Sampai kelas malam itu dimulai, ada enam mahasiswa yang belum muncul untuk absen di kelas; Vanya, karena dia masih rawat inap di Puskesmas, kemudian Adel, Romi, Yudha, Yunan dan Anto.
Prof Wildan yang mengabsen satu persatu mahasiswa di kelas mengerutkan keningnya, "Ada yang tahu, ke mana teman-teman kalian yang belum masuk ini?" nadanya tegas, seperti nada bicara yang biasa dia gunakan saat menginterogerasi segerombolan mahasiswa bermasalah di kampus.
Seisi kelas saling pandang, Arif dan Hilda juga, mereka duduk bersebelahan di kelas. Grup gadis-gadis di kamar Hilda sudah ketemu dengan grup kamar Arif yang tinggal tersisa dua orang itu untuk membicarakan hal tersebut waktu makan malam.
Mereka sudah mencoba menghubungi nomor handphone masing-masing anak yang hilang itu beberapa kali. Semua hasilnya sama, nomor mereka tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Kemudian Arif melapor ke Dian sebagai co ass sebelum masuk kelas, tapi belum sempat ditanggapi karena bel masuk kelas malam keburu berbunyi.
Rizal masih juga belum bisa menerawang posisi anak-anak yang hilang itu, meskipun tubuhnya sudah lebih segar setelah mandi dan energinya sudah pulih kembali setelah makan malam. Seperti ada sesuatu yang tidak beres, seperti ada aura aneh yang menghalanginya menerawang. Namun aura apa atau siapa itu, persisnya Rizal tidak tahu.
"Bagaimana mungkin tidak ada satupun di kelas ini yang tahu?" tanya Prof Wildan lagi ketika tidak ada satupun mahasiswa di dalam kelas itu yang menjawab pertanyaannya.
Dian, salah satu co ass yang tadi dilapori hilangnya anak-anak itu, masuk ke ruangan dan langsung menuju depan kelas menghampiri Prof Wildan.
"Prof, anak-anak yang tidak absen itu semuanya satu kelompok, co ass-nya Yusuf. Yusuf juga belum terlihat kembali dari petak sejak pagi tadi," lapornya dengan setengah berbisik.
Prof Wildan melongo, ekspresi kaget campur bingung terlihat jelas di wajahnya, "Maksudnya?"
"Mereka yang menghilang, semua satu kelompok ditambah co assnya, Yusuf, juga menghilang," ulang Dian.
"Sudah coba dihubungi?" tanya Prof Wildan lagi.
"Sudah, Prof, handphonenya tidak ada satupun yang aktif."
Para mahasiswa di kelas saling berbisik memperhatikan Prof Wildan dan Dian. Seumur-umur Prof Wildan mengajar di PU Getas, hal semacam ini belum pernah terjadi, meski memang sekali dua kali pernah ada kasus-kasus kenakalan mahasiswa peserta PU. Beberapa kali pernah terjadi di mana satu atau dua orang mahasiswa menghilang dari kampus Getas karena diam-diam pulang ke Jogja. Satu-dua orang saja, bukan berombongan satu kelompok semacam ini.
"Ke petak berapa mereka tadi?"
"Jatah mereka petak 50, Prof."
"Itu khan gak jauh juga, lumayan dekat."
Prof Wildan menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, kemudian mengambil handphone di saku bajunya dan memencet sebuah nomor. Pria paruh baya itu bangkit berdiri dari tempatnya duduk dan berjalan keluar ruangan.
Prof Wildan bicara dengan Pak Mantri, untuk meminta pertolongan agar beberapa petugas jagawana membantu melakukan pencarian anak-anak yang hilang itu.
-------
Vanya terbangun sekitar pukul 24.00 malam itu. Dari jauh samar-samar terdengar dentang lonceng dua belas kali. Hal pertama yang tertangkap oleh pandangan matanya adalah Nita yang tertidur di sofa di samping tempat tidurnya. Ruangan kamarnya gelap dan sepi. Vanya merasakan bulu tengkuknya merinding dan menyesal mengapa dia tidak terbangun besok pagi saja.
Bayangan peristiwa malam sebelumnya berkelebat lagi dalam ingatannya. Dalam suasana kamar kampus Getas yang sepi karena semua penghuninya telah tertidur, Vanya tiba-tiba terbangun. Ada perasaan aneh yang menyergapnya di tengah malam itu. Vanya ingat betul saat itu baru lewat sedikit dari tengah malam karena dia sempat membuka smartphonenya untuk melihat jam.
Dari atas tempat tidur tingkatnya, dilihatnya satu-persatu teman-temannya yang tidur pulas di atas tempat tidur masing-masing, kecuali seseorang.
Seumur-umur Vanya tidak pernah percaya pada hantu. Tapi malam itu semuanya berubah. Di malam yang mengerikan itu Vanya melihat sesosok siluet berjalan dari arah pojokan kamar ke arahnya, wajahnya tertutup gelap, namun langkahnya pasti. Perlahan-lahan sosok itu menaiki tangga tempat tidurnya, menghampirinya.
Vanya benar-benar tidak dapat melihat dengan jelas wajah sosok yang menghampirinya itu.
"Adel? Hilda...?" tanyanya lirih.
Siluet itu semakin mendekat hingga akhirnya muncul di sebelah bantalnya. Gadis cantik berwajah pucat yang menghampirinya itu tersenyum ke arahnya dengan aneh, antara senyum manis dan senyum jahat. Vanya terbelalak melihat wajah asing itu. Kengerian segera merayapinya. Ada perasaan ngeri yang membuatnya ingin lari jauh-jauh dari tempat itu. Tapi Vanya tidak bisa lari, tubuhnya kaku seolah terpaku di atas tempat tidurnya itu.
Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya ketika Vanya mencoba berteriak. Wajah di hadapannya kembali mengejeknya dengan senyuman jahat. Perlahan-lahan wajah itu berubah, seperti orang yang membuka topeng dan menunjukan wajah aslinya yang mengerikan. Vanya ingin sekali menutup matanya agar tidak perlu melihat wajah itu. Tapi tidak, dia tidak bisa melakukan apapun waktu itu. Bahkan untuk sekedar mengedipkan matapun dia tidak bisa.
Vanya tidak ingat lagi bagaimana kemudian dirinya bisa berakhir di cabang pohon jati setinggi empat meter di atas permukaan tanah jauh di tengah hutan yang sepi itu.
---------
Seandainya bisa tentu Vanya ingin bangun saat sudah lewat waktu Subuh. Orang-orang bilang hantu-hantu takut pada sinar matahari. Benarkah sosok yang kemarin malam menerornya di kampus itu sosok hantu? Vanya bertanya-tanya dalam hatinya. Adakah orang lain yang telah melihat sosok hantu itu selain dirinya. Adakah orang lain selain dirinya, dari hampir 50-an mahasiswa peserta PU Getas yang lain yang juga mengalami apa yang dialaminya? Jika tidak ada orang lain yang mengalaminya, jika hanya dia seorang yang mengalaminya, apa kesalahannya sehingga mengalami kejadian mengerikan semacam itu?
Suasana tengah malam di Puskesmas itu sama mencekamnya dengan suasana malam kemarin di kampus. Vanya berharap dia bisa segera tertidur kembali. Saat itulah baru diingatnya jika dia perlu memanjatkan doa-doa. Doa apa saja yang terlintas di pikirannya agar dia dapat melalui malam itu dengan tenang. Tanpa dihantui sosok mengerikan seperti malam sebelumnya.
Belum selesai mulutnya komat-kamit, pintu kamarnya terbuka. Jantungnya segera berdebaran tidak karuan. Kengerian kembali menyergapnya. Bulu kuduknya berdiri. Matanya terpaku pada pintu yang terbuka itu. Seperti pesakitan yang menunggu saat eksekusi, Vanya terpaku di atas tempat tidur Puskesmas itu. Wajah yang tidak akan mungkin dilupakannya itu kembali muncul di hadapannya.
Apakah orang bisa mati karena ketakutan? Kalau iya, mungkin Vanya akan jadi salah satu dari orang yang mati karena ketakutan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo Dua Wajah
TerrorSetiap mahasiswa Fakultas Kehutanan semester 5 harus mengikuti praktek lapangan di hutan jati di Ngawi selama 20 hari. Selama praktek tersebut, mereka akan tinggal di kampus Getas yang terletak di tengah hutan jati. Sudah turun-temurun, kampus Getas...