Bagian 19

6 1 0
                                    

Hilda tidak tahu bagaimana dia harus bereaksi atas pernyataan Rizal. Ya, kadang Hilda memang bisa melihat makhluk halus, tapi Hilda tidak pernah memerdulikan hal itu.

Dulu sewaktu kecil, Hilda pernah bercerita pada nenek tentang makhluk-makhluk yang dilihatnya dan nenek ketakutan. Kakek menasehatinya agar tidak menceritakan hal-hal semacam itu lagi pada orang lain. Maka sekarang dia tidak pernah cerita-cerita pada orang lain lagi, kecuali pada Ayu, sahabatnya seorang.

"Ah, aku bukan indigo," Hilda membantah, tapi nada suaranya sendiri terdengar tidak mantap.

Tiba-tiba Hilda ingat kata-kata Ayu kalau Ayu tidak menyukai Rizal dan Hilda harus berhati-hati pada pemuda itu.

"Bukan?" tanya Rizal, "Kamu yakin, kamu bukan indigo, Hilda?"

Hilda mengangkat bahu, "Aku indigo atau bukan, apa itu ada hubungannya dengan kejadian-kejadian akhir-akhir ini di kampus?"

"Ya, tentu ada hubungannya, Hilda. Kamu bisa membantuku. Aku tidak bisa menerawang sendiri kasus ini."

"Menerawang?"

Hilda belum pernah menerawang sesuatu. Selama ini bayangan-bayangan lewat begitu saja tanpa dia inginkan. Hilda tidak pernah berusaha mencari tahu atau menerawang sesuatu dengan sengaja.

"Kamu belum pernah menerawang sesuatu?"

Hilda menggeleng.

"Misalnya sekarang kamu bayangkan tentang hmm.., salah satu teman kita, misalnya...Vanya.., bayangan apa yang muncul di pikiranmu?"

Hilda menuruti Rizal, memejamkan matanya dan membayangkan tentang Vanya. Hilda tersentak kaget saat dalam bayangannya muncul adegan Vanya tergeletak di lantai rumah sakit dengan air mata meleleh di pipinya dan sesosok makhluk menyeramkan muncul di depan hidungnya.

"Kamu bisa khan? Apa yang kamu lihat?" tanya Rizal.

"Vanya tergeletak di lantai rumah sakit. Dia diganggu makhluk menyeramkan," jawab Hilda tak yakin.

Apakah itu kejadian yang sesungguhnya, bukan sekedar khayalannya saja?

"Itu kejadian yang sebenarnya, bukan khayalanmu," ujar Rizal, seolah tau apa yang dipikirkan Hilda.

"Mas Rizal juga melihat hal yang sama?"

"Ya, aku bisa melihat itu. Sekarang yang sedang aku cari tahu adalah, apa yang menyebabkan semua kejadian ini. Tidak mungkin, hal-hal semacam ini terjadi begitu saja tanpa ada penyebabnya."

"Mas Rizal gak bisa nerawang apa penyebabnya kah?"

Rizal menggeleng, "Setiap kali mencoba menerawang hal itu, bayanganku gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Seperti ada aura aneh yang menghalangiku melihatnya. Aura ini aura yang sangat jahat, Hilda. Waktu aku merenung di bawah pohon jati di petak tadi, tiba-tiba aku melihat bayangan masa kecilmu sekilas. Saat kamu melihat penampakan gadis kecil di pintu kamarmu setelah kau merayakan pesta ulang tahunmu yang ke-5. Saat itulah aku tahu, kamu juga bisa melihat penampakan, Hilda. Kamu juga seorang indigo. Aku pikir bayangan itu menunjukkan padaku kalau aku harus mengajakmu bekerjasama untuk memecahkan masalah ini."

Hilda terkejut. Cerita Rizal itu benar. Saat Hilda selesai merayakan pesta ulang tahunnya yang ke lima tahun dulu itulah pertama kali dia melihat penampakan yang berupa gadis kecil seumurnya di depan pintu kamarnya. Kejadian itulah yang dia ceritakan pada nenek dulu dan membuat nenek histeris.

"Apalagi yang Mas Rizal lihat?"

"Gak ada, hanya itu. Kamu mau membantu khan, Hilda? Kamu mau membantu teman-teman kita yang hilang agar mereka bisa ditemukan?"

Hilda mengangguk, tapi lagi-lagi tak yakin, "Hanya saja, aku gak biasa, seperti yang Mas Rizal bilang tadi, aku gak biasa menerawang. Mungkin nanti Mas Rizal perlu ngasih tahu aku apa-apa yang harus aku lakukan."

"Ya, tentu. Nanti mungkin kita perlu lebih banyak ngobrol."

Tak terasa mereka berjalan sambil mengobrol, sekarang mereka sudah sampai kembali di kampus. Rizal terpekik melihat sesosok laki-laki bertubuh gempal yang sedang berdiri di bawah pohon trembesi besar di halaman aula kampus.

"Mas Said!" teriaknya senang.

---

"Jangan dengarkan dia," ujar Ayu.

Hilda menceritakan tentang Rizal setiba mereka di kamar. Ayu bukannya tidak tahu kalau Rizal mengajak Hilda mengobrol. Dia tidak menyukai pemuda itu dan memilih menghindar. Sebenarnya sedari tadi dia ingin memberi kode pada sahabatnya itu agar segera menjauhi Rizal secepat mungkin.

"Menurutku, omongan dia masuk akal lho," jawab Hilda.

Baru sekali ini Hilda membantah Ayu. Ayu merasa Hilda sudah dipengaruhi oleh Rizal.

"Masuk akal gimana?"

"Ya, kenyataannya khan selama ini memang aku bisa melihat penampakan, khan? Jadinya, mungkin memang aku bisa membantu."

"Kamu mau membantu?"

"Ya, kalau bisa, apa salahnya?"

Ayu diam saja, memperhatikan temannya dari atas tempat tidur.

"Eh, kenapa kamu gak membantu juga? Khan selama ini kamu sebenarnya lebih tahu dari aku? Meski aku bisa melihat penampakan, tapi tidak sepeka kamu. Kamu seringkali bisa melihat apa-apa yang aku tidak bisa lihat."

"Kamu mau aku ikut membantu apa?" tanya Ayu.

"Anak-anak yang hilang itu, anak-anak dari kamar nomor 5, sekarang mereka ada di mana?"

Seolah menuruti Hilda, Ayu memejamkan mata untuk menerawang. Sebentar kemudian dia sudah membuka matanya kembali.

"Mereka keselong, masuk ke dunia lain," jawab Ayu acuh tak acuh.

"Tuh khan, kamu bisa cepet banget nerawangnya."

Kemudian Hilda mencoba memejamkan mata juga. Muncul bayangan-bayangan adegan anak-anak yang hilang itu di kepalanya, juga teriakan-teriakan mereka. Lagi-lagi Hilda tersentak kaget. Dia belum terbiasa, tapi kemudian dia menemukan bahwa ternyata 'keahliannya' ini cukup menyenangkan. Hilda heran mengapa dia tidak melakukannya dari dulu.

"Kenapa mereka bisa masuk ke dunia lain, ya?" tanyanya lebih pada dirinya sendiri.

Hilda segera memejamkan matanya lagi untuk 'menerawang'.

Tanpa memejamkan mata, Ayu menjawab, lebih cepat dari Hilda menerawang.

"Bilang sama Rizal, mereka main jaelangkung. Ada boneka kuning jelek di kamar mereka yang mereka pakai main jaelangkung itu. Itu aja buktinya."

Indigo Dua WajahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang