Fei sedang gila. Ia kehabisan akal. Entah apa yang dilakukannya di depan pintu sebuah kamar rumah sakit swasta ternama yang bahan gordennya lebih berkualitas daripada kemeja flanel yang dikenakannya. Menenteng sebuah kantong kresek berisi lontong sayur murahan pinggir jalan.
Yang benar saja!
Atau ... mari ubah pertanyaannya; apa motivasi Fei hingga sampai pada tempat ini?
Begini runtutan kronologinya, Fei ditelpon seorang cewek manis yang kelakuannya tidak neko-neko dengan suara lembut, cewek itu bilang ia masuk rumah sakit untuk kesekian kali karena penyakit lemah jantung yang mendiami tubuhnya sejak lahir, lalu dengan rasa kurang bersyukur mengatakan bubur mahal di rumah sakit ini kalah enak dibandig lontong sayur di dekat kosannya—yang orang terbodoh di planet ini juga tahu itu hanya kalimat isapan jempol yang sama artinya dengan; belikan-aku-lontong-sayur-maha-enak-itu, lalu Fei yang merupakan orang terbodoh di planet ini tahu-tahu sudah membeli lontong sayur itu dengan uang yang seharusnya ia belikan makanan untuk perutnya yang malang.
Setelah semua itu, Fei justru tidak memiliki secuil keberanian untuk mengetuk pintu.
Akhirnya ia hanya menggantungkan lontong sayur itu di gagang pintu. Karena sadar, sampai tubuhnya lumutan berdiri di situ pun, keberanian itu tidak akan muncul. Ia terlalu malu. Yang ada, orang-orang yang ada di koridor itu keburu melaporkannya pada petugas keamaan karena mengira ia seorang psikopat yang tengah menunggu waktu untuk menyuntikkan Sianida pada infus pasien di dalam sana.
Cklek.
Pintu dihadapannya terbuka. Sesorang menarik handlenya dari dalam hingga kantong kresek yang tergantung di sana terjatuh.
Saat itulah Fei merasa benar-benar kehilangan akal. Tubuhnya membeku, berbanding terbalik dengan keributan dalam hatinya yang memerintahkan untuk berlari secepat yang ia bisa. Pemandangan tubuh cewek kurus dengan mata cekung mengenakan piyama khusus pasien sambil memegang tiang infus, menerbitkan banyak pertanyaan.
Kapan terakhir kali keduanya berdiri sedekat ini? Apa bubur rumah sakit ini setidaklayak itu untuk dimakan sampai ia sekurus sekarang? Sejauh mana penyakit sialan itu merubahnya?
Namun, Fei tetaplah Fei. Yang akan mengatakan, "Jangan ikutin gue," tanpa berniat menunjukkan sedikit rasa kemanusiaan yang bersimpati dari dirinya kemudian berlalu begitu saja.
"Fei?!"
Fei tahu, cewek itu tidak akan mendengar perkatannya. Sempat bayangan langkah tertatih sambil menyeret tiang infus, memberati langkahnya. Lo bahkan nggak cukup pantas buat bernapas Fei, berani-beraninya elo nunjukkin batang hidung di depannya. Namun, suara yang entah datang dari dirinya yang mana, memberi tenaga pada tungkainya tak mau kalah.
"Fei! Lo nggak bisa pergi gitu aja!"
Ya, seharusnya lo pukul kepala gue sama tiang infus lo itu, Fei berteriak dalam hati.
Terus seperti itu. Fei melarikan diri dan cewek itu berusaha mengejar dengan suara lemahnya yang terdengar menggema di tengah korior rumah sakit.
"Fe- Akh!"
Sampai cewek itu jatuh tersungkur di pelataran parkir belakang rumah sakit, Fei tidak melunakkan egonya. Menoleh pun tidak. Kedua tangannya mengepal hingga bergetar di samping tubuh. Langkahnya terus, tanpa putus. Satu kalimat yang menggiring kepergiannya hingga duduk di kursi bus yang dinaikinya asal di halte rumah sakit, yang lo lakuin ini udah bener, Fei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Teen Fiction"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...