Nikotin dan Kafein | 17

144 20 4
                                        

"Sini gue aja yang bikin melodinya," saran Fei.

Walau tidak menolak, Niko juga tidak mengiyakan. Tangannya masih menggenggam erat buku meski Fei sudah menariknya sekuat tenaga.

"Gue nggak yakin punya lo bakal lebih bagus," tolak Niko.

Fei mencebikkan bibir, "Yang jelas bakal lebih enak buat di denger."

"Yang enak belum tentu 'sehat'," sindir Niko. Namun, tak urung memasrahkan bukunya direbut Fei.

"Sehat-sehat! Lo kata makanan. Seenggaknya punya gue nggak pakai boraks kayak punya lo, bikin muntaber," Fei tersungut-sungut membawa buku sejauh mungkin dari Niko. Ia memilih tengkurap di lantai memunggungi cowok itu. "Kalau melodi gue lebih bagus, gue yang main gitar."

"Nggak." Tegas Niko membuat Fei berdesis kesal.

Hening bermenit-menit kemudian. Di tengah fokus Niko pada artikel obat herbal di majalah yang ia temukan di atas meja dan Fei yang sibuk dengan guratan pensil untuk melodinya, hanya terdengar detak jam besar di salah satu dinging ruang, juga gemericik air kolam ikan di depan mereka yang dibatasi sebidang sekat kaca.

Sampai hening itu melebur oleh Agnes yang berteriak menyebut nama Niko sambil berlari menuruni tangga. Sontak Niko dan Fei beranjak, menatap penuh tanya penampilan Agnes yang kini kusut masai. Mata cewek itu bengkak, entah karena banjir air matanya saat ini, atau karena dipaksa terbangun dari tidur. Jelas sekali lipatan di pipi Agnes bekas seprei kasur.

"Mana hp lo?" todong Agnes begitu berhadapan dengan Niko.

Niko masih tidak mengerti kenapa cewek itu tiba-tiba menyakan keberadaan handphonenya. Namun, tak urung cowok itu menjawab, "Hp gue di kamar. Lo kenapa sih?" tanya Niko balik sambil memegang bahu Agnes.

"Mama—"

Agnes ambruk. Tenggorokannya sakit, rasanya semua air ludahnya mengering dan mengganjal di sana. Itu sebabnya suaranya hilang entah kemana. Dan tiba-tiba semua terasa kabur. Kabar yang baru saja ia dengar, membuat isi kepalanya bunyar. Berdentum-dentum tidak karuan.

Niko mengerti sekarang. Agnes tidak pernah kehilangan kendali atas dirinya seperti saat ini. Kecuali... dua tahun lalu.

"Gue titip Agnes," pinta Niko pada Fei.

Kendati masih kebingungan, Fei mengangguk juga. Memberi persetujuan untuk Niko akhirnya berlari ke atas.

Sepeninggal Niko, Fei tidak bisa berbuat banyak selain memeluk Agnes sembari mengusap lembut punggung cewek kurus itu. Ia jelas tidak bisa mengatakan 'semua akan baik-baik saja' di saat segalanya terlihat tidak baik-baik saja. Tangisan Agnes terdengar sumbang sekaligus menggema di rumah besar sekaligus kosong ini. Mengisi setiap detiknya yang terasa begitu lama bagi Fei. Dan tidak tahu kenapa, tapi Fei menunggu kedatangan Niko.

Niko turun tak lama kemudian. Dalam keadaan rapi. Langkahnya terburu-buru, tapi gerakan tangannya saat memasukkan dompet ke dalam saku, berbicara dengan seseorang di telpon—yang Fei tidak tahu siapa-semuanya terlihat tenang. Pun saat cowok itu memanggil salah satu asisten rumah tangga dan mengatakan, "Buk, nanti tolong ruang tengah diberesin ya. Kursi-kursi dipinggirin. Kalau bisa disapu-sapu sedikit, sama tolong gelar karpet."

Wanita paruh baya itu menatap Niko lama, sampai akhirnya menghabur memeluk anak laki-laki yang sudah ia anggap anak sendiri itu. "Sing sabar yo Nak," usapan tangannya pada bahu Niko membuat cowok itu sedikit kehilangan kendali. Gemetar itu menyeruak juga. Sampai ia hanya bisa memberi angguk sebagai jawaban.

"Kita ke rumah sakit sekarang."

Entah siapa yang di maksud Niko dengan 'kita'. Itu bisa saja hanya dia dan Agnes. Atau cowok itu membawa Fei pada kata 'kita'nya. Yang Fei tangkap setelah Niko berjalan lebih dulu di tengah keadaan Agnes yang ia yakin berdiri pun cewek itu kesusahan, berarti ia diikutsertakan. Fei kemudian refleks membawa Agnes berdiri dan mengikuti langkah Niko dalam diam.

***

Dua tahun lalu, Niko sudah dipersiapkan untuk kemungkinan terburuk. Bahwa melepaskan adalah satu-satunya jalan yang harus ia dan keluarganya terima. Kenyataan tentang Mama bisa berada di sisi mereka tak lain hanya karena bantuan alat-alat medis, sudah seharusnya menjadi pembayang.

Namun, menyerah masih jauh dari ambang keputusan mereka saat itu. Sabar mereka masih bersandar pada kata mukjizat. Bahwa Tuhan tidak pernah tidur, bahwa mungkin suatu hari nanti Mama akan membuka mata. Setidaknya beliau harus memarahi Papa yang keseringan makan nasi padang padahal pria itu jelas-jelas tau jika kolesterol sudah jadi cerita lama. Serta Niko yang sudah tau asam lambung, tapi kopi sama pentingnya dengan udara bagi anak laki-laki itu. Agni terutama, anak gadis satu itu, sosialisasinya nol besar.

Saat ini, jangankan memarahi 'asuhannya', Mama bahkan pergi tanpa sepatah kata good bye. Senyum yang diulasnya setelah dokter mengumkan waktu kematian, seolah menyombongkan diri dengan kepergiannya yang lebih dulu. Sedang yang ditinggalkan, tangis serta raung sedu-sedan memenuhi ruang bercat putih itu. Agni si anak dingin mengamuk memeluk tubuh sang Mama sambil ditenangkan Papa yang keadaannya tak jauh berbeda. Niko sendiri, jatuh teruduk di sudut ruang menyembunyikan tangis pada lekukan lututnya. Runtuh sudah peran kakak laki-laki tegar yang sejak dirumah ia bangun.

Semua itu, terekam jelas bagi Fei walau dari kaca kecil di pintu. Air matanya mengalir sejak menginjak rumah sakit tadi. Ia tidak tahu kenapa, Fei bahkan belum pernah bertemu ibu Niko sekalipun. Fei sudah berusaha mengahapusnya berkali-kali, tapi tetap saja jatuh lagi. Dan sekarang ia sudah malas, jadi biarkan saja. Setitik rasa sesal mengganjal di hati Fei, bagaimana wajah tertidur damai itu, seharusnya ia kenal lebih dulu sebelum pergi. Sebenarnya, alasan Fei berdiri mengintip di depan pintu adalah Niko. Melihat cowok itu ambruk seperti kehilangan sebagian dirinya, membuat Fei memikirakan ulang penilaiannya tentang Niko. Entah bagaimanapun ia sempat membatin, apakah Niko sempat memiliki hati nurani?

Lamunan Fei terhenti saat tiba-tiba pintu di depannya terbuka. Ia belum sempat menyingkir, tapi tubuh menjulang Niko sudah berdiri di depannya. Sontak Fei menengadah, menatap bingung Niko dengan wajah masih basah, "Mau ke mana?"

Sejenak Niko terkejut menemukan Fei. Mata keduanya beradu dengan pertanyaan masing-masing. Sampai akhirnya Niko memutus hening dengan mengambil tangan Fei, "Gue antar pulang."


TBC....

Nikotin dan KafeinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang