"Genta?"
Genta tidak ingat sudah menghabiskan berapa gelas alkohol, cuma ia masih sangat sadar, kalau cewek yang tingginya tidak lebih dari dagunya itu adalah Fei. Cewek itu tengah mendongak, melyangkan tatapan bertanya padanya. Yang mungkin gambarannya tidak jauh berbeda dari Genta saat ini.
"Lo ngapain di sini?" Genta balik bertanya.
Fei gelagapan. Entah siapa yang memergoki siapa di sini. Dan siapa juga yang ketahuan di sini.
"Hahaha," Fei tertawa garing dengan mata yang meliar. "Ya, gue mau ke toilet lah," katanya menunjuk papan bertuliskan toilet di atas pintu di sampignya.
Sebelah alis Genta terangkat. "Lo nggak mungkin masuk sini cuma buat numpang ke toilet."
"Ah?" Fei kehabisan akal. Ia tidak mungkin mengaku pada Genta kalau ia datang untuk menjual 'barang haram'.
"Lo yang bawak barangnya ya?" tebak Genta.
"G-gue... Nggak ngerti lo ngomong apa," kilah Fei. Padahal pertanyaan yang dilayangkan Genta itulah yang berkelebat di kepalanya saat ini, tapi ia terpaksa diam. Kalau ia bertanya, cowok itu pasti akan curiga.
Genta berkecak pinggang. Berkali-kali ia membasahi bibir. Dan tak jarang menoleh mengawasi sekitar. "Ikut gue," katanya kemudian berbalik meninggalkan Fei.
Fei masih belum mengerti di situasi macam apa mereka berada, tapi sudahlah ia lebih baik mengikuti Genta. Langkah lebar Genta yang sulit Fei imbangi, membuat cewek itu beberapa kali mengumpat. Apalagi ia sempat kehilangan Genta waktu melewati dancefloor—lagi.
"Jangan dorong-dorong, woy!" teriak Fei ketika bahunya terdorong.
Seorang cowok yang tadi menabrak Fei, menoleh. "Ini klub, Bego. Nggak mau kedorong, pulang sana lo!" makinya.
"Wah!" Fei terperangah tidak percaya, "lo pikir mata gue buta? Bayi juga tau, ini klub. Lo-nya aja teler, jalan nggak liat-lat."
Mendegar makian balasan dari Fei, cowok setengah sadar itu sudah bergerak maju dengan kedua tangan terkepal. Entah apa yang akan dilakukannya pada Fei, kalau saja sebuah tangan tidak cepat menariknya pergi dari sana. Fei belum bisa melihat siapa pemilik tangan yang membawanya, tempat ini terlalu sesak. Hanya melihat wajah seseroang dari jarak satu meter di depanmu saja sesulit itu.
Akhirnya, setelah puas berdesak-desakkan, Fei bisa menghirup udara segar yang bukan panas tubuh manusia, atau bau farfum bercampur alkohol yang membuatnya mual. Walaupun, gang sempit nan gelap ini belum bisa dikatakan layak sebagai tempat pengisian ulang paru-parunya.
"Mana barangnya?" tanya cowok yang berjasa membawa Fei ke sini. Dan Fei yakin pasti jika itu Genta.
"Barang apaan?" suara Fei terdengar bergetar dan tidak yakin. Bagus. Mungkin dengan cara inilah ia akan berkhir.
Tanpa menjawab, Genta merampas tas Fei, yang kemudian langsung diprotes cewek itu. Ia menumpahkan begitu saja isinya di bawah penerangan lampu kuning redup yang di pasang di tiang listrik. Untuk kemudian yang ditemukannya hanya odol beserta sikatnya, selembar kaos, pena tanpa tutup, sebuah korek dan juga sekotak rokok.
"Lo apa-apaan sih, Ta?" mata Fei membulat. Memaksa merebut barang-baranganya dari Genta. Tidak berhenti di situ, Genta bahkan memeriksa isi tasnya itu dengan seksama. Seperti membalik-balik kaos, sampai dengan niatnya membuka satu per satu batang rokoknya.
Sampai akhirnya, Genta menemukan apa yang dicarinya. Serbuk putih yang dibukus salah satu lintingan rokok. Ia mengenal betul apa ini, bahkan tanpa harus diperjelas dengan sikap membatu dan wajah membiru milik Fei.
"Balikin." Tegas Fei.
"Ini apa?" tanya Genta tak kalah keras. Cowok itu menodongkan aura mengintimidasi dengan jelas.
Fei gemetar. Genta yang saat ini bukan Genta yang bisa ia tangani. Tidak ada gunanya juga jika ia mengelak. "Lo bisa ambil. Sesuai kesepakatan, lo ambil barang lo, gue terima duit gue," kata Fei sambil membereskan barang-barangnya dan kembali menggendong tas.
Genta dibuat terdiam. Rasanya, dibanding alasan keberadaan benda dalam genggamannya ini, pertanyaan mengenai bagaimana bisa Fei sesantai ini lebih membuatnya penasaran. "Kenapa bisa sampai kayak gini sih? "
Kening Fei berkerut. Tapi, pandangan Genta tidak sejauh itu. Sebab sejak tadi pandangan cewek itu terus meliar. Ke mana saja, asal tidak pada tatap marah mata Genta.
"Lo sebenernya nganggep gue apa sih?" Genta membasi bibir sambil menggaruk alis, "Oh, enggak, gue ganti pertanyaan. Gue, Agam, sama Danu itu lo anggap apa sih?"
Fei masih bungkam. Kepalanya kian tertunduk makin dalam.
"Jawab, Pe!" Genta mulai tidak sabar. Nada suaranya meninggi tanpa sadar. Ia bahkan mengguncang bahu Fei.
"Kalau lo ngerasa sungkan cerita sama gue yang baru kenal lo tiga tahun ini, lo bisa pergi ke Danu, atau Agam. Kalau udah sejauh ini, yang bisa disalahin siapa?"
Barulah Fei mengangkat wajah. Menatap tepat ke mata Danu. "Lo mau gue cerita apa? Cerita kalau Bokap gue kelilit hutang terus anaknya yang bego ini dipaksa jualan Drugs buat bayarin, iya?! Kalian bisa apa, jajan aja masih minta ortu kan? Dan gak ada jaminan ceritanya nggak bakal bocor."
Di bawah penerangan minim lampu kuning, Fei dengan jelas melihat bagaimana pucat pasi wajah Genta. Raut kecewa itu, masih menetap di sana. Namun, kali ini untuk alasan yang berbeda. Entah bagaimana kalimat kotor semacam itu bisa ia muntahkan. Dua belas tahun bukan waktu sedikit. Fei seharusnya tahu betul bagaimana sahabatnya. Orang yang akan berdiri di barisan terdepan saat ia terluka. Bahkan saat ia bukan apa-apa.
Genggaman Genta pada bahu Fei mengendur. Perlahan jatuh lalu cowok itu mengambil langkah ke belakang.
Olehnya, Fei tidak ingin mereka—orang-orang bodoh yang mau berteman dengannya, yang sialnya Fei sayang—ikut terlibat ke cara menyedihkannya dalam menjalani hidup. Setidaknya, cukup sampai di sini.
Dan Fei kembali berulah.
"Lo make, Agam sama Danu tau?" Fei tertawa miris begitu melihat Genta bungkam setelah pertanyaan pertamanya.
"Fei!" bentak Genta.
Fei tertwa remeh, "Oh, atau yang nggak tau di sini cuma gue?"
"Gue nggak kenal lagi lo siapa."
Wajah Fei mengeras akibat menahan gemeletuk giginya yang saling menekan. Matanya memerah, mengabur menahan tangis. Tahan Fei, tunggu sampai dia pergi, batinnya.
"Oh ya, barang yang ada di lo, sesuai kesepakatan ya, besok-besok yang nganter mungkin bukan gue," ucap Fei sebisa mungkin meredam getaran dalam suaranya.
Maka, detik itu juga, Genta melempar uang yang ia rogoh dari dompetnya. Berlembar-lembar uang pecahan ratusan itu menghujani Fei. Untuk kemudian jatuh berserakan.
"Bagus. Karna gue nggak bakalan bisa nahan buat nggak matahin leher lo lain kali." Ucap Genta sebelum akhirnya berlalu.
Sampai kemudian Fei jatuh terduduk. Seluruh tubuhnya bergetar dan kakinya lemas luar biasa. Karena sejatinya, walau terlihat seperti manusia paling 'ajaib' di dunia, Fei tetap manusia biasa dan ia perempuan. Lalu, sambil memunguti uang yang bahkan bukan miliknya itu, air matanya akhinya luruh juga.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Teen Fiction"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...