Sepertinya Fei benar-benar tidak pernah kehabisan ide untuk membuat orang di sekelilingnya kesal.
Pagi ini setidaknya bu Rensi dan seorang adik kelas sukses jadi sasaran. Dimulai dari Fei yang masih bisa santai ketika ketahuan bu Rensi tengah memanjat pagar samping karena telat sampai menginjak lantai basah habis dipel seorang adik kelas yang kesiangan piket. Itu semua dilakukannya tanpa merasa berdosa. Sama sekali.
Tidak cukup di sana, Agam pun dibuatnya naik pitam. Bagaimana tidak, jika orang yang biasanya jadi 'pemeran utama' dalam drama ngamen di kantin macam Fei tiba-tiba bertranformasi ke orang alim yang reseh memprotes Agam waktu gitaran heboh sama Genta. Dan kalau saja Genta tidak tanggap menahannya ketika Fei merampas gitar darinya—yang lagi seru-serunya–mungkin Agam akan gila. Karena pastilah ia akan mengajak cewek itu adu jotos. Ya ... Agam tahu kalau itu gitar punya Fei, tapi sikap nyolotnya itu lho, rasanya ia ingin mendaratkan muntahan kuncing di wajah cewek itu.
Olehnya, saat Danu mengusulkan ide untuk main Dare or Dare guna membujuk Agam yang dengan 'iuh'nya ngambek, cowok itu menolak mantah-mentah kalau misal Fei terlibat dalam permainan mereka.
"Orang cupu nggak usah ikutan."
"Lo ngomong apa sih Gam?" Danu menggertakkan gigi.
Seperti dugaan, seteleh itu Fei langsung menggebrak meja. Menatap Agam marah. "Gue lagi pingin banget nonjok orang lho ini, Gam." Ia mengacungkan jari telunjuk pada Agam.
"Gue salah? Emang siapa yang punya seribu satu alasan buat kabur kalau lagi kena dare?" Sindir Agam yang semakin memperkeruh keadaan.
Di satu sisi saat Fei mulai menggeram sambil mengepalkan tangan menahan marah, Genta ketar-ketir meminta Danu agar melerai dua manusia kurang sehat itu. Namun, yang diminta tolong bersikap seolah yang sedang disaksikannya ini hanya adegan sinetron murahan yang ia tonton saat tidak ada satu pun kanal lain sambil makan rengginang. Alias ia tidak perlu repot-repot menaruh perhatian lebih.
"Lo. Scemen itu."
Bahu Genta terkulai lemas seketika. Berbanding telak dengan Danu yang langsung terbahak mendengar kalimat berani Agam itu.
"Gue. Enggak." Gigi Fei bergemeletuk. Ia seberusaha mungkin untuk tidak menonjok wajah cowok 'sialan' satu ini.
"Buktiin dong kalau gitu. Tembak dan pacarin orang pertama yang masuk kantin ini," tatang Agam.
Danu dan Genta sama-sama terdiam sebelum akhirnya bersorak heboh sendirinya, "Sepuluh ribu," Danu meletakkan pecahan yang disebutkannya itu ke atas meja.
Kemudian Genta menyusul, "Lima puluh."
"Bilang enggak, gue pasang dua ratus ribu."
Sedetik berikutnya seisi kantin sudah diisi sorakan dan tepuk tangan. Memberi semangat Agam sekaligus kemarahan yang memuncak pada Fei.
Alasan mengapa Fei bolos dua hari kemarin adalah karena suasana hati dan kepalanya sedang kacau. Hari ini pun ia masuk sekolah bukan berarti ia sudah 'membaik'. Dan Agam, si cowok Permen Warna-warni satu ini, membuatnya lebih buruk.
Fei menggebrak meja untuk kemudian menumpukan kedua tangannya di sana dengan posisi tubuh condong ke arah Agam. "Simpan duit lo buat oprasi bibir sumbing—" lalu sebelum Fei melanjutkan kalimatnya, kantin lagi-lagi ramai. Bukan ramai yang diciptakan dari suara gaduh dalam artian sebenarnya, tapi suara bisik-bisik yang bersahutan. Dari orang-orang yang menatap seolah kiamat sudah tepat di depan pintu kantin.
Fei menoleh sebentar dan seketika ia meringis menahan geram. "Lo, gue matiin habis ini," ia menunjuk Agam yang malah ditingkahi dengan lipatan bibir menahan tawa.
Sekali ini, Fei benar-benar memutar tubuhnya. Ikut meneliti seorang cowok dengan tampang bodoh yang celingak-celinguk berdiri di depan pintu kantin.
***
"Mau jadi cowok gue?"
Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk.
Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir kali tersentuh sisir, kemeja seragam kumal yang dikeluarkan dengan ujung lengan digulung, tindik memenuhi daun telinga kiri serta rokok yang setia menyelip di antara bibirnya. Raut wajahnya? Datar. Jelas bukan emosi seperti itu yang akan ditunjukkan seseorang ketika menanyakan kalimat sensitif semacan itu.
Pandangan Niko menyentuh tiap-tiap sudut kantin yang mampu dijangkau matanya. Mencari sumber dari kekonyolan yang dialaminya saat ini. Cewek di hadapannya ini, pasti sedang terlibat permainan tidak jelas dengan teman-temannya yang tidak kalah tidak jelas. Dan benar, di sudut sana gerombolan pentolan sekolah pembuat onar sedang terang-terangan menonton mereka.
Niko tersenyum miring, cerminan dari suasana hatinya yang seketika menjadi danaunya lahar panas. Memangnya siapa mereka sampai berani-beraninya menempatkannya di posisi samsak yang kapan saja bisa dipukul begini?
Dengan masih menantang Fei dengan tatapan tajamnya, Niko perlahan mengikis jarak keduanya. Kemudian dengan gaya angkuhnya yang bisa membuat anak cewek berteriak gemas, Niko menunduk mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Fei.
"Gue mau liat, seberapa malunya elo kalau sampai gue tolak," bisiknya.
Sumpah! Ini rasanya lebih jedag-jedug dari pada hampir ketabrak mobil waktu itu. Fei sukses mati bahasa.
Namun, ia tidak akan dilahrikan dengan nama Fei kalau sampai tidak bisa menangani tikus got macam Niko ini.
"Gue nggak peduli." Kata Fei.
Niko kembali melirik Agam cs di belakang sana, "Gue yakin lo peduli."
Fei diam lagi. Tanpa melihat sebenarnya ia juga tahu, saat ini si Bangke Sialan Agam itu sedang menunggu kekalahannya.
Dan benar saja, sebelum sempat Fei menimpali perkataan Niko, teriakan Agam sudah terdendar menyebalkan dari belakang sana, "Gue nggak heran sih ... kalau Niko nolak." Maka seisi kantin itu seketika penuh suara tawa. Tidak terkecuali Niko.
"Oke, mau lo apa?"
Niko tersenyum remeh, "Sefrustasi apa lo Fei? Gue kecewa, nggak nyangka lo semudah ini."
"Jadi kacung lo selama sebulan."
"Lo nggak lagi syuting sinetron."
"Gue bisa bawain tas lo, ngegantiin piket kelas, biar gue yang ngambil sampah kalau lo telat—"
"Lo pernah liat gue telat?"
"... Nggak. Gue ... " Fei memberi jeda. "Gue bisa ... bikinin pr lo?"
Baiklah. Fei sudah sampai di mana ia tidak bisa menemukan apa lagi yang bisa ditawarkan dari dirinya. Yang satu ini jelas Niko tidak perlu.
"Lo mau gue mati?" entah kenapa Fei merasa raut wajah Niko terlampau serius saat melontarkan pertanyaan itu.
"Woy! Udah belom acara Katakan Cinta lo pada?! Tolak mah tolak aja Nik, kagak usah kesianan!" sesorang berseru dari luar kantin.
Fei sudah pasrah sepasrah-pasrahya, sudah siap dikatai cewek tidak laku juga ketika Niko tiba-tiba mengeluarkan suara, "Gue yang punya kendali penuh di sini. Gue yang milih, kapan harus nendang lo," kemudian cowok itu mengulurkan tangan.
Sebaris kalimat itu terdengar menyentak di tengah hening yang disengaja tercipta. Sorak-sorai merebak pada detik selanjutnya. Seisi kantin itu cukup mengerti jika Niko memilih menerima. Bukan dengan sukarela tentu saja, melainkan menekankan dengan gamblang jika ia bukan target taruhan semata, tapi juga terlibat di dalamnya.
Sebaliknya, cewek itu terlihat tidak peduli. Ia mendegus pelan, seolah ucapan Niko sama-sekali tidak mengusiknya. Ringan, Ia berlalu. Menganggap tangan Niko yang mengapung di udara seolah tidak pernah ada sambil berkata, "Terserah."
TBC ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Jugendliteratur"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...