Bagian 18

10 2 11
                                        

Seperti kegiatan kemarin di petak, Arif membuat petak ukur dan Hilda membantu mencatat. Anak-anak yang lain juga berbagi tugas dalam kelompok itu. Mereka berpencar mengerjakan jatah pekerjaannya masing-masing.

"Gimana khabar Vanya, ya?" ujar Arif tiba-tiba.

Pertanyaannya sebenarnya mungkin lebih banyak dia tujukan pada dirinya sendiri. Pandangan matanya mengawang jauh, mungkin membayangkan keadaan Vanya saat ini.

Hilda melihat sorot mata kerinduan itu di mata Arif. Bahkan di saat jauhpun, sepertinya cowok-cowok ini tidak bisa berhenti memikirkan Vanya. Arifpun sama saja! Apa sebenarnya istimewanya gadis sombong dan tukang bully itu? Tentu Hilda belum lupa bagaimana Vanya meninggalkannya di jalan di hari pertama mereka di kampus Getas.

"Kenapa gak kamu tengokin dia di Puskesmas," jawab Hilda sedikit ketus.

Gadis itu berhenti mencatat dan melemparkan clipboard berisi catatannya di hadapan Arif, kemudian meninggalkan pemuda itu sendirian dengan petak ukurnya. Arif hanya terbengong-bengong melihatnya.

Pemuda itu memungut clipboard yang dilemparkan Hilda dan mulai meneruskan pekerjaan Hilda mencatat semai pada petak ukur 1 X 1 meter yang dibuatnya. Arif tidak tahu kenapa Hilda tiba-tiba terlihat kesal sekali. Saat pemuda itu berjongkok untuk mencatat, tiba-tiba dari belakang serasa ada seseorang yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Hilda?" panggilnya.

Mungkin Hilda tadi hanya ada perlu sesuatu dan sekarang dia kembali untuk meneruskan pekerjaannya.

Tidak ada yang menjawab, tapi suara langkah kaki menginjak seresah hutan terdengar semakin mendekat, dekat sekali.

"Hilda?" panggilnya lagi.

Kali ini Arif menengok ke arah suara langkah kaki di belakangnya. Tidak ada apa-apa ataupun siapa-siapa di belakangnya. Mungkin, suara langkah kaki itu hanya perasaannya saja. Di hutan tentu banyak juga binatang-binatang hutan yang berkeliaran dan membuat suara-suara. Arif berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk dari kepalanya dan meneruskan pekerjaannya mencatat.

Kali ini suara langkah kaki sudah tidak terdengar, tapi dari sudut matanya Arif bisa melihat sesosok makhluk menyeramkan yang sedang memandanginya dari balik pohon.

Pemuda itu meloncat kaget, "Astaghfirullah...!! Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyum..." Bacaan ayat Kursi segera mengalir dari mulutnya. Beruntunglah Arif tidak lupa bacaan-bacaan itu di saat-saat genting seperti ini. Bulu kuduknya berdiri, tapi diberanikannya memandang ke arah makhluk menyeramkan itu tadi berdiri. Makhluk itu sudah tidak nampak lagi sekarang.

---

Rizal mencoba mengingat-ingat lagi apa yang salah, kenapa sulit sekali baginya untuk menerawang kasus-kasus yang terjadi di sekitarnya akhir-akhir ini. Ingatannya melayang. Dulupun dia pernah mengalami hal yang sama. Memang diapun tidak selalu berhasil menerawang sesuatu. Kadang hanya gelap yang dia dapat saat menerawang sesuatu yang dianggapnya penting.

"Tuluslah, Zal. Tuluslah. Karena tidak ada yang dapat mengalahkan ketulusan," begitu nasehat Said dulu ketika dia bertanya tentang hal tersebut.

Rizal mencoba menata hatinya. Dia sadar bahwa kadang dalam hatinya terselip rasa ingin dipuji atau pamrih. Dan Rizal mulai belajar bahwa ternyata menjadi tulus itu tidak semudah membalikkan telapak tangannya.

Rizal memejamkan mata di bawah pohon jati besar sementara teman-teman kelompoknya sibuk mengerjakan praktek Inventarisasi Hutan. Pemuda itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa yang dia inginkan ketika dia menerawang kasus ini. Sekedar ingin tahu? Pujian dari teman-temannya? Jadi pahlawan? Tuluskah dia ingin menolong teman-temannya?

Indigo Dua WajahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang