Bagian 17

21 11 44
                                    

Perawat Puskesmas menemukan Vanya tergeletak di lantai kamar rawat inapnya pada pukul 04.00 pagi saat hendak mengganti cairan infusnya. Gadis itu dalam kondisi pingsan. Perawat itu segera memanggil dokter dan mereka melakukan pertolongan.

Nita tergopoh-gopoh bangun dari tidurnya dan merasa sangat bersalah. Bagaimana mungkin dia bisa tidur nyenyak seperti itu sementara pasien yang seharusnya ditungguinya terjatuh dari tempat tidurnya sampai pingsan? Dokter menemukan bahwa Vanya mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuhnya. Gadis itu harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar di Ngawi. Nita hanya bisa menangis mendengar kabar itu karena rasa bersalahnya.

Pagi itu juga Vanya dibawa dengan ambulans ke Ngawi. Nita ikut mengantarnya. Sebelumnya, mahasiswa senior itu sudah menelpon Prof Wildan untuk memberitahu kabar tersebut. Prof Wildan berjanji akan menyusul ke Ngawi setelah berkoordinasi tentang pencarian anak-anak yang hilang dengan Pak Mantri dan jagawana anak buahnya, Tim SAR, polisi dan juga warga sekitar kampus. Urusan di kampus Getas diserahkan ke asistennya dan para co asisten, sambil menunggu kedatangan Andri, koordinator PU Getas, dari Jogja.

Semalam, kabar tentang Vanya di Puskesmas dan kabar tentang hilangnya satu kelompok mahasiswa peserta PU Getas dan co asistennya telah sampai ke Jogja. Andri segera meluncur ke Getas malam itu juga.

Seharusnya, jadwal para peserta PU Getas pagi itu sama seperti hari sebelumnya. Masing-masing kelompok harus berangkat menuju petak undian masing-masing. Tapi kejadian hilangnya beberapa mahasiswa membuat mahasiswa-mahasiswa lain tidak mau berangkat. Mereka menuntut penjelasan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar mereka.

"Kami tidak mau mengambil undian petak!" seru salah seorang mahasiswa yang bernama Randi.

Dia sudah berembug dengan teman-temannya, mereka semua khawatir dan juga ketakutan.

"Kami tidak mau mengambil undian petak sebelum kami mendapat penjelasan tentang peristiwa yang terjadi kemarin. Bagaimana mungkin kami bisa melaksanakan praktek dengan tenang kalau ada kejadian-kejadian aneh di sekitar kita dan kita tidak tahu apa-apa tentang itu!" serunya lagi.

Mahasiswa-mahasiswa lain yang berdiri di halaman parkir di sebelah timur aula ikut bersorak-sorak, menyetujui teman mereka. Arif dan Rizal saling pandang.

"Apa maksudnya ini?!" Irwan, asisten Prof Wildan, malah mencoba menaikkan nada bicaranya untuk menggertak agar para mahasiswa itu menurut, "Jangan lupa PU Getas ini 4 SKS, siapa yang tidak mematuhi peraturan tidak akan mendapat nilai!" serunya lagi.

"Masa bodoh dengan nilai!" teriak Randi lagi.

Anak itu memang terkenal sebagai mahasiswa cuek yang agak berandalan. Karena itu teman-temannya menjadikannya juru bicara pada kesempatan itu.

"Keselamatan kami terancam, bagaimana mungkin Bapak masih bicara soal nilai mata kuliah!"

Anak-anak yang lain masih bersorak-sorak.

"Tenang! Tenang!" teriak Dian berusaha menenangkan.

Irwan keder juga melihat mahasiswa-mahasiswa ribut. Di dalam kelas yang mahasiswanya tenang saja dia masih sering grogi, apalagi di depan mahasiswa yang berontak.

"Teman-teman!" seru Rizal tiba-tiba.

Pemuda itu mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk mendapat perhatian para peserta PU Getas itu.

"Aku tahu kita semua khawatir dan cemas. Kita mengkhawatirkan teman-teman kita yang belum ditemukan, juga mengkhawatirkan diri kita sendiri. Tapi, Pak Irwan benar. Saat ini bapak-bapak kitapun, Prof Wildan dan yang lain-lain, masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Percuma kita memaksa mereka untuk memberitahu kita sekarang. Karena saat ini, mereka sendiripun belum tahu sepenuhnya apa yang terjadi," lanjut Rizal.

Mahasiswa-mahasiswa di halaman aula diam mendengarkan Rizal.

"Yang dapat kita lakukan sekarang adalah melakukan apa yang menjadi tugas kita sebaik-baiknya. Kita di sini untuk mengikuti praktek umum. Itu memang kewajiban kita. Lakukan dengan baik sambil mendoakan supaya teman-teman kita yang hilang segera ditemukan," ujarnya lagi.

Para mahasiswa masih diam mendengarkan Rizal. Sebagian besar tertunduk.

"Dan satu lagi, permintaanku, aku ingin teman-teman semua mengingat kembali pesan-pesan Pak Andri saat pembekalan PU. Bersikaplah sopan, dimana saja, kepada siapa saja, termasuk pada makhluk-makhluk dari dunia lain."

Para mahasiswa itu saling pandang satu sama lain, kemudian manggut-manggut. Tampaknya mereka mempercayai kata-kata Rizal. Mereka saling berbisik-bisik di antara kelompok-kelompok mereka. Tanpa dikomando lagi, kemudian perwakilan setiap kelompok maju untuk mengambil undian petak dan siap berangkat.

-------

Meskipun setuju dengan pidato Rizal, para mahasiswa berangkat ke petak masing-masing dengan lesu. Begitu juga kelompok Rizal sendiri.

"Mas Rizal, denger-denger pas Mas Rizal nemuin Vanya kemarin pake cara-cara nerawang gitu ya? Denger-denger Mas Rizal indigo ya?" tanya Sisy.

Rombongan mereka berjalan berombongan satu kelompok menuju petak undian mereka hari itu. Sisy berjalan menjejeri Rizal. Hilda berjalan dengan Ayu di belakang. Fandy dan Arif sudah berjalan jauh di depan.

Rizal mengumpat dalam hati, gossip cepat menyebar. Apalagi di kampus yang minim hiburan dan minim akses ke dunia luar.

"Mas Rizaaalll..," Sisy sedikit berteriak, gemas karena tidak mendapat tanggapan.

Rizal hanya menoleh sekilas ke arah gadis itu, "Gak penting," jawabnya pendek.

"Iiiihhh, kok gitu sih..!" Sisy tambah gemas, "Sebenernya aku tuh mau nanya lho. Tadi malam aku tindihan beberapa kali waktu tidur, padahal biasanya aku gak pernah tindihan. Apa menurut Mas Rizal, aku digangguin?"

Hilda ingat semalam dia yang membangunkan Sisy ketika gadis itu berteriak-teriak dalam tidurnya karena tindihan.

Rizal menoleh lagi ke arahnya. Kali ini bayangan itu datang tanpa diundang. Tampak olehnya tadi malam saat Sisy tidur sesosok makhluk duduk diatas perutnya dengan wajah marah.

Rizal malah tersenyum, "Kamu lagi dapet ya?" tanyanya.

Sisy bengong, "Lho, eh iya, eh maksudnya apa hubungannya?"

"Makanya, kalau lagi dapet, jangan suka buang pembalut bekas sembarangan."

Muka Sisy merah padam, "Maksudnyaaaa...??" tanyanya jengkel.

"Lho, aku serius. Nih ya, kuajarin cara buang pembalut yang baik. Cuci bersih, lipat, masukkan ke kresek, taburi garam dan deterjen sedikit, ikat kreseknya dengan tali mati, baru dibuang. Tapi lebih bagus lagi kalau kamu simpan dulu trus buangnya nanti aja di rumah kamu sendiri," ujar Rizal dengan wajah serius.

Sisy cemberut di sebelahnya.

"Makhluk-makhluk halus gak suka dengan bau-bau benda seperti itu. Kamu gak tau khan kamu buang barang itu kemana? Jangan-jangan ke tempat yang jadi rumah mereka. Kalau ada yang membuang sembarangan ya mereka bakal marah. Sama aja khan kayak kalau ada orang buang sampah sembarangan di rumah kamu. Garam sama deterjen membantu menetralkannya, tau. Lagian, kalau sudah netral khan gak bisa dipake orang buat melet atau nyantet kamu sendiri," jelas Rizal.

"Iihh.., emang ada orang yang make pembalut bekas buat nyantet orang?" Sisy bergidik membayangkannya, ngeri sekaligus jijik, jorok banget rasanya.

"Naahh.., kamu gak tahu, khan?" ujar Rizal.

Hilda tersenyum sendiri mendengar pembicaraan kedua orang itu. Ayu melihat mereka dengan pandangan mengejek.

Indigo Dua WajahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang