Nikotin dan Kafein | 19

225 20 19
                                    

Happy reading, sorry for some typo(s)

***

Seminggu sudah sejak kepergian Mama Niko. Cowok itu terlihat baik-baik saja. Sekolah seperti biasa, aktif dalam kegiatan sekolah sperti biasa, dan yah, minim bicara itu juga sudah menjadi kebiasaan cowok itu. Seolah-olah cowok yang memeluknya sambil menangis tersedu-sedu di basement itu tidak pernah ada.

Sejak hari itu, Fei tidak pernah lagi bersinggungan dengan Niko. Saat ia mengambil seragamnya Senin kemarin juga ia hanya bertemu Agnes. Dan berkebalikan dengan Niko, Fei malah tidak baik-baik saja di sini. Sebenarnya ia tidak mau ambil pusing, toh tanpa itu masalahnya sudah cukup rumit. Namun, keadaan di mana Niko terlihat baik-baik saja ini justru mengganggunya. Jelas cowok itu tengah berakting.

"Mampus! Abis diunboxing, ditingal. Kalau hamil jangan ngaku-ngaku gue bapaknya ya." Seru Agam ambigu begitu ikut bergabung bersama ketiga temannya duduk di kantin. Membuyarkan seluruh lamunan tidak penting yang mengusut di kepala Fei.

"Bego lo!" Fei memukul bagian belakang kepala Agam.

Cowok itu cuma bisa meringis sambil mendengus kesal diikuti kekehan Danu dan Genta.

"Gam... Gam, gabisa apa lo sehari aja nggak bikin Fei naik darah," kata Genta heran sambil menyodorkan sebotol Yakult pada Agam yang lantas ditenggaknya sampai habis.

Memang bukan tanpa alasan Agam nyeletuk seperti itu. Pasalnya pada hari teman sekelasnya serta beberapa guru dan teman-teman yang menganal Niko pergi ngelayat ke rumah cowok itu, Fei tidak masuk sekolah. Dan mereka malah menemukan Fei di rumah Niko dengan pakaian santai milik Agnes.

Agam sampai tahu kalau itu milik adik Niko, karena bodohnya di ujung kaos cewek itu terdapat tulisan atas nama Agnes. Habislah Fei hari itu di goda Agam. Sampai hari ini sebenarnya.

"Emang lo beneran diunboxing Pe, ama Niko?" tanya Danu santai sambil menggigit tusuk gigi.

Genta dan Agan ikut menoleh penasaran ke arah Fei yang malah mendapat pelototan dari cewek itu. "Enggak, Dan. Astaga." Jawab Fei mulai kalut.

Danu mengedikkan bahu acuh, "Kirain. Niko anak alim begitu. Yang ada dia yang dimakan Fei duluan." Sontak Agam dan Genta berseru heboh sambil bertos ria.

"Bener tuh," Agam menimpali.

"Ah, udah ah, males gue kalau gini ceritanya. Cabut gue." Putus Fei sebelum akhirnya meninggalkan meja yang ditemoati ketiga cowok menyebalkan itu.

"Lha? Ngambek," celeetuk Agam.

Genta hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua orang yang tidak pernah akur itu, "Goblok lo."

***

Terakhir kali Fei di bully itu waktu SMP. Ia bahkan tidak ingat apakah itu rundungan atau entah bagaimana menyebutnya. Bukan kekerasan fisik yang ia dapatkan, melainian verbal. Ia tidak secara terang-terangan disakiti layaknya sinetron yang sering muncul di TV, tapi saat ia susah mencari kelompok, tidak ada yang mau duduk sebangku, tidak ada teman ke kantin, mejanya yang setiap pagi tiba-tiba ditemukan coretan yang entah siapa pelakunya, membuat Fei cukup sadar diri bahwa dirinya dijauhi.

Sebenanrnya Fei orang yang cukup tidak mau ambil pusing masalah teman. Ia bisa melakukan hampir segala hal sendiri. Tapi bukan berarti ia tidak punya teman. Awal masuk sekolah menengah pertama, Fei punya teman dekat, Ruby. Cewek pertama yang mau duduk sebangku dengannya. Fei masih ingat betapa manisnya cewek itu dulu. Matanya seolah berbinar setiap saat. Sampai akhirnya, kejadian memalukan itu merenggangkan hubungan keduanya.

Hari itu, ponsel Blackberry yang baru Ruby dapatkan sebagai hadiah ulang tahun ke-13nya, hilang. Teman-teman kelasnya ikut mencari, juga berhati-hati, kalau-kalau berita ini sampai ke telinga para guru. Karena memang pada masa itu mereka dilarang membawa ponsel.

Dua minggu kemudian, setelah mereka sudah hampir lupa pada kejadian itu dan Ruby juga sudah dibelikan ponsel keluaran terbaru dengan fitur yang lebih canggih, entah bagaimana, ponsel dengan tombol gulir mirip aplikator deodorant di tengahnya itu, ditemukan di dalam tas Fei. Benda itu berdering tepat saat jam pelajaran sedang berlangsung.

Ceritanya tersebar satu sekolah, Ruby tidak marah atau menodong Fei dengan tatapan jijik seperti yang dilontakan orang-orang ketika melihatnya, tapi perlahan cewek itu menajauh dan Fei pun tidak berusaha mendekat. Seiring berjalan waktu, Fei mulai dicap sebagai Tukang Maling dan ia tidak sekali pun peduli.

Ia hanya sempat berucap, "Bukan gue," pada Ruby. Bagi Fei itu sudah cukup. Untuk orang-orang di luar sana, sekeras apa pun ia meyakinkan bahwa ia bukan pelakunya, mereka akan tetap pada pendiriannya.

Sampai hari dimana ia menjadi lebih dekat dengan Danu dan mulai kenal Agam, keadaannya sedikit membaik. Tidak ada yang terang-terangan mengganggunya. Namun, yang membicarakan di belakang tentu sepenuhnya belum hilang.

Seperti yang ia dengar dari balik pintu toilet cewek saat ini salah satunya.

"Alah! Si Fei mah kalau nggak ada back-upan Danu, Agam sama Genta apasih? Jamur sekolah," kata salah satu suara cewek yang Fei tangkap.

Kalau Fei tidak salah menebak, apa yang disembunyikan pintu toilet ini di baliknya adalah Seli and the gank. Yang tadi itu jelas suara Seli. Suara yang dipaksakan terdengar lembut. Fei heran, saat membicarakan orang lain, cewek itu masih punya tenaga untuk menarik pita suaranya dalam-dalam.

"Bener tuh, lagian gue haran, sekolah sekelas Tunas Harapan kenapa punya siswa rusak kayak Fei si?" ucap suara lain.

"Tuh anak 'kan kriminal. Waktu kita SMP 'kan pernah nyuri hp temen sekelas, sehabatnya pula." Kali ini Fei yakin yang berbicara adalah Kila, salah satu teman satu genk Selly yang dulu satu SMP dengannya.

Ketiganya tertawa sebelum akhirnya Selly kembali buka suara, "Dipake gilir kali sama Agam CS, makanya bisa bayar sekolah."

Detik berikutnya, saat tiga cewek itu asik tertawa, saat Fei sudah tidak bisa tinggal diam, pintu di sebelah Fei terdobrak. Bersamaan dengan mikiknya.

"Jaga omongan lo!"

Itu Libra. Apa yang dilakukan cewek itu di sini?

Sontak Selly dan kawan-kawan menghentikan tawa, menatap terkejut ke arah dua orang yang muncul bersamaan di hadaoan mereka.

"Fe..i?" Selly terbata.

Tampaknya Libra baru menyadarai keberadaan Fei setelahnya.

"Pergi lo bertiga." Tegas Fei. Cewek itu menampilakn wajah datar. Yang lebih menakutkan di mata Selly and the genk dibanding cewek itu mengamuk.

Tak peduli lagi akan harga dirinya, Selly bercicit, mengajak dua temannya pergi dari sana. Secepatnya. Sebelum Fei menarik katanya kembali. Dana kalau itu terjadi, habislah mereka.

Sepeninggal tiga cewek pentolan Nusa Harapan itu, toilet kembali hening. Hanya terdengar gemericik air keran Fei yang mencuci tangan di wastafel beberapa saat kemudian.

"Lo nggak bisa biarin mereka pergi gitu aja dong, Kak." Protes Libra.

"Itu bukan urusan lo," timpal Fei.

Libra menganga tidak percaya, "Mereka ngomong yang enggak-enggak tentang lo. Hampir seluruh sekolah udah kemakan gosip sampah mereka."

"Mereka percaya apa yang mau mereka percaya," jawab Fei santai sambil mengeringkan tangan yang dilap ke rok. Padahal di sana ada tisu dan pengering.

Libra menghela napas kasar, "seengaknya lo harus bikin mereka berenti, Kak."

"Gue bisa urus diri gue sendiri," pungkas Fei sebelum beranjak, tapi saat di ambang pintu ia berhenti, "dan satu lagi, stop panggil gue 'kak', karna lo bukan adik gue."





TBC...

Hellow....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nikotin dan KafeinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang