Jangan lagi deh, jangan. Jangan sampai awan yang nemplok di langit sana yang warnanya udah abu suram-suram horor itu, malah menambah kesialan Fei hari ini. Ia sudah cukup sial dengan disuruh bersihin wc dan berakhir dikatain 'nggak tahu diri' sama cowok sempurna itu. Jangan sampai hujan menambahnya jadi makin buruk. Serius, dari banyak hal nggak mengenakan yang dialaminya, hal terkhir yang Fei mau buat jadi penutup hari buruknya itu adalah hujan.
Hujan itu kayak ... ngejek. Seolah semesta berkospirasi menampar lo dengan kenyataan: lo nggak pantes bahagia.
Sepanjang koridor kelas dua belas di lantai empat yang dilaluinya itu, Fei nggak bisa berhenti untuk mendumel. Mengucap sumpah serapah terkotor dari perbendaharaan umpatan yang mulutnya punya. Kalau saja ia nggak lagi waras, sudah bisa dipastikan muka kelewat mulus Niko itu tinggal cerita. Ia tonjok habis-habisan.
Tidak bisa dijabarkan lebih lagi bagaimana kesalnnya Fei. Oh atau bukan kesal, tapi ... marah. Siapa yang tidak marah kalau dikatai tidak tahu diri.
Fei butuh pelampiasan lebih dari sekedar makian. Mungkin sesuatu yang berbau aksi. Semisal pot bunga setinggi lutut yang mupeng minta di tendang di depannya itu? Dan walaupun sudah melakukannya pada detik berikutnya tetap saja, api yang sudah terlanjur melahap emosi Fei tidak bisa disiram dengan air. Haruskah ia kembali ke kelas dan menuntaskan kemarahannya?
"Boleh juga tendangan lo," Fei berbalik cepat. Menemukan Genta berjalan santai ke arahnya sambil merapikan rambut. "Boleh diaduin ke Bu Rensi," lanjutnya setelah berdiri di depan Fei.
Fei melirik pot dari bahan semen bernasip nahas yang tanahnya berserakan di lantai. Tidak menanggapi candaan Genta. Ia memilih melangkah diikuti Genta di sampingnya.
"Lo nggak nanya kenapa gue belum pulang?" tahu-tahu Genta berusara.
Fei menatap cowok tinggi yang saat ini hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana abu-abu sambil menggendong tas di satu bahu yang Fei yakin isinya tidak lebih dari serangam cowok itu sendiri. "Mau ditanyain banget?"
"Ya ... biar ada obrolan gitu. Nggak kayak anak SD baru masuk sekolah gini," Genta mengangkat bahu.
Fei sedikit terkejut dengan ucapan Genta. Walau diucapkan dengan nada santai, ia tahu cowok yang kesehariannya 'asik seperti Genta pasti sedikit tidak nyaman. Mungkin bukan hanya Genta yang merasa begitu saat bersama dengannya, hanya saja cowok ini yang cukup berani but angkat bicara.
Tidak pandai berbasa-basi. Ini kelemahan Fei. Kalau orang lain lihat Fei yang cuek ini akan ayo-ayo aja waktu diajak ngobrol atau kenalan sama orang baru, tapi kenyataannya itu cuma kalau lagi rame. Kalau tidak hanya ditempatkan pada situasi berdua seperti ini. Apalagi orang yang belum terlalu kenal. Belum bisa ngalir topik obrolannya karena belum paham sifat orang itu.
Ya, Fei sudah kenal Genta dua tahun. Waktu itu dikenalkan Danu dan kebetulan satu kelas empat semester berturut-turut. Hanya sekedar itu. Ngobrol kalau lagi di kelas atau di kantin. Selebihnya tidak. Sejak kondisi keluarganya makin buruk, Fei jadi tidak punya waktu untuk main dengan ketiga temannya. Dan secara kebetulan, saat-saat itu, Genta lebih sering hang-out sama Danu dan Agam. Otomatis, dibanding Danu dan Agam yang sudah berteman dengan Fei sejak SMP, jelas Fei tidak bisa menyamakan sikap terhadap Genta.
"Lo kenapa masih di sekolah?" akhirnya Genta memutuskan memutarbalikkan pertanyaan itu. Lagipula yang disuruh bertanya malah bengong. Seperti tengah berpikir keras. Seolah ucapan Genta tadi menanyakan: kamu penganut teori bumi datar atau bulat? Percaya teori Darwin kalau manusia berasal dari kera?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Novela Juvenil"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...