"Sus, pasien bernama Mayra Zahira, ruangan di mana?" pekik Danil yang omongannya tidak tertata, ia berusaha berbicara cepat dengan nafas yang tersengal-sengal.
Suster tersebut memberi tahu ruangan di mana Aira berada, tanpa bilang terima kasih atau apa ke suster tersebut Danil langsung berlari menuju kamar yang dimaksud.
"Bunda," panggil Danil ketika mendapati Bundanya tengah duduk di depan ruangan dengan satu wanita dan satu laki-laki se umur-an Aira.
Bunda menoleh. "Danil," sahut Bunda, "sini duduk samping Bunda," titah Bunda.
Bunda mengelus pundak Danil. "Aira ada di dalam, kita dapat gantian masuk habis Bu Halwa," cetus Bunda sambil tersenyum ke arah wanita di sampingnya.
Wanita itu membalas senyuman Bunda Danil.
"Oh ya, kenalin, ini Bu Halwa, Ibunya Rezza, temennya Aira, kamu pasti udah tau yang namanya Rezza kan?."
Danil menatap Rezza yang sedang duduk di samping Halwa sambil menunduk.
"Bu Fatma lagi di dalem, Aira belum sadar, masih kritis," kata Bunda.
Bunda Danil atau nama aslinya Zara adalah wanita paruh baya yang berusia 42 tahun adalah wanita yang lembut dan penuh kasih sayang terhadap anaknya, ia seorang diri mengurus Danil dari Danil berumur satu tahun, ada gejolak di antara ia dan mantan suaminya dulu yang membuat rumah tangganya berakhir.
Sejak kecil Danil sudah dekat dengan Aira, oleh karena itu ia panik setengah mati mendapati kabar bahwa Aira kecelakaan. Zara (Bunda Danil) dan Fatma (Ibu Aira) sangatlah dekat, mereka sama-sama merasakan hidup tanpa seorang suami di sisinya, bedanya Fatma ditinggal wafat.
Danil berdiri menghampiri Rezza yang sedang duduk di samping Halwa, "Rezza boleh ikut gue sebentar gak?," tanya Danil memecahkan lamunan Rezza.
Rezza mengadahkan wajahnya agar dapat menatap mata cokelat milik Danil, ia tidak menjawab dengan perkataan, namun sebagai gantinya ia menganggukkan kepalanya satu kali kemudian bangkit dari tempat duduknya.
Danil berjalan di depan dan diikuti Rezza dibelakangnya, entah Danil akan mengajak Rezza kemana, Rezza hanya nurut saja.
Danil berjalan menuju balkon, tepat di ujungnya ia menghentikan langkahnya lalu menoleh dan menatap Rezza curiga.
Rezza tidak membuka mulut dahulu, memang lelaki itu memiliki tabiat yang malas saja jika harus bertanya, 'ada apa?, mau apa?, kenapa?, bla bla bla'.
"Gue curiga sama lo, pasti Aira masuk rumah sakit gara-gara lo, kan?," selidik Danil.
Rezza tersenyum kecut, ya ampun.. rupanya lelaki yang ada didepannya hendak bertanya soal ini, bisa saja sekarang ia menjawab 'iya', tapi malas saja jika harus berurusan dengan lelaki yang seperti ini, cuih..so care.
Rezza memutar tubuhnya, ia sungguh tidak memiliki selera untuk beradu mulut, lebih baik ia meninggalkan Danil dan kembali duduk di sampingnya Mamih-nya.
Danil adalah Danil, ia tak mungkin terima begitu saja dirinya dicueki oleh bocah ingusan seperti Rezza. Dengan cepat kakinya melangkah hingga dapat mengimbangi langkah Rezza sebelum bocah itu kembali duduk di samping Ibunya.
"Kalau diem tandanya iya" kata Danil ketus sambil menatap wajah datar Rezza.
"Maaf, saya tidak mau berbicara panjang lebar dengan Kakak, memangnya kalau saya menjawab Iya Kakak tidak akan bertanya macam-macam?" ucap Rezza dengan bahasa baik lagi baku sambil menekan ketika mengucap kata Kakak.
"Saya permisi" pamit Rezza meninggalkan Danil terdiam seorang diri.
Pada akhirnya Danil hanya dapat pasrah dengan sikap Rezza yang memang kata Aira seperti itu, kadangkala sifat dinginnya Rezza keluar begitu saja. Tapi tetap saja ada perasaan yang mengganjal di hatinya, soal apakah yang ia pikirkan benar, jujur ia hanya menduga-duga, kalau pun benar tidak mungkin juga ia akan mengajak Rezza bertengkar, dia bukan cowok bodoh, Rezza bukanlah tandingannya, Rezza itu dua tahun dibawahnya, terus kalau dilihat dari tampangnya bocah itu sepertinya tidak lihai dalam bela diri, dilihat dari tubuhnya, sungguh tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan Rezza seperti itu.
Baiklah, ia tidak akan memikirkan Rezza lagi, dengan cepat ia menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk mengusir bayangan Rezza di kepalanya. Kaki kanannya mulai melangkah untuk menuju ruangan di mana Aira berada.
Sesampainya Danil di sana ia hanya melihat dua wanita paruh baya yang sedang berbincang, mereka adalah Bu Fatma yang kelihatannya sedang menangis, yah benar Bu Fatma sedang menangis, tangannya beberapa kali mengusap air mata yang terus mengalir menggunakan tisu, sedangkan wanita satunya yakni Bundanya sendiri yang sedang berusaha menenangkan.
Rezza dan Ibunya mana?, ah mungkin sedang berada di dalam ruangan Aira, kan mereka mendapat giliran habis Bu Fatma, begitu kata Bunda. Entahlah kenapa ada rasa tidak suka di dalam hatinya jika melihat Rezza yang sepertinya sangat khawatir dengan keadaan Aira, bahkan bocah itu sampai meneteskan air mata beberapa kali.
Danil tahu kalau Rezza adalah salah satu teman sekolah yang bisa dibilang sangat dekat, tapi sungguh ia lebih dekat dengan Aira ketimbang Rezza. Harusnya ia yang lebih khawatir, kenapa malah bocah itu?.
Dan tunggu, Aira seperti ini karena Rezza?, ada apa?, ada apa gerangan?, memangnya mereka sedang ada konflik hingga Aira sampai masuk rumah sakit?, sungguh keadaan ini membuat dirinya bertanya-tanya, Rezza sialan, kenapa tidak mau cerita saja, ah mungkin Rezza pikir ia akan mengajak bergulat kalau tahu yang sebenarnya.
Tanpa ia sadari kini dirinya sedang melamun tak jelas, ada banyak pertanyaan yang singgah di kepala, pandangannya kosong, sekarang Danil sedang dalam posisi duduk di samping Bunda dengan ekspresi wajah yang sulit dikatakan. Mungkin kalau ada orang yang melihat akan menganggap Danil orang linglung, tapi beruntung saat ini lorong rumah sakit sedang sepi, dan dua wanita yang ada di sampingnya juga tidak memperhatikannya.
"Danil" panggil Zara dengan lembut.
Ia terperanjat lalu sontak menoleh ke arah Bundanya yang kini tengah berada di depannya sambil mengulurkan satu tangannya.
Dengan kondisi linglung ia menatap Bundanya dengan ekspresi menunjukkan bahwa ia tak mengerti maksud Bundanya.
"Jadi masuk ke ruangan Aira, gak?" tawar Bunda.
Danil mengusap wajahnya, matanya mengerjap. "Eh iya jadi" katanya sambil berdiri lalu mengikuti Bunda masuk ke dalam ruangan.
Danil menatap wajah pucat Aira, terlihat kepalanya diikat oleh perban berwarna putih, pernafasannya dibantu oleh selang oksigen. Danil menatap penuh prihatin, hatinya merintih melihat gadis di depannya terbaring tak berdaya di atas ranjang, hingga tanpa ia sadari matanya meneteskan air mata, namun segera ia hapus dengan lengan tangan kanannya agar wanita di sampingnya tak melihat.
Danil mengangkat kedua tangannya mengikuti Bunda, ia panjatkan doa untuk kesembuhan Aira, dengan khusyu dan penuh ketulusan Danil berdoa berharap Aira dapat melewati masa kritis dengan cepat.
"Danil, bunda keluar duluan, mau ke toilet soalnya" pamit Bunda.
Danil menoleh setelah ia menatap wajah Aira. "Iya, Bun. Danil juga sebentar lagi keluar" katanya yang mungkin tidak terdengar oleh sang Bunda lantaran wanita paruh baya itu sudah keluar terlebih dahulu lalu menutup pintu.
Danil kembali menatap Aira, tangan kanannya terangkat di udara, berniat ingin mengelus rambut Aira, tapi kemudian ia urungkan, tangannya kembali turun, lalu ia gelengkan kepala beberapa kali.
"Aira, cepet bangun yah, kangen cerewetnya kamu. Kak Danil keluar dulu" ucap Danil lalu pergi meninggalkan Aira sendiri di ruangan.
🔰🔰🔰
Hey guys aku baru update setelah sekian ribu tahun, hahah ribuan tahun.
Vote, coment and share ya guys.
Mimpi lagi nganggur kan yah jadi nulis.
In syaa Allah Aku gak bakal ninggalin ini cerita kok, cuman ya itu mungkin bakal slow update.
Terus ikuti nih cerita yah guys🥰.
Stay Tune🥰.
Follow
@hans_sabila25

KAMU SEDANG MEMBACA
After Far
Teen FictionAira, gadis yang tengah duduk di bangku SMA Kelas X Semester 2, 'dikenal namun tidak mengenal' begitulah kiranya kalimat yang dapat menggambarkan sosoknya. Kehidupan sekolahnya sangat tenang dan damai, hingga suatu saat ia terseret oleh gosip yang d...