Nikotin dan Kafein | 12

176 24 1
                                    

"Heh! Anak Manja!"

Niko menoleh, dan saat itu juga bahunya di dorong. Ia terjatuh. Kotak pensil dan bukunya berceceran di lantai perpustakaan yang sepi.

"Aku bukan anak manja." Bibir anak kelas enam SD itu mengerucut. Jelas menunjukkan ketidaksetujuannya dengan panggilan yang disematkan teman sekelasnya barusan itu.

Ketiga anak laki-laki yang berdiri menjulang di depan Niko tertawa geli mendengar ucapan sombongnya.

"Terus apa dong? Anak Mama? Apa Anak Bawang?" salah satu dari mereka: anak bertubuh gempal dan rambut potong rata yang bisa disebut 'Ketua Geng' di sana.

Bibir Niko kecil mengerucut. Sebelah tangannya menggenggam kotak pensil plastik berbentuk mobil-mobilan dengan erat. Itu hadiah ulang tahun dari Mama. Baru kemarin sore diberikan.

Sayangnya, semakin erat genggaman Niko, justru mengundang perhatian ketiga anak nakal itu. Ketiganya saling pandang, seolah tengah memukirkan hal yang sama. Lalu, sejurus kemudian, si Anak paling kurus dengan ranbut kriwil merampas paksa kotak pensil Niko.

"Keren nih kotak pensil lo, buat gue aja."

"Kembaliin," Niko berusaha merebut, tapi sayangnya ia tidak cukup kuat untuk melawan anak-anak nakal yang kebetulan satu kelas dengannya itu. Ia malah sekali lagi jatuh terdorong.

"Alah! Lo kan bisa minta beliin Mak lo lagi." Ucap anak yang tadi mendoronya. Lalu kedua anak lainnya tertawa mengejek. Entah apa yang lucu di sini.

Sejurus kemudian Niko berdiri. Kedua tangan dengan jari-jari gemuknya mengepal di ke dua sisi. Bibirnya mengerucut serta kedua matanya menahan tangis.

Ia tidak akan tinggal diam. Ia harus merebut kembali kotak pensilnya.

Namun, sebelum sempat Niko mendorong anak-anak yang mengganggunya seperti niatnya, sebuah sepatu sudah melayang lebih dulu mengenai pelipis si Ketua Geng.
Keempat anak itu pun,  sontak menoleh ke sumber sepatu terlempar.

Dari balik rak buku di ujung sana, seorang anak perempuan dengan seragam kumal dan menguning berjalan dengan wajah datar. "Maaf, Dan. Gue nggak tau kalau itu lo. Gue kira siapa, berisik sih," katanya sambil memungut sepatu.

"Lo sengaja ya, Pe?" tanya Danu si ketua genk.

Fei, anak perempuan itu terkekeh. Dan mereka yang di sana tau kalau itu dibuat-buat. "Udah dibilangin nggak sengaja," lalu ringan, ia mendorong bahu Danu. Ringan, tapi cukup kuat sampai anak laki-laki itu terjatuh.

"Wah, wah! Cari masalah ya lo?!" sergah salah satu anteknya Danu.

"Mau apa lo?!"

Sejurus kemudian, si anak tukang-gertak itu mundur, cukup dengan sebaris kalimat serta tatapan tajam Fei.

"Kalian bertiga mending pergi deh. Atau gue laporin sama Pak Bono, kalau yang kencing di toilet guru kemaren kalian." Ancam Fei menyebut nama Waka Kesiswaan paling killer se-SD 136 itu.

Rupanya trik itu berhasil, ketiga anak itu pergi juga meski sedikit pun tidak merasa bersalah.  Bahkan masih sempat-sempatnya mengancam Niko. Padahal Fei hanya menebak-nebak perkara kencing-di-toilet-guru itu. Walaupun memang kemarin sempat heboh karena toilet khusus guru bau pesing. Yang pasti itu kelakuan siswa.

"Lain kali kalau diganggu, lawan. Gak malu lo dibatuin cewek?" tandas Fei begitu selesai mengikat kembali tali sepatunya pada Niko yang sejak tadi mematung.

"Berkelahi bukan satu-satunya cara nyelesain masalah." Jawab Niko.

Lalu, seperti sudah menjadi kebiasaan, Fei tertawa remeh. Dibuat-buat. "Terus lo mau selesain di kelurahan?"

"Kita bisa selesain di—"

"Alah, udahlah! Bacot lo," putus Fei kesal. "Masuk sana! Nggak ulangan lo?"

Ulangan. Niko hampir lupa akan itu. Sebentar lagi bel masuk, tapi ia baru saja kehilangan seluruh alat tulis termasuk kotak pensilnya. Kabar baiknya SD negeri ini tidak punya koperasi dan warung yang jualan alat tulis ada di luar pagar yang sudah pasti tidak boleh di akses pada pukul seperti ini.

"Muka lo kenapa, Dodol? Mau boker lo?" tanya Fei spontan melihat raut masam wajah Niko.

Niko diam. Ia tidak boleh terlihat menyedihkan dari anak perempuan yang entah dari mana berasalnya ini. Ini bahkan kali pertamanya melihat Fei. Apa Fei anak pindahan?

"Bukan urusan kamu." kata Niko.

"Gaya lo." Fei menyilangkan tangan sambil menatap Niko dari ujung kaki sampai ujung kepala. Oke, ini anak orang kaya, pikirnya. Lalu tanpa babibu, Fei merogoh pensil dari dalam saku roknya, lalu mematahkan benda itu jadi dua. "Buat lo," katanya sambil menyodorkan salah satu bagian.

Niko bergeming lagi. Ia ngerti maksud anak perempuan ini, tapi... tidak juga paham. Entahlah.

Fei yang geram melihat Niko hanya diam alih-alih menerima pesil itu, akhirnya menarik tangan Niko dan menaruhnya di sana. "Lama lo," ucapnya sebelum berjalan santai sambil mengunyah permen karet meninggalkan Niko yang belum juga bergeming.

***

Hampir pukul satu malam, waktu Niko terbangun dengan tenggorokan kering, leher dan punggung sakit, serta kedinginan. Tidak salah, karena ia tertidur di kursi belajar kamarnya dan membiarkan jendelanya terbuka lebar.

Ia baru saja akan beranjak mengambil minum katika merasakan sesuatu di tangannya. Sebuahan pensil patah yang tidak lebih dari sepuluh senti. Yang akhirnya ia gunakan hingga empat hari ulangan walau ia sudah dibelikan pensil baru oleh ibunya. Yang membawakannya mimpi dari masa lalu malam ini.

***

Fei tidak tahu ini pukul berapa. Bukan karena ia tidak punya jam tangan atau malas mengeluarkan ponsel jadulnya yang mungkin sudah kehabisan daya dari dalam tasnya. Tapi saat ini, itu bukan apa-apa. Genggaman tangannya pada tali ranselnya, tidak kalah kuat dari keinginannya dari melarikan diri dari tempat aneh ini. Baunya, hingar-bingar musik kencang, asap rokok dan hawa panasnya, senakal-nakalnya Fei, ia tidak pernah ke sini. Ini klub mewah, selain karena ia tidak punya uang, ia juga terlalu sibuk dengan segudang pekerjaan paruh waktunya.

Tapi ini mendesak, ia tidak bisa membiarkan anak orang mati. Juga ia tidak mau mati.

Masih dengan genggaman erat pada tali ransel, Fei menghela napas panjang. Melangkah cepat melewati orang-orang yang berjoget hampir tepar di dance floor. Setahu Fei ada batasan umur agar boleh masuk ke tempat macam ini, tapi tadi ia dibiarkan masuk begitu saja. Mungkin orang yang menunggunya di dalam sudah mengkonfirmasi kedatangannya sebelumnya. Lagipula kenapa Fei musti peduli?

Sebentar, Fei berhenti melangkah ketika tiba di ujung lorog. Jauh dari keramain. Ia melongo ke tulisan di atas kepalanya. Tadi orang yang menyuruhnya datang, ia harus menemuinya di depan toilet. Itu seharusnya di sini.

Lagi-lagi Fei menghela napas panjang. Orang itu belum juga muncul. Ini mungkin sudah lewat dari waktu yang ditentukan. Ia bahkan sudah berkali-kali diumpati karena berdiri bodoh di depan toilet. Untunglah, sebelum ia lebih terlihat menyedihkam lagi, seorang cowok dengan perawakan tinggi, mengenakan topi dan kemeja flanel, serta setengah teler datang ke arahnya.

Fei jelas-jelas mencium bau menyengat alkohol begitu si cowok bersuara tepat di atas wajahnya, "Lo yang bawa barangnya?"

Suara itu terdengar serak, tapi tidak bisa berbohong. Penerangan di sini minim, tapi Fei masih bisa mengenali wajah yang setengah tertutup topi itu. 

"Genta?"

TBC...

Welcome to PUBG Mobile!

Nggak ding😁 Welcome-nya to our story. Gimana-gimana, Nikonya gimana?  Masih ngebenciin kah? Udah enggak dong ya. Yah, walaupun author fangirl nomor satu Genta, tapi Niko boleh deh dibicaraiin baik-baik.

Oke, then, lets write a sweet story for them. For us.

Borahe💜
Love, N.

Nikotin dan KafeinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang