Shoot

121 5 1
                                    

"Apa tidak ada tempat yang lebih layak untuk dijadikan markas?" gerutu seorang wanita yang baru saja membobol pintu besi sebuah basement dengan jepitan rambut.

Sebut saja Quarry, panggilannya ketika berada dalam misi. Ia menepuk-nepuk kepala dan badannya, membersihkan diri dari sarang laba-laba yang tersangkut.

Dirinya sedang berada disebuah hotel tua yang ditutup karena dilalap si jago merah sepuluh tahun lalu. Sekarang gedung itu telah berubah menjadi sarang abdi negara yang menjalankan bisnis gelap di balik pemerintahan.

Quarry berjalan mengendap ke pojok ruangan, berjinjit untuk meminimalisir suara apapun yang keluar. Pakaian serba hitam lengkap dengan topeng penutup wajah membuatnya semakin tak terlihat di ruangan yang gelap.

Manik matanya mencari, memindai dengan cekatan ke seluruh sudut yang dipenuhi bekas terbakar hingga jatuh ke tengah ruangan. Tepatnya pada sosok seorang bos dan dua anak buah yang menghitung bergepok-gepok uang di dalam koper.

Apa itu upah dari penjualan hasil tangkapan laut ilegal yang mereka kirim ke Jepang bulan lalu?

Srek!

Pupil matanya melebar. Dari arah belakang!

Quarry segera merapatkan punggungnya pada dinding saat merasakan kehadiran seseorang yang mendekat.

Nafasnya tertahan, mengawasi bayangan hitam yang semakin besar bergerak ke tempatnya berdiri. Jantungnya bertalu keras, membayangkan tertangkap sebelum misinya berhasil adalah akhir yang buruk.

Tuk.. tuk.. tuk..

Tubuhnya menegang, suara hak sepatu yang semakin keras membuatnya panik. Ia menunduk, menyembunyikan tubuhnya dibalik rak-rak minuman keras yang menjulang.

Tidak, jangan sekarang.

Dengan cepat tangannya merogoh ke dalam saku celana tempat Colt M1911A1 pemberian ayahnya tersimpan, menggenggamnya erat.

"Jack!"

Suara panggilan terdengar dikeheningan membuat langkah kaki yang tinggal beberapa meter itu berhenti.

Quarry waspada, mempersiapkan diri khawatir tiba-tiba orang itu balik menyerangnya.

Tapi nyatanya derap langkah kaki yang ia waspadai itu bergerak menjauh. Ia menghela nafas lega.

Tubuhnya kembali menegak, mengintai dalam diam seorang pria paruh baya yang sedang duduk disebuah sofa berdebu dengan kaki menyilang angkuh. Sudah selesai menghitung uang rupanya.

Mulut tua itu sesekali membentak beberapa anak buahnya yang membuat kesalahan saat memindahkan barang. Badannya bersandar sepenuhnya pada sofa, menghirup sebatang cerutu dan mengepulkan asapnya ke udara.

Yang Hyun Suk.

Menteri kelautan, mangsanya.

"Kali ini kepala atau jantung?" Sebuah suara bariton terdengar dari earphone-nya yang terpasang di telinga. Dagger, partnernya yang selalu bekerja di balik laptop.

Big ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang