Sampai jam pelajaran terakhir hari itu, Genta jelas-jelas mengabaikan Fei. Cowok itu benar-benar meniadakan keberadaannya. Walau sebenarnya Fei tidak terlalu peduli, tapi agaknya hal itu sedikit menganggu. Apalagi mulut meyebalkan Agam yang sejak tadi pagi tidak berhenti menggoda mereka.
"Lo berdua pada kenapa si? Ni pasti si Pei ketauan ni sama Genta," kata Agam dengan wajah serius yang dibuat-buat.
Genta yang duduk tepat di belakang Agam, menghentikan kegiatannya menggambar Naruto di bagian belakang buku Bahasa Indonesia miliknya saat itu. "Jadi di sini yang gak tau apa-apa cuma gue?"
"Serius lo mau dengerin Agam?" Fei berbalik, menatap tak percaya ke arah Genta. Tapi cowok itu sama sekali tidak mengubris.
"Wah! Gue nggak percaya hari ini bakalan datang,"
"Lo bener-bener ... gue garuk mulut lo Gam," acam Fei. "Gue nggak ngerti ini Kutu Aer satu ngomongin apa, tapi yang jelas, yang dia tau sama yang elo tau itu beda." Jelas Fei pada Genta.
Sekali lagi, Genta tidak peduli. Ia sadar diri, jika ia selalu menjadi yang nomor ke sekian dalam lingkaran pertemanan mereka. Mau itu dilihat dari sudut pandangan siapa saja. Agam yang bakalan jadi 'buntut' Fei, Fei yang cuma berani merengek ke Danu dan Danu yang suka-tidak suka butuh Agam. Ia hanya orang asing yang menyelinap masuk. Maka, dengan sekali hentakan, kursi yang didudukinya berderit, Genta beranjak.
Danu yang sejak tadi hanya menggigit lidi tusuk gigi sambil melihat ke luar jendela kelas, tersenyum miring. Ia yang sudah dua kali tidak naik kelas ini, sudah hafal mati racun macam apa yang tidak bisa dipisahkan dari hubungan pertemanan: merasa-tidak-dibutuhkan.
Olehnya, Danu membiarkan Agam berteriak, "Gue juga baru tau kalau Pei naksir gue, serius," sambil mengacungkan tanda perdamaian dengan jarinya sebelum Genta keluar kelas, juga Genta yang membalas dengan acungan jari tengah, serta Fei yang tidak segan-segan menjambak rambut Agam setelahnya.
"Gue nyusul Genta," pamit Danu pada Agam dan Fei yang masih berdebat.
"Gue ikut." Agam sudah hendak beranjak ketika kepala cowok itu sudah lebih dulu didorong Danu untuk kembali duduk.
"Lo nggak lebih pinter dari gue," kata Danu sebelum beranjak.
Agam merengut setelahnya dan Fei tertawa terbahak-bahak, sampai seisi kelas menatapnya penuh tanya. Tapi, tak lama setelahnya, tawa Fei terhenti begitu Niko berdiri menjulang di depan mereka. Tentu saja dengan wajah dinginnya.
"Mau apa lo?" tanya Fei ketus.
"Tukeran tempat duduk sama gue, disuruh bu Fatima," jalas Niko, tapi tidak melihat ke arah Fei sama sekali, melainkan ke arah Agam.
Agam yang tidak terpengaruh sedikit pun dengan tatapan tajam Niko, malah menyilangkan tangan dan beralih menoleh ke arah Fei, "Noh disuruh pindah, gue butuh duduk sama orang pinter," katanya.
Niko meletakkan tas di atas meja Agam, "Gue duduk sama Fei."
Mata Agam menyipit, cowok itu mendongak menatap sengit Niko. "Iya gue pergi. Gue yang jomblo ini can relate kok," katanya sambil tersenyum jenaka lalu beranjak menuju bangku Niko di bagian depan dengan menjinjing tas.
Fei yang tidak terlalu mengerti sedang di sitausi seperti apa, sudah siap mengamuk ketika tak lama setelahnya Ibu Fatima masuk kelas. Seperti kebiasaanya, guru seni itu mengabsen satu-satu siswa yang menghadiri kelasnya.
"Lho, Niko sekarang duduk sama Fei?"
***
"Idupnya Fei tu udah cukup susah, kita nggak usah nambah-bambahin, Ta." Ucap Danu tanpa aba-aba begitu menemukan Genta di kantin sambil mencomot rempeyek plastikan di atas meja.
Genta menatap Danu kesal, ia pergi bolos bukan untuk mendengar kenyataan lo-nggak-tau-apa-apa dari Danu. Ia sudah berniat beranjak ketika Danu nyeletuk, "Pergi? Jangan kek film India, gak bakalan gue kejar, serius."
"Mau lo apa sih, Dan. Kalau ngebacot sampah gini mending cabut deh lo," ancam Genta.
Bukannya tersinggung, Danu malah melahap sisa remahan rempeyek dari plastik langsung ke mulutnya, "Fei ada utang sama Bang Saga."
Layaknya lubang hitam, kalimat Danu mampu menelan mentah-mentah kekesalan Genta terhadap cowok itu. Genta tertegun, kepalan di kedua tangannya mengendur.
Tidak ada yang tidak kenal Bang Saga. Nama pengedar kelas kakap itu sudah akrab di telinga anak-anak 'rusak' seperti mereka. Dari track recordnya yang tidak segan-segan menghabisi siapa saja yang tidak membayar hutang, sampai yang katanya laki-laki itu tidak bisa di sentuh polisi.
Rahang Genta mengetat dan kepalan di kedua tangannya kembali secepat mereka pergi. "Bang Saga itu Lingkaran Setan, Dan. Gimana Fei bisa berurusan sama orang kayak gitu?"
"Ya... Bukan utangnya dia sih, utang bokapnya," Danu mengedikkan bahu. "Dulu, bokapnya Fei temen Bang Saga. Bisa dibilang sahabat lah, mereka jalanin bisnis haram mereka berdua," Dengan santainya Danu mengambil bungkus rempeyek kedua. Berbanding terbik dari Genta, cowok itu bahkan sudah hampir meledak di matanya.
"Bokapnya Fei bawa kabur semua uang mereka, barangnya juga," Genta tau barang apa yang dimaksud Danu, "berbulan-bulan Bang Saga nyari bokap Fei. Sampai akhirnya ketemu di pelabuhan waktu bokap Fei udah mau nyelundupin barang Ke Cina. Bang Saga marah, tapi nggak sampai mau bunuh orang. Dia tau posisinya bokap Fei lagi ada masalah di rumah, tapi Bang Saga telat."
Genta menaikkan alis, keningnya memperlihatkan gurat-gurat serius yang menunjukkan jika cowok itu benar-benar menyimak cerita Danu.
"Waktu sampai, Bang Saga nemuin bokap Fei udah mati, bunuh diri. Sampai sekarang, Fei jadi pesuruhnya Bang Saga buat bayar uang yang dibawa kabur bokapnya."
"Lo tau dari siapa?" tanya Genta.
Danu menaikkan kedua alis, "Bang Saga, lo pikir Fei mau cerita begituan?"
Hela napas Genta terdengar berat. Entah kenapa Danu bisa sesantai ini, tapi ia tidak. Ketiga sahabatnya itu sudah mengambil peran penting dalam hidupnya. Tempatnya meringkuk ketika ia jatuh. Pun dengan Fei, walau mereka tidak begitu dekat, tetap saja, permasalahan seperti ini terlalu besar untuk disepelekan.
"Lo yang paling tau Bang Saga kayak gimana, kita awasi Fei. Gue yakin kok, dia bisa nyelesain masalahnya sendiri," Danu menepuk bahu Genta.
"Kita nggak bisa ngebiarain Fei sama bang Saga, Dan. Dia bisa mati." Cerca Genta.
Danu menatap Genta serius, "Lo pikir gue bakal tinggal diam? Gue yang bakal di barisan paling depan kalau sampai Fei dimacam-macamin."
Genta memijat pangkal hidungnya, "Agam tau soal ini?"
Danu yang sudah hendak beranjak menghentikan langkahnya, "Keadaan dia kita yang lebih tau, yang ini cukup lo sama gue aja," tegas Danu sebelum akhirnya berlalu.
Sambil mengguyar rambut yang sejak awal sudah tidak karuan bentuknya, Genta membenak. Circle pertemanan mereka memang sebegitu kusutnya. Satu-satu dari mereka punya cerita gelap masing-masing. Selama ini, Fei yang dilihatnya paling baik-baik saja di antara kedua sahabatnya, tapi malah menjadi yang paling bermasalah. Dibanding mereka, jelas apa yang ada di pundak cewek itu tidak seharusnya ia tanggung.
"Danu! Rempeyeknya belum dibayar!"
Lamunan Genta buyar ketika bu Lis, istrinya pak Hardi sekaligus pemilik kantin berteriak dari belakang. Sontak ia menoleh ke arah Danu yang berhenti melangkah beberapa meter di depannya, "Genta yang bayar, Buk!" teriak Danu dengan senyum jenaka, tanpa merasa bersalah.
Sedang di sini, Genta lantas semakin mengguyar rambut dengan brutal, "Gak pa-pa, sumpah, demi Alek gak pa-pa, tapi lu mikir anjing!"
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Novela Juvenil"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...