Nikotin dan Kafein | 06

211 32 2
                                    

"Terima kasih, Pak."

Sebuah senyum ramah serta merta terlempar untuk seorang laki-laki setengah baya yang baru saja mendorog sebuah gerbang kuningan tinggi menjulang. Niko, si Pemberi Senyum itu melajukan mobilnya pelan mendekati rumah besar bergaya eropa klasik yang disembunyikan gerbang itu.

Setidaknya Niko masih cukup waras dengan tidak membuat Pak Waluyo—satpam rumahnya—mempertanyakan bagaiamana cara orangtuanya mendidik anak sampai-sampai tidak tahu cara bersikap pada orang-orang disekelilingnya. Sebab jelas-jelas suasana hatinya sangat berbanding terbalik dengan senyum ramahnya.

Hanya karena satu Manusia Titisan Kata Menyebalkan yang Niko harap satu-satunya spesies gagal di muka bumi. Jangan bayangkan kalau sampai ada dua.

Niko sudah mati-matian mengerahkan segala cara membujuk Bu Meri untuk tidak menenmpatkannya sekelompok dengan Fei. Namun, alih-alih mengabulkan permintaannya, guru Seni Budaya itu malah semakin bersemangat dengan alasan; Fei butuh orang seperti kamu.

Katakanlah Fei memang butuh Niko supaya lolos ujian praktek Seni Budaya, tapi sendirinya, ia tidak butuh cewek itu. Sama sekali tidak. Tadi saja Fei merobek puisi ciptaannya. Memang proses pembuatannya tidak sampai membuat Niko mimisan atau versi lebaynya seketika berubah menjadi sesepuh sajak, tapi menghancurkan karya orang sama dengan menginjak harga diri pembuatnya. Pelecehan. Dan ini artinya hanya pihak Fei yang diuntungkan di sini. Simbiosis parasitisme.

Mengingatnya membuat gunung emosi aktif dalam dadanya serasa sudah siaga satu.

Sampai di kamar, Niko melempar begitu saja tas ke single chair di dekat rak buku yang berdampingan dengan kaca besar yang memenuhi sebidang dinding. Setelah itu menghempaskan diri pada kasur, tapi ia sontok melompat berdiri begitu merasakan punggungnya menindih sesuatu.

Seorang cewek dengan rambut diikat kuda serta menggunakan kacamata, menampakkan diri dari balik selimut. Menatap Niko dengan sorot kesal.

"Gue nggak tau lo di situ," sergah Niko sambil melucuti sepatu serta kaus kaki juga dasinya.

Agnesia Aretina. Adik kandung satu-satunya Niko. Remaja lima belas tahun yang saat ini duduk di bangku kelas 10 di sebuah sekolah khusus putri. Gambaran wajahnya tidak jauh berbeda dari Niko. Berbentuk oval dengan dagu dan hidung lancip. Yang membuat perbedaan besar ada pada bagian mata. Mata Agnes tidak sedalam Niko dan sedikit lebih besar hingga terlihat lebih bersahabat.

"Lo mau ke rumah sakit?" Agnes bertanya begitu Niko keluar dari kamar mandi dengan kemeja abu dan celana jeans panjang-yang mana tidak akan dipakainya jika hanya untuk berdiam diri di rumah.

"Lo mau ikut?" Niko balik bertanya. Hampir tidak bisa menyembunyikan nada antusiasnya di sana.

"Nggak," jawab Agnes setelah cukup lama.

Niko menghentikan gerakannya yang tengah mengoleskan pomade pada rambut, mengalihkan pandangan pada adiknya yang bahkan tidak melonggarkan sedikit saja perhatiannya dari labtop, tidak juga peduli bahwa jawaban satu katanya itu menyiratkan banyak hal. Sesuatu seperti: dua tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan.

Baiklah, menjadi cowok perasa dan menyedihkan adalah hal yang tidak akan pernah Niko bayangkan. Olehnya, ia mengkat bahu acuh, "Oke, kalau gitu, tolong bawa seragam gue ke bawah," pintanya sebelum mengambil kunci mobil dan ponsel di atas meja belajar kemudian menghilang di balik pintu kamar.

***

Semesta hanya memberi jeda beberapa jam saja. Sore itu, hujan kembali mengguyur dengan gerimisnya. Tidak tergesa-gesa. Memastikan dengan seksama, tiap-tiap sudut yang dilaluinya, menyecap basah. Tanpa celah.

Nikotin dan KafeinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang