Bagian 10

12 10 0
                                        

Rizal memperhatikan seorang gadis berambut panjang dengan wajah pucat kebiruan duduk di atas batu besar tak jauh dari tempatnya berdiri. Kulitnya sangat bening sampai-sampai garis-garis pembuluh darahnya nampak dari luar. Dihampirinya gadis itu. Setelah dekat, baru tampak di mata Rizal kedua lingkaran mata gadis itu tampak terlalu dalam dan menghitam, bola matanya tanpa kornea dan mulutnya berkerut. Ujung gaun gadis itu yang berwarna putih kusam menutupi sampai ke mata kakinya yang tanpa alas kaki.

"Di mana Vanya?!" tanya Rizal sedikit menghardik.

Menghadapi makhluk-makhluk semacam itu dia harus tegas, begitu pesan gurunya dulu.

Gadis itu memandang Rizal dengan bola mata putihnya, wajahnya datar tanpa ekspresi. Kemudian jari telunjuknya diacungkannya menunjuk arah belakangnya sebagai jawaban pertanyaan Rizal. Rizal segera berlari mengikuti arah yang ditunjukkan gadis itu. Arif yang tidak bisa melihat apa yang dilihat Rizal berlari saja mengikuti kakak angkatannya itu.

Vanya memandangnya dengan rasa lega meskipun ketakutan masih kelihatan jelas di wajahnya.

"Mas...! Mas Rizal...!" teriak Vanya lemah.

Gadis itu berusaha memanggil-manggil Rizal yang dilihatnya berlari mendekat ke arahnya. Sepertinya pemuda itu belum melihatnya sama sekali. Namun, tampaknya suara Vanya terlalu lemah untuk didengar Rizal.

"Mas...! Mas Rizal...!!" teriak Vanya lagi.

Vanya mengerahkan segenap kekuatannya untuk memanggil Rizal dari atas cabang pohon tempatnya duduk, sekitar empat meter dari permukaan tanah. Gadis itu lemas dan sedikit dehidrasi. Sisa tenaganya yang lain digunakannya untuk memeluk batang pohon tempatnya bersandar dengan kedua tangannya.

Suara gadis itu terlalu lemah dan Rizal tidak mendengarnya. Vanya takut Rizal semakin menjauh sebelum berhasil menemukannya. Rasanya Vanya ingin menangis, butir-butir air mata mulai membasahi pipinya.

Sebutir biji jati jatuh tepat mengenai kepalanya. Vanya tersentak kaget, dilihatnya biji itu melayang jatuh lagi ke tanah. Vanya mendangak, dilihatnya pohon jati itu bunga dan buahnya cukup banyak. Buah jati berukuran kecil-kecil seukuran ujung jarinya. Mau tidak mau, Vanya harus melepaskan satu pegangan tangannya untuk menjangkau beberapa butir buah jati yang paling dekat dengannya. Setelah didapatnya biji-biji jati itu di tangannya, pelan-pelan dilemparkannya buah-buah itu ke bawah, mengarah ke Rizal yang masih berada di sekitar pohon itu.

Satu dua lemparannya meleset karena tenaganya yang lemah dan hanya menyentuh tanah di belakang pemuda itu. Rizal belum menyadarinya sampai kemudian lemparan terakhir Vanya mengenai pundaknya. Pemuda itu mendangak ke atas dan melihat gadis itu, duduk di cabang pohon jati setinggi empat meter dari atas permukaan tanah.

Vanya memaksakan senyum ketika Rizal melihatnya.

"Vanya!" teriak pemuda itu.

Arif yang ngos-ngosan karena berlari-lari mengikuti Rizal merasa sangat lega karena Vanya akhirnya ditemukan.

Vanya berhasil dievakuasi dari atas pohon itu menjelang sore, setelah petugas jagawana yang dipanggil untuk dimintai bantuan menggendongnya turun dari atas pohon itu. Awalnya Rizal meminta bantuan penduduk kampung terdekat yang kemudian datang membawakannya tangga. Tapi Vanya lemas karena dehidrasi dan tidak sanggup turun sendiri dari pohon lewat tangga yang disediakan. Petugas Jagawana membantu membawa Vanya ke puskesmas terdekat dengan mobil mereka.

Rizal melihat dokter jaga puskesmas dan para perawat memasang infus di tubuh Vanya, gadis itu dehidrasi dan shock. Setelah dari UGD, dia dipindahkan ke kamar rawat inap. Sekarang, Vanya sudah tampak lebih tenang, meski roman ketakutan masih nampak di wajahnya.

Sebenarnya Rizal ingin bicara dengan gadis itu dan bertanya apa yang terjadi, namun tampaknya hal itu belum memungkinkan. Sepertinya Vanya butuh waktu, nanti jika kondisinya sudah lebih baik, dia pasti akan mengajaknya ngobrol.

Dokter sedang bicara dengan Pak Wildan, dosen pengampu mata kuliah Inventarisasi Hutan yang bertugas mengisi kelas nanti malam. Beliau baru datang dari Jogja sore itu dan langsung menyusul ke puskesmas setelah diberi tahu insiden yang terjadi pada Vanya. Dian dan Nita, co-ass PU, juga ikut bersama beliau menengok Vanya ke puskesmas.

Pak Wildan menghampiri Rizal dan Arif di kursi tunggu di depan kamar Vanya usai bicara dengan dokter.

"Bagaimana keadaan teman kalian?" tanya beliau.

"Sepertinya sudah lebih tenang, Prof. Vanya tidur sekarang."

Arif melongok ke dalam kamar sedikit melalui jendela untuk meyakinkan, tampak wajah pucat Vanya dengan mata terpejam di atas ranjang. Arif menyukai Vanya, pemuda itu merasa sedih melihatnya dalam kondisi tak berdaya seperti itu.

Pak Wildan manggut-manggut, "Semoga kondisinya semakin membaik. Jika dalam satu atau dua hari dia membaik, mungkin dia bisa melanjutkan mengikuti PU Getas ini. Jika tidak, dengan terpaksa ya mungkin lebih baik kita sarankan untuk kembali ke Jogja saja atau pulang ke rumahnya. Toh, PU ini bisa diambil lagi semester depan."

Arif yakin Vanya akan baik-baik saja. Dia gadis yang kuat. Arif ingin Vanya bisa mengikuti PU ini sampai selesai.

"Sebaiknya kalian kembali ke kampus sekarang, kalian tetap harus mengikuti kelas nanti malam. Biar Nita yang membantu menunggui Vanya, tugasnya bisa digantikan oleh co-ass yang lain. Mungkin dia juga akan merasa lebih nyaman kalau yang menungguinya sama-sama perempuan," kata Pak Wildan.

Arif merasa berat meninggalkan Vanya, tapi dia tidak berani membantah Pak Wildan. Dan lagi, ucapan Pak Wildan ada benarnya juga. Vanya pasti lebih nyaman jika yang menungguinya sama-sama perempuan. Arif dan Rizal ikut rombongan Pak Wildan kembali ke kampus Getas. Nita tinggal untuk menunggui Vanya di kamar rawat inap di puskesmas.

Seandainya Vanya tahu, tentu dia akan meminta mereka semua menemaninya beramai-ramai di puskesmas itu.

Indigo Dua WajahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang