Setelah melewati lorong-lorong panjang rumah sakit yang senyap di penghujung hari ini, tibalah Fei dengan tangan di gandengan Niko di tempat parkir. Tak kalah sepi. Cewek itu menghentak keras pegangan Niko. Ia tidak tahu bahwa Niko bisa seeogis ini. Bukan di sini mereka seharusnya berada. Dan apa katanya, gue anterin pulang? Cuih! Fei berani meludahi cowok itu di pikirannya.
"Sakit lo ya?" Niko pantas mendapat pertanyaan semacam itu.
"Kalau lo pikir ini waktu yang tepat buat debat, singkirin jauh-jauh pikiran bodoh lo itu," tegas Niko dengan raut wajah hampir meledak.
Fei terperangah. Benar-benar tidak mengerti jalan pikiran cowok satu ini. "Dan kalau lo pikir ini waktu yang tepat buat anterin gue pulang, lo gila." Balasnya
"Gue yang ngajak lo ke sini dan ini udah hampir magrib, ada waktu yang lebih tepat lagi dari itu buat lo pulang?"
Plak!
Satu tamparan telak dilayangkan Fei pada sebelah sisi wajah Niko dan bagusnya cowok itu bergeming.
Entah bagaimana mendeskripsikan keadaan Niko saat ini. Yang jelas pikirannya sedang tidak bersama raganya sekarang. Di luar, cowok itu terlihat santai, tapi getar dari tubuhnya, wajah yang menegang serta memerah tak bisa dikaburkan.
"Lo emang seegois ini ya?"
Niko yang tadinya membuang muka setelah ditampar Fei tanpa alasan, mengembalikan pandangan pada cewek itu.
"Gue emang nggak tau pasti keeadan lo gimana, tapi yang bisa gue liat, setelah tadi siang Mama lo... " Fei menjeda, menimbang apa sebaiknya ia tidak usah mengungkit hal itu. Karena, Niko sekali lagi membuang muka begitu Mamanya disebut. "Lo nggak seharusnya di sini." Suara Fei merendah di akhir.
Kembali Niko menatap Fei, kali ini tatapannya jauh lebuh tajam. Fei yang biasanya hanya kesal dengan cara pandang cowok itu, kali ini sedikit merasa takut.
"Terus gue seharusnya di mana, Feiry?" Niko menekankan nada bicara saat menyebut nama Fei sambil melangkah mendekat. Alih-alih menjawab pertanyaan Niko, Fei justru mengambil langkah mundur untuk memberi jarak antar keduanya.
"Nangis meraung-raung di samping tubuh kaku Mama gue bareng Agnes, gitu?! Atau sujud seribu kali minta sama Tuhan biar Mama gue balik? Iya?!" bentak Niko tepat di depan wajah Fei. "Itu yang dia mau. Dia udah ninggalin gue sama Agni dari dua tahun lalu. Dia bahkan bisa pergi tanpa pamitan. Lo bilang apa? Gue egois? Liat siapa yang lebih egois sekarang!"
Pertahanan Niko benar-benar terbakar menjadi serpihan abu sekarang. Tidak peduli seberapa keras ia berteriak pada Fei sampai sekujur tubuhnya bak kepiting rebus dan urat-urat menyembul dari leher serta lengannya, Fei tetap bisa melihat bagaimana rasa kehilangan itu mempengaruhi Niko sangat besar. Niko yang dilihatnya tadi siang masih sempat berganti pakain setelah mendengar kabar tidak baik itu, Niko yang dilihatnya masih mengendalikan setir dengan tenang ketika harus menunggu macet di lampu merah cukup lama, bahkan yang harus pontang-panting berurusan dengan prosedur pemulangan Mamanya, hilang entah sejak kapan. Yang tersisa hanya Niko yang memaki tanpa tujuan. Cowok itu butuh seseorang atau bahkan sesuatu untuk disalahkan. Lalu akan berakhir mengutuk diri sendiri karena tidak menemukan jawaban. Nyatanya tidak satupun bisa dikambinghitamkan. Termasuk Tuhan.
Perlahan, Fei mengikis jarak yang tersisa. Takut-takut, ia mengambil kedua bahu Niko dan membawa kepala cowok itu ke ceruk lehernya. Membekap tangisnya di sana. Memberikan sedikit usapan ragu-ragu di punggung yang mungkin sedikit bisa menenangkan cowok itu.
"Lo akting pura-pura kuat buat siapa sih? Mama lo baru meninggal tadi siang, wajar kalau lo nangis meraung-raung bareng Agnes sekali pun. Atau lo bisa sujud seribu kali kalau perlu. Itu yang namanya rekasi impulsif manusia. Gue yakin lo lebih paham soal begituan," Fei terperangah oleh kempuan bahasanya sendiri.
Fei kembali bersuara begitu mendapati Niko masih bergeming, tapi air mata cowok itu jelas terasa merembes kaos milik Agnes yang ia kenakan. "Dunia terlalu sibuk buat merhatiin ada cowok sekeren elo. Personal branding elo yang mana sih yang lagi lo pertahanin? Seorang Niko si cowok super lurus yang hidupnya udah punya to do list sampai tujuh puluh tahun ke depan? Enggak perlu. Elo bukan robot, nangis kalau elo merasa perlu, jangan kejebak pepatah bodoh kalau cowok itu nggak boleh nangis."
"Gue udah jadi anak baik Fei. Gue udah jarang minum kopi, gue jagain Agnes, sesekali gue sering nemenin Papa di rumah sakit buat makan malam yang dulunya gue nggak pernah. Seharusnya dengan itu udah cukup buat jadi alasan Mama bangun, bukan ninggalin gue kayak gini."
Tidak tahu harus menjawab apa, Fei membeku. Tepukannya di bahu Niko terdiam sejenak. Niko yang ia temukan saat ini seratus delapan puluh derajat berbeda. Sampai akhirnya ia menemukan kembali suaranya, "Gue yakin kok Beliau liat. Liat gimana anak cowoknya berusaha jaga adik ceweknya dan bahkan Papanya. Makanya dia pergi. Karna dia... udah nggak punya kekhawatiran lagi. Karna anak cowoknya, udah bisa diandalkan."
Sepanjang kalimat yang Fei ucap, ia juga ikut menangis di sana. Suaranya hampir tertelan karena menahan isak agar tidak terdengar Niko. Dadanya sakit luar biasa. Tenggorokanya terasa menyangkut sesuatu yang menahan nafasnya di sana hingga membuatnya sulit bernapas.
Fei pernah berada di posisi Niko. Ia pernah kehilangan. Ia sangat tahu bagaimana jika seseorang yang terbiasa ada, menyayangi dan disayangi, walau terkadang menyebalkan, lalu direnggut paksa untuk tiada, rasanya menyesakkan. Melubangi indra perasa sakit hingga terlalu dalam.
"Gue nggak bisa bilang semua bakal baik-baik aja, tapi gue yakin Mama lo udah nggak kesakitan lagi sekarang. Tapi beliau bakal bisa lebih tenang kalau lo bisa belajar mengikhlaskan. Nggak mudah dan nggak instan, gue tau. Lo cuma perlu bersikap susuai waktunya, jangan maksa. Kalau lo ngerasa lagi butuh nangis, ya lo nangis. Lo nggak perlu bersikap keren buat siapa-siapa. Mama lo bakal lebih seneng kalau lo bisa jadi manusia normal. Ngggak perlu ditutup-tutupi, kehilangan itu bukan aib kok. Kita semua bakal ngerasain yang sama, cuma soal waktu dan bagaimana kita menyikapi, itu satu-satunya obat. Dan nggak ada yang bisa bantu kecuali diri sendiri, termasuk gue. Ya, gue cuma bisa ngomong doang. Gue aja nggak ingat dua detik lalu ngomong apa. "
Fei serius soal ini. Dia cuma bicara sesuai keadaan, bukan hasil nyontek sinetron picisan apalagi sampai menghafal sript yang sebelumnya ia sudah tulis.
"Gue salah apa Fei sampai Tuhan harus hukum gue dengan cara kayak gini?" gumam Niko di sela tangisnya.
Sekali lagi, hening cukup lama memeluk mereka. Fei kehabisan stok kata-katanya hari ini, tidak biasanya ia banyak bicara. Bicara yang bagus-bagus pula. Jadi ketika Niko bertanya begitu yang sanggup Fei lakukan hanya kembali menepuk-nepuk pundak cowok itu sambil berkata lirih, "Nggak ada yang salah, nggak satu pun dari kita dihukum di sini. Mama lo cuma udah di penghujung janji yang dia bikin sama Tuhan."
TBC...
Niko... I know you will get better.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Teen Fiction"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...