Rizal langsung menghampiri sahabatnya yang lebih tua dua puluh tahunan dari dirinya itu di bawah pohon trembesi di halaman aula kampus. Hilda tadi langsung berbelok ke arah kamarnya ketika melihat Rizal menyapa Said.
"Lho, Mas Said kok ada di sini?" tanyanya heran.
Mereka bersalaman. Sahabat Rizal yang bertubuh gempal itu tersenyum.
"Ada masalah khan di sini? Kebetulan Pak Andri dan aku teman baik. Beliau langsung mengajakku ke sini begitu mendengar masalah-masalah yang terjadi di sini."
Rizal senang sekali mendengarnya. Andri, dosen koordinator PU Getas bukan orang sembarangan. Dan bagaimanapun juga, pengalaman Said lebih panjang dan lebih berisi darinya. Dua hal itu tentu akan sangat berarti untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi di kampus Getas.
"Mas Said sudah lihat sesuatu?" tanya Rizal kemudian.
Laki-laki itu menggeleng, "Yang bisa aku rasakan, sebenarnya danyang-danyang penunggu kampus Getas bukanlah tipe yang suka mengganggu. Memang kadang-kadang mereka usil, tapi tidak sampai pada tahap yang mencelakakan orang."
"Mencelakakan?" tanya Rizal heran.
"Kamu belum dengar? Gadis yang katanya kemarin hilang dan ketemu di atas pohon, trus dirawat di puskesmas..."
"Vanya?" potong Rizal tidak sabar.
"Ya, itu. Tadi pagi dia ditemukan di lantai kamar rawat inapnya di puskemas. Dia pingsan dan patah tulang. Sekarang dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di Ngawi."
Bayangan Vanya tergeletak di lantai rumah sakit dan makhluk berwajah mengerikan yang diterawangnya tadi bersama Hilda muncul lagi di kepala Rizal. Jadi begitu, arti dari bayangan itu; Vanya diganggu lagi sampai terluka parah.
"Ini bukan pekerjaan danyang penunggu kampus Getas, Rizal. Ini pekerjaan makhluk lain. Makhluk yang jauh lebih kuat dan jahat. Itu yang bisa aku rasakan. Yang jadi pertanyaan adalah, makhluk apa ini?"
Rizal hanya bisa menggeleng. Sudah dua hari ini dia memikirkan kasus ini dan belum menemukan jawaban. Bayangan-bayangan yang didapatnya lewat penerawangan belum bisa utuh, selalu sepotong-sepotong, meski sekarang sudah tidak sepenuhnya gelap seperti kemarin.
Sore itu Said mengajak Rizal berjalan-jalan keliling kampus untuk melihat-lihat situasi. Tampak di setiap sudut-sudut bangunan, Said memerlukan berhenti untuk mengamati. Dia mengamati apa saja, mungkin juga menerawang.
"Apa yang sudah kamu temukan, Zal?" tanya Said.
Laki-laki itu sendiri belum menceritakan hasil penerawangannya pada Rizal.
"Sebenarnya, waktu pembekalan PU beberapa hari yang lalu, sebelum berangkat ke sini, aku sempat melihat hal yang aneh," jawab Rizal. "Aku duduk di sebelah seseorang, awalnya kukira ada dua orang gadis di sebelahku. Tapi kemudian ketika kulihat lagi, ternyata hanya ada satu orang. Aku sempat mengira yang seorang itu penampakan."
"Oya?" komentar Said.
"Terus waktu berangkat ke Getas naik bus, aku juga melihat hal yang sama, aku duduk dekat seseorang, awalnya kukira ada dua orang tapi ketika kulihat lagi, ternyata sama, hanya ada satu orang. Yang di kelas dan di bus itu, orangnya sama."
"Orang yang sama? Kalau begitu, itu bukan kebetulan."
"Mungkin juga, Mas. Tapi memang hal itu agak terlupakan karena ada hal lain lagi ketika sudah sampai sini. Anak-anak cowok di kamarku, mereka yang kemudian hilang itu, mereka sepertinya bermain jaelangkung. Terus terang aku merasa kecolongan. Aku tidak tahu kapan mereka main. Aku hanya bisa merasakan boneka yang mereka pakai main itu masih memiliki sedikit atau sisa energi negatif."
Yang Rizal maksud adalah boneka Teddy bear kuning kumal yang dia lihat di bantal Yunan pagi hari kemarin.
Said manggut-manggut mendengarkan Rizal, "Ada lagi?"
"Nah, baru kemarin ketika aku mencoba menerawang, aku melihat bayangan. Aku melihat adegan masa kecil salah seorang teman di sini. Aku melihat salah seorang teman di sini melihat penampakan untuk pertama kalinya sewaktu kecil. Orang ini orang yang sama dengan orang yang di kelas dan di bus yang kuceritakan tadi. Namanya Hilda. Aku pikir ini bukan kebetulan lagi. Kupikir, memang ada yang berusaha menunjukkan padaku kalau si Hilda ini juga seorang indigo dan mungkin dia bisa diajak bekerjasama untuk memecahkan kasus ini. Aku juga sudah bicara dengan gadis itu tentang hal ini. Dia bilang dia akan membantu."
"Hmm..." Said manggut-manggut saja sebagai komentar atas cerita Rizal.
"Nah, yang aku bingung. Ada beberapa kejadian di sini. Yang pertama adalah hilangnya Vanya, gadis yang kemudian ditemukan di atas pohon. Yang kedua adalah hilangnya anak-anak yang sepertinya bermain jaelangkung. Sekarang ditambah lagi yang ketiga, Vanya diganggu makhluk menyeramkan di kamar rawat inapnya di puskesmas. Apakah kasus-kasus itu berhubungan satu sama lain? Apakah penyebabnya sama? Ataukah semua itu kasus-kasus yang berbeda? Awal-awal aku berusaha menerawang semua kejadian itu kemarin, aku hanya melihat gelap. Aku merasa gelap ini bukan gelap biasa, tapi ada yang berusaha menutupi pandanganku, Mas."
"Menurut pendapatku, karena sepertinya hal-hal aneh di sini bukan hasil kerja danyang penunggu kampus Getas, berarti ada sesuatu dari luar yang menjadi penyebabnya."
"Apa bisa seperti itu, Mas? Mungkinkah ada makhluk dari luar yang datang ke kampus ini?"
"Ya, bisa jadi. Aku menduganya seperti itu. Tapi makhluk itu tidak datang dengan sendirinya. Aku menduga itu kiriman, atau ada yang membawa-bawa makhluk yang jahat itu kemari."
"Kiriman?"
"Ya, seperti santet, misalnya. Dhemit itu bisa dikirim untuk mengganggu. Dhemit dari luar tempat ini. Atau mungkin juga ada yang membawanya dari luar kesini, seperti prewangan."
Kali ini Rizal yang manggut-manggut meskipun dia hanya setengah memahami kalimat Said.
"Sepertinya aku perlu bertemu dengan temanmu yang bernama Hilda itu dan juga melihat boneka bekas permainan jaelangkung itu."
"Ayo, lihat boneka itu di kamarku, Mas. Habis itu, aku ajak Mas Said kenalan dengan Hilda."
Tiba-tiba sepotong bayangan berkelebat di kepala Rizal. Rizal terpaku di tempatnya berdiri. Dalam bayangan itu ada sepotong adegan, antara dirinya dengan Hilda. Seolah-olah mereka berdua sedang berbicara. Dua kancing blus Hilda bagian atas terbuka dan tanpa sengaja pandangan mata Rizal terantuk pada pemandangan belahan dada di hadapannya itu. Hilda segera memegangi bagian atas blusnya itu dengan tangannya. Muka Rizal merah padam melihat bayangan itu.
"Zal?" Said menepuk-nepuk pundaknya, menariknya dari bayangan yang tiba-tiba datang itu.
"Eh, Mas." Rizal tersentak dari lamunannya.
Said tersenyum, "Kenapa mukamu jadi merah begitu?"
Lembayung membayang di ufuk barat, pertanda sudah hampir jatuh waktu Maghrib.
"Hmm, gakpapa, Mas," jawab Rizal. "Kayaknya sudah mau Maghrib. Yuk, kita sholat dulu di masjid kampus, trus makan. Habis itu baru ke kamarku lihat boneka."
Mungkin bayangan itu tidak penting, hanya sekedar lamunannya saja. Mungkin Rizal terlalu memikirkan gadis itu hingga bayang-bayang wajahnya terbawa dalam lamunannya. Rizal tidak merasa perlu menceritakannya pada Said.

KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo Dua Wajah
HorrorSetiap mahasiswa Fakultas Kehutanan semester 5 harus mengikuti praktek lapangan di hutan jati di Ngawi selama 20 hari. Selama praktek tersebut, mereka akan tinggal di kampus Getas yang terletak di tengah hutan jati. Sudah turun-temurun, kampus Getas...