Fei buru-buru menegepal tisu bekas alas duduknya begitu mobil Niko berhenti di depan sebuah rumah besar bercat putih tulang. Ia bahkan tidak sempat menurunkan tas untuk menutupi rok bagian belakang karena berlalari mengikuti Niko. Setelah sampai, cowok itu tidak mengatakan apa-apa. Fei sampai bingung ketika tiba di depan pintu, apa ia harus masuk atau tidak.
Ngomong-ngomong, berapa meter langkah cowok itu?
"Masuk gak lo?" tanya Niko yang menghentikan langkahnya di tengah ruang kerena melihat Fei hanya celingak-celinguk.
"Ya menurut lo aja, gue boleh masuk apa enggak?" cibir Fei.
"Ya menurut lo aja, bisa nggak ngerjain tugas social distancing? Nggak sekalian ngezoom aja?" balas Niko.
"Nah, boleh tuh," timpal Fei setengah hati. Ponsel pintar saja ia tidak punya.
Senyum mirip tersungging di bibir Niko, "Pulang sana lo."
Fei dibuatnya menganga, kepalan tisu di tangannya mengencang dan kuku-kukunya terasa menusuk kulit. "Niko!" Dan Fei tidak terpikirkan kalimat keluhan lain selain itu.
Niko yang sudah memunggungi Fei menahan kekehan. Entah kapan tepatnya membuat cewek itu kesal menjadi salah satu cara mengurangi stressnya. Ia berdehem sebentar untuk akhinya berbalik dengan wajah datar nan serius andalannya, "Masuk."
Masuk. Hanya itu yang dikatakan Niko sebelum cowok itu menghilang di telan pintu di lanatai dua sana. Sedang di sini Fei dibiarkan seperti seorang maling bodoh yang kebingungan harus mulai dari mana aksi mencurinya. Pasalnya yang ia bisa lakukan hanya memandang satu per satu parabot mewah di ruang tamu rumah ini. Mulai dari lampu besar yang menggantung di langit-langit—Fei sampai bergeser dari bawahnya karena takut benda itu jatuh—sampai foto keluarga berukuran besar yang menghias dinding. Tak lupa juga, sofa kulit dengan kayu jati mengkilab berukiran rumit di depannya yang menggoda untuk diduduki. Sampai akhirnya Fei ingat noda apa yang ia bawa. Ia bolak-balik memperhatikan tisu dalam genggaman dan sofa untuk kemudian mencebikkam bibir kasal.
"Allahuakbar!" Fei terlonjak keget ketika menemukan cewek berkulit pucat dengan rambut hitam sebahu tengah menatap datar ke arahnya begitu ia berbalik.
Fei terkejut bukan main, ia bahkan bisa yakin jantungnya hampir melompat keluar. Jangan salahkan ia kalau-kalau mengumpati cewek yang ia taksir seusia Libra ini sebagai hantu. Sesoramg harus memberi tahu 'anak manis' itu bahwa memelototi orang yang tidak kalian kenal itu adalah tindangan ketidaksopanan.
"Apa?" Fei memberanikan diri bersuara saat cewek itu mengulurkan lipatan kain yang ia tebak sebagai celana serta pentiliner.
"Abang gue lagi mandi, lo disuruh ganti ini dulu," jawab si cewek.
"Disuruh?" ulang Fei setengah berbisik sambil menerima apa yang diberikan padanya.
Cewek itu hanya mengangguk. Sebelum akhirnya melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Fei dengan cebikkan kesal di bibir. Cewek satu ini benar-benar mirip Niko. Mulai dari visual, sampai kepribadian. Dingin, irit bicara. Sekalinya bersuara, lidahnya minta digaruk pakai parutan. Fei bisa yakin dia adik cowok itu, lagipula figurnya bisa ia temukan di foto keluarga tadi.
"Lo mau ganti nggak? Atau mau ganti di sini?"
Sekali lagi Fei dibuat spot jantung. Adik Niko itu kembali muncul di depan wajahnya. Tanpa aba-aba.
***
"Udah mandi lo ya? Mau diajak main perosotan di mana sama Nyokap lo?" Fei mengangakat dagu yang ia tumpukan sejak tadi di meja, begitu Niko sampai di depannya dengan penampilan sehabis mandi. Rambut setengah basah, kaus maroon yang segar dengan kulit sawo matangnya, serta wangi yang sabun yang belum pernah Fei cium sebelumnya. Ia tidak heran, mengingat berapa lama durasi yang cowok itu habiskan di kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Teen Fiction"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...