu bukan Vanya, tapi Noni bergaun merah? Dia tiba-tiba merasa ngeri.

Yunan bangun dan duduk di tempat tidurnya, bersiap-siap mengantri kamar mandi. Rizal yang tempat tidurnya berhadapan dengan tempat tidur Yunan sekarang membelalakkan mata lebar-lebar dipenuhi perasaan ngeri ketika dilihatnya sebuah boneka Teddy bear berwarna kuning kumal terbaring di atas bantal yang baru saja dipakai Yunan.

Indigo Dua WajahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang