"Lo cewek gue, Fei!"
Nada suara Niko meninggi beberapa oktaf. Tidak kalah tegas dari Fei sebelumnya. Dengan keadaan terik matahari pukul tiga sore yang seakan tepat di pundak kiri cowok itu, Fei bisa melihat dengan jelas kedua rahang yang mengetat dan tatap tajam mata Niko. Untuk beberapa saat Fei hanya mematung, merasakan jantungnya bertalu-talu tak karuan. Entah karena terlalu ketakutan atau ... setidaknya ini kali pertama ia merasa aman.
"Ohhh, jadi lo monyetnya?"
Suara itu memaksa Fei untuk mengalihkan perhatian pada si pemilik. Membiarkan setajam apa pun mata Niko mengintimidasinya dari sebelahnya.
"Dia nggak ada urusannya sama ini," Fei akhirnya menemukan kembali suaranya meski sedikit bergetar.
"Memang. Tapi, apa boleh buat? Cowok tajir lo ini cukup berani buat ikut campur." Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati Niko. Menilai cowok itu dari rambut rapinya sampai sepatu Nike Air Force 1'07 yang membalut kakinya. Sebelum akhirnya kembali mendaratkan pukulan, kali ini pada perut Niko. Sakit di dadanya tidak seberapa, tapi diterjang bocah kemarin sore sampai jatuh itu yang membuatnya murka.
"Besok malam. Gue kasih duit lo besok malam."
Fei tahu kegilaan apa yang baru saja ia lakukan. Memangnya di mana ia bisa menemukan uang yang hampir jutaan itu dalam satu malam. Ngepet?
Lalu seakan satu kegilaan itu belum cukup, Niko yang masih meringis itu sekonyong-konyong bersuara, "Berapa yang harus dia bayar?"
"Niko!" Fei tidak bisa tidak berteriak. Masa bodoh dengan cowok itu yang tepat di sebelahnya. ia tidak habis pikir apa yang membuat otak cowok satu ini geser. Apa karena pukulan di perut barusan?
Rupanya hal itu langsung menarik perhatian laki-laki itu. "Harusnya lo bilang gini dari tadi. Gue jadi nggak perlu repot repot mukulin lo," ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu Niko yang langsung ditepis cowok itu. "Lima juta."
"Lo gila?!" Protes Fei saat itu juga. Jelas-jelas barang yang ada padanya tidak mencapai segitu hargahnya. "Jangan dengerin dia. Lo nggak perlu-"
Ucapan Fei terputus begitu melihat Niko mengeluarkan beberapa lembaran uang pecahan seratus ribu dari dalam dompetnya. Itu bahakan lebih banyak dari yang bisa Fei banyakan akan dibawa anak SMA ke sekolah.
"Gue cuma punya setengahnya."
"Setengah otak lo!" umpat Fei. "Mau setengah kek, seperempat, seribu kek. Gak ada yang minta lo bayarin."
Niko, ataupun laki-laki itu tidak ada yang mendengarkan Fei. Laki-laki itu bahkan sudah merampas uang dari tangan Niko. Setengah pun tidak masalah. Yang penting ia pulang tidak dengan tangan kosong.
"Balikin, Bang. Balikin." Fei berusaha merebut uang Niko kembali, tapi dengan cepat laki-laki yang dipanggilnya sebagai orang yang lebih tua itu menyimpannya di dalam saku setelah menghitung lembaran yang di terimanya.
"Dari dulu kek lo pacaran sama orang gedongan," laki-laki itu berlalu setelah sebelumnya sempat menampar-nampar pelan pipi Fei sambil mengatakan, "Gue tunggu sisanya besok malam."
Setelah kepergian laki-laki dengan motor CB Gelatiknya itu, bukannya menghirup napas lega, Fei malah merasa dadanya semakin penuh dan menyesakkan hingga kepalanya yang berdentum-dentum tak karuan. Sebelum akhirnya ia jatuh terduduk di aspal panas. Ini menakutkan.
"Ini, ada, apa?"
Pertanyaan itu lagi. Ini sudah kali ketiga. Dan masih sama menyeramkannya.
"Gue nggak punya kewajiban buat cerita sama lo." Jawab Fei kemudian bangkit dan membetulkan letak tas di punggungnya.
Sebenarnya, selain sesuatu seperti pelajaran intelektual yang bisa memperluas pengetahuannya, Niko tidak pernah penasaran sama sekali. Ia tidak mau ambil pusing untuk permaslaahan yang tidak merugikan dirinya. Masalanya, ia sudah terlibat di sini, dan ia berhak setidaknya mendengar sedikit cerita dari sudut pandang Fei. Agar ia setidaknya tidak menyesal sudah terlibat. Meskipun itu sepertinya mustahil.
"Lo bebas mau ngarang cerita sekreatif mungkin," ucap Fei. Setelah itu, ia berjalan menjauh. Repot-repot melihat Niko pun ia enggan, apalagi sampai minta maaf atau bereterimakasih.
Niko dibuatnya termangu di tempat. Cewek satu ini benar-benar ... 'wah!'.
***
Niko memandang pantulan dirinya di depan kaca pintu rumah sakit dengan kesal. Rambut acak-acakan, seragam kusut masai dan wajah penuh memar yang ia yakin sebentar lagi akan membiru. Tidak pernah ia menemukan seorang cowok dengan tampilan berandal habis adu jotos seperti itu sebelumnya. Mama sudah pasti tidak senang melihatnya.
Dengan sedikit tarikan napas berat, Niko memberanikan diri masuk ke dalam bangunan di depannya. Berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang mulai agak sepi. Menyempatkan menyapa beberapa perawat yang lewat di depannya. Hampir dari seluruh mereka mengenalinya. Bukan karena Niko anak seorang dokter ahli bedah umum di sini, tapi karena hampir setiap hari ia mengunjungi rumah sakit ini. Semacam sebuah agenda rutin harian.
Di ujung lorong, Niko mendorong pelan salah satu pintu kamar pasien. Hawa sejuk AC dan aroma lembut kopi yang berasal dari pengharum ruangan yang digantung di bawahnya menyambut Niko begitu pintu terbuka. Pelan, Niko menutup pintu di belakangnya. Takut kalau-kalau akan mengganggu tidur nyaman wanita di atas ranjang sana. Pun dengan langkahnya, ia perhatikan sedemikian mungkin. Bising dari bedside monitor itu saja sudah cukup.
"Aku bakal cerita apa aja yang Mama mau dengar, tapi nggak dengan yang satu ini," Niko menunjuk wajahnya sendiri kemudian mengambil remote AC dan meninggikan suhu ruang.
"Hari ini Pak Hamidi ngadain ulangan harian," Niko menyebut guru Sejarahnya sambil mengintip ke luar jendela yang tirainya ia singkap sedikit, "dadakan. Ini bahkan udah dekat-dekat ujian praktek. Tapi, Mama tau aku, itu bukan masalah besar."
Jeda kemudian. Hening. Niko menarik kursi dan duduk di samping ranjang. "Agnes?" tanyanya, seakan tengah mengulang apa yang diucapkan oleh sang mama. Padahal kelopak mata yang tertutup itu bergerak pun tidak.
"Anak Mama satu itu perlu kena sinar matahari. Kulitnya terlalu putih, Niko sampai takut kalau nanti Agnes jadi transparan," Niko bergidik ngeri, "dan hobi nomor satunya masih mengganggu abangnya ini." kemudian secara dramatis mencebikkan bibir kesal.
Walau sekali saja yang diajak bicara tidak menanggapi, cerita Niko mengalir santai di tangah rangkak waktu yang melarut. Dua tahun ia melakukan hal sama setiap harinya. Mungkin mama yang koma bosan mendengar celoteh cerewet Niko tentang harinya yang sepele, yang hanya diisi; Agnes, sekolah dan rumah, tapi ia ibarat sebuah buku dongeng super tebal yang tidak pernah kehabisan cerita. Hari baru dengan cerita baru.
Lima belas menit sebelum jam besuk habis, Niko mengakhiri sesi curhatnya hari ini. Sedikit pun tidak menyinggung perihal memar di wajahnya. Punggung tegapnya perlahan meluruh, kepalanya jatuh ke atas tangan mama yang ia genggam. Diam-diam menghitung detak jam, berharap di waktu-waktu sempit ini, mama sudi mengakhiri tidur panjangnya.
Lalu dengan suara berbisik di tengah isaknya yang entah sejak kapan, Niko melontarkan pengakuan. Setelah rasanya seluruh perabotan di dalam ruangan itu mengintimidasinya. Seolah tidak benar tanpa bagian yang satu ini.
"Ini karna Fei," ia menempelkan sisi wajahnya pada telapak tangan dingin mama, "Mama masih ingat Fei 'kan?"
TBC...
HAYOLO ini ceritanya jadi kenapa gini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikotin dan Kafein
Fiksi Remaja"Mau jadi cowok gue?" Kening Niko berkerut dalam. Diperhatikannya cewek yang baru saja memintanya menjadi pacar itu. Gesturnya santai sekali, seakan tengah mengajak lawan bicaranya makan kerupuk. Rambut hitam sebahu yang entah kapan sejak terakhir...