Nikotin dan Kafein | 10

200 28 13
                                    

Di umurnya yang hampir 17 tahun, Niko mungkin salah satu orang yang benar-benar memikirkan sebab-akibat dari apa yang dilakukannya. Bagaimana jadinya kalau ia berkata begini? Apa yang akan terjadi jika ia melakukan itu? Semua, ia pikirkan matang-matang.

Sampai saat ini, satu-satunya yang mampu membuatnya menyesal untuk keputusan yang ia ambil adalah seharusnya satu tahun lalu ia tidak bertindak kekenak-kanakan dengan meminta keluarganya untuk menyaksikan ia bertanding di OSN. Jika saja hari itu tidak pernah ada, mungkin saat ini ia tengah makan siang dengan santai masakan mama dengan sedikit ocehan Agnes karena telur gulung yang keasinan. Alih-alih malah berputar balik menuju sekolah karena labtob yang ketinggalan. Karena, sampai waktunya tiba-yang entah kapan-ia tidak lagi bisa menemukan hal sesederhana makan siang di rumah.

Dan satu lagi penyesalan itu; sebaiknya ia biarkan saja labtobnya tertinggal. Toh, keamanan Nusa Harapan tidak lagi diragukan. Supaya ia tidak perlu melihat pemandangan live action seperti drama-drama yang kerap Agnes minta temani nonton.

Pada jarak tidak lebih lima meter dari tempat mobilnya berhenti ini, tepatnya di depan gerbang SMA-nya, Niko dipaksa menyimak seorang laki-laki yang lebih terlihat seperti preman di matanya tengah meneriaki seorang cewek berseragam kemeja putih dengan rok maroon kotak-kotak yang cuma diam waktu preman itu menoyor-noyor kepalanya. Cewek itu mirip Fei. Atau ... itu memang Fei.

Niko tidak bisa hanya menyaksikan dari kejauhan begini saat perkara main tangan itu tidak lagi seremeh menoyor. Tapi preman itu sudah mulai menampar. Bahakan saat ini, sedetik sebelum Niko sampai di tengah-tengah keduanya, Fei sudah jatuh terdorong. Preman itu merampas tasnya dan menumpahkan seluruh isinya.

"Ini ada apa ya?" tanya Niko.

Fei mendongak terkejut. Bagaimana bisa cowok satu ini ada di sini? Ia buru-buru memungut lima bungkusan serbuk putih yang meluncur dari dalam tasnya. Jangan sampai Niko melihatnya.

Bapak-bapak preman itu tidak mengubris pertanyaan Niko. Ia lebih tertarik pada Fei yang kembali berdiri sambil memeluk tas.

"Gue tanya mana duit gue?!" laki-laki yang tidak mau repot-repot mengganti 'seragam'nya sejak malam terkhir ia bertemu Fei itu, berteriak. Ia bahkan tidak segan-segan mendorong bahu cewek itu.

"Ini, ada, apa?" Niko bertanya sekali lagi. Menekan setiap suku katanya sambil menatap Fei dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia kesal karena dipaksa berada di situasi yang tidak dimengertinya.

"Lo ... lo ngapain di sini?" bukannya menjawab, Fei malah balik bertanya. Cewek itu seketika tidak terlihat seperti Fei. Ia ketakutan dan ada sedikit getar dari tubuhnya.

"Malah ngobrol," entah kenapa Niko dibuat waspada kali ini. Karena sepertinya laki-laki di hadapannya ini mulai menyadari keberadaanya. Maka ditariknya sedikit Fei ke belekang punggung.

"Kalau Bapak punya urusan, bicarakan baik-baik. Bapak bisa dilaporkan atas tuduhan penyerangan di area publik."

Laki-laki itu tertwa remeh mendengar ucapan Niko. Ia sedikit memiringkan tubuh untuk menemukan Fei di belakang tubuh Niko yang tingginya melebihi dirinya."Lo ngerti dia ngomong apa? Gue nggak." Lalu kembali menatap Niko, "Dan sebelum emak bapak lo cuma bakalan nemuin mayat lo besok pagi, mendingan lo pergi."

Cengkraman Niko pada pergelangan tangan Fei mengetat. Pembuluh darah cowok itu menyembul dari balik kulit putihnya. "Nik, pergi sekarang," cicit Fei, tapi tidak Niko indahkan sama sekali.

Laki-laki di depanya itu mengeluarkan seringai menakutkan, "Kalau lo mau pergi silahkan, gue nggak ada urusan sama lo." Ia kemudian menghentak tangan Fei sampai cewek itu berteriak tertahan dan keluar dari tempat persembunyiannya. "Gue punya urusan sama ini Perek."

Sayangnya, Niko bukan tipe orang yang bisa setengah-setengah. Walaupun ia sudah sangat menyesali keputusannya untuk bergabung dalam drama tidak berjudul ini, ia tidak akan tinggal diam. Olehnya, ditarik kembali Fei kembali ke belakangnya.

Raut wajah laki-laki bertato itu berubah seketika. Jika tadi yang dilihat Niko hanya wajah menyeramkan, kali ini laki-laki itu terlihat gila. Ia tertawa sambil melihat telapak tangannya yang tadi mencekal lengan Fei. Sebelum akhirnya menggertakkan gigi dan berkata dalam nada rendah pada Niko. "Lo bikin gue marah, Bocah."

Menyadari laki-laki di depannya itu bisa lebih berbahaya dari yang bisa mereka bayangkan, Fei memaksa Niko melepaskan pergelangan tangannya. Meronta.

"Nik, lo pergi sekarang," perintah Fei tegas.

"Halo, Fei. Lo udah balik rupanya." Kata Niko out of topic. Tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari laki-laki itu, Niko tidak memberikan celah untuk Fei bisa lepas.

"Ini bukan waktunya bercanda. Lepasin gue. Gue bisa urus ini sendiri." Fei mulai kuwalahan. Usahanya melepaskan diri dari Niko terasa bukan apa-apa. Cowok itu tetap berdiri tegak tanpa terpengaruh sedikit saja.

"Nik, lo nggak akan tau apa yang bakal lo hadepin."

"Apa? Gue bisa terlempar tanpa disentuh? Atau tato cacing di tangan Bapak itu bisa mendadak keluar dan belit gue sampai-"

Sebelum sempat Niko menyelesaikan kelakarnya yang tidak lucu sama sekali, cowok itu sudah jatuh tersungkur tanpa aba-aba. Sebuah bogem mentah telak mengenai ujung matanya.

"Itu naga, bukan cacing."

Di tempatnya Fei terpekik kaget. Ia tahu betul laki-laki itu tidak pernah main-main dengan ucapannya.

"Pergi sekarang. Pergi!" mata Fei mulai berkaca-kaca. Sefrustasi itu ia sampai terlihat seperti kesetanan saat membantu Niko berdiri.

"Ini nih, kebanyakan nonton sinetron. Lo pikir orang kayak gue bisa reyot cuma sama anak ingusan macam lo? Kagak, Bego!" laki-laki itu kali ini menendang keras dada Niko.

"Niko!" Fei kembali dibuat terpekik. Namun, ia tidak lagi bisa memapah Niko seperti tadi. Karena, saat ini ia yang jadi sasaran. Rambutnya ditarik kuat-kuat sampai kepalanya sakit bukan main dan ia hampir yakin rambutnya rontok bersamaan.

"Dia siapa lo sih? Salah satu pelanggan elo? Apa pacar? Boleh juga tuh. Mobilnya bagus." Kata laki-laki itu santai.

"Lepasin gue!"

"Gausah teriak, Anjing!" laki-laki itu mendorong Fei menjauh.

Dengan napas terengah dan kedua tangan mengepal, Niko bangkit. Ia melangkah lebar-lebar kemudian tanpa bisa diperhitungkan, Niko melompat ke arah laki-laki itu dan menerjangnya. Adrenalin terasa membakar, memenuhi rongga dada dan nyaris merontokkan jantungya jika ritme detaknya secepat ini. Ini bahkan lebih buruk dari demamnya waktu ujian.

"Lo beneran cari mati." Laki-laki itu membersihkan santai jaket denimnya yang mencetak sol sepetu Addidas milik Niko.

Di tengah telinganya yang mulai berdengung dan kepalanya yang masih sakit luar biasa, Fei menarik Niko. "Lo tuli ya?! Atau nggak ngerti bahasa manusia? Gue bilang pergi! Ini masalah gue. Gue nggak pernah ngizinin lo ikut campur."

"Dan ngebiarin lo mati sama orang gila itu? Nggak." jawab Niko tegas.

Fei mulai ketar-ketir, sedangkan orang gila yang dimaksud Niko itu sudah bangun setelah berhasil ditumbangkan Niko tadi. "Apa peduli elo, Niko?!"

"Lo cewek gue, Fei."

Tbc...

Cut! Cut! Udahan dramanya. Akutuh nggak bisa diginiin, bang Niko.

Nikotin dan KafeinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang