"Mau jadi cowok gue?"
Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk.
Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...
Fei terkejut bukan main. Rasanya jantungnya berdetak dua kali kurang dari setengah detik. Ia sampai harus memegang dada. Takut kalau-kalau organ tubuhnya satu itu bisa melompat keluar kapan saja. Ini bahkan lebih norak dari keterkejutannya waktu mendengar lagu dangdut yang tiba-tiba disetel di speaker yang dekat dengannya.
Alasannya? Sebagian kecil karena sebuah honda jazz yang nyaris menabraknya dan sebagian besar karena kedua tangan yang melingkupinya saat ini.
Siapa lagi pemilik tangan itu kalau bukan seorang cowok yang menyesali keputusan tanpa pikirnya bernama Niko. Serius, waktu ia menarik Fei di detik-detik kepepet sebelum tubuh cewek itu menyentuh si honda jazz, Niko sama sekali tidak bisa berpikir lurus. Itu gerak impulsif. Hanya gerakan yang mencegahnya menjadi saksi kematian siswi SMA yang tertabrak mobil. Hanya gerakan yang berlatar belakang alasan kemanusiaan.
Fei masih tidak menemukan satu kata pun yang bisa mewakilkan isi kepalanya saat ini ketika ia merasakan tubuh bagian belakangnya diguyur. "Anjing! Woy, nggak bisa bawa mobil lo ya!" dan pada akhirnya ia menemukan kata-kata itu.
Sedang Niko, hanya bisa menikmati bagaimana Fei mengamuki mobil yang bannya sudah berjasa memindahkan air genangan sisa hujan semalam di lubang besar asapal itu pada rambut, jaket denim yang membalut punggung, rok abu-abu, betis, kaos kaki putih—oke, ia bohong soal yang satu ini, sebenarnya tanpa kecipratan lumpur pun, kaos itu sudah tidak karuan lagi warnanya, antara putih kekuning-kuningan atau cokelat muda. Kesimpulannya, setiap jengkal tubuh cewek itu diselimuti cairan berwarna cokelat kental maung. Persis seperti gorengan pisang yang dibalut cokelat dan kulit lumpia kemudian digoreng itu. Entah apa namanya. Yang pasti adiknya penikmat nomor satu makanan berminyak itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Seharusnya lo minta maaf sejak awal. Karna karma tepat waktu datangnya. Nggak bisa direschedule."
Sori, Niko tidak tahan untuk tidak mengatakan kalimat yang satu itu.
***
Di samping bibirnya yang setia menghisap benda berasap yang mengandung nikotin dalam jumlah besar yang—katanya—bisa menyebabkan berbagai jenis kanker bersarang di tubuh penikmatnya di sudut kantin di tengah jam pelajaran itu, setiap lima menit sekali, Fei mengintip ke dalam amplop cokelat di tangannya. Hal sia-sia yang ia lakukan tiga puluh menit terkhir, mengingat ... mau berapa kali pun ia menerawang ke dalam sana, isinya tetap tidak berubah dari dua lembar pecahan seratus ribu.
Mau tahu cerita dramatis di balik uang dua ratus ribu itu?
Gaji terkhirnya. Uang itu gaji terkhirnya. Fei yakin, sebenarnya mantan bosnya itu sudah sejak lama getol ingin memecat Fei, hanya saja belum menemukan alasan yang tepat supaya jangan sampai mengeluarkan pesangangon. Dan kesibukan Fei di kelas dua belas akhir-akhir ini yang membuatnya sering terlambat datang kerja, otomatis tidak akan disia-siakannya.