Curious

94 10 0
                                    

Entah sudah berapa kali Ryujin melirik ke satu titik sepanjang pelajaran hari ini. Matanya lebih tertarik pada objek di pojok belakang dibanding guru yang menerangkan materi di depan kelas.

Sebuah kursi kosong.

"Dia kan broken home, mungkin depresi."

"Orang seperti dia tidak akan peduli dengan sekolah, biarkan saja."

"Bisa jadi berhenti, seingatku dia kerja paruh waktu di kedai kopi untuk menyambung biaya hidup sehari-hari."

"Ayahnya sangat keras, aku pernah melihat wajahnya babak belur seperti habis dipukuli."

Desas-desus praduga terdengar dari beberapa penjuru saat istirahat tiba. Ryujin yang tidak pergi ke kantin sedikit menajamkan pendengaran ketika beberapa murid mengobrol di meja depan.

Sayangnya, tidak seorang pun yang memberikan jawaban pasti. Tak ada yang bisa memuaskan rasa penasaran Ryujin terhadap alfanya si pemilik kursi.

Akhirnya, dengan bekal beberapa info dari teman sekelas mengenai lingkungan dan alamat rumahnya, Ryujin yang akan memastikan sendiri. Ia tidak akan memberitahu orang lain, bahkan Yeji sahabatnya sekalipun. Dirinya bertekad untuk mencari laki-laki itu dan menemukan alasan kenapa dia tidak masuk dalam seminggu belakangan ini.

Hanya penasaran. Tidak lebih.

Setelah bel pulang berbunyi, Ryujin segera merapikan alat tulis dan berlari keluar kelas. Bergegas menaiki salah satu bus dan pergi menuju lokasi yang lumayan jauh dari sekolah.

Menuju tempat tinggal Mark Lee.

Sebenarnya Ryujin tidak begitu kenal Mark, bisa dibilang hanya sekedar teman sekelas, mengobrol dengannya pun tidak pernah. Yang Ryujin tahu, Mark itu pendiam, selalu menyendiri dan tidak memiliki teman dekat. Mark lebih memilih tetap di kelas ketika murid lain menonton pertandingan bola di lapangan, bahkan tidak pernah pergi ke kantin karena selalu membawa bekal. Saking pendiamnya, teman-teman Ryujin mengecap Mark murid yang anti sosial.

Awalnya, banyak yang ingin berteman dengannya. Beberapa orang pernah mengajak Mark bermain basket, pulang bersama, juga mengajukan diri untuk satu kelompok dengannya, tapi Mark menolak semua tawaran mereka. Sejak saat itu, tidak ada yang mengajaknya lagi, orang-orang menjadi tidak peduli.

Padahal Mark pintar, tugas untuk kelompok ia kerjakan sendiri, menjawab pertanyaan guru ketika ditanya, tugas tidak pernah lupa, ulangan pun tidak pernah mendapat nilai rendah, bahkan ia bisa olahraga dan memainkan alat musik. Ryujin sendiri mengakuinya, karena ia hanya berhasil menempati peringkat kedua, setelah Mark.

Tapi Mark begitu kokoh. Angkuh. Tak tersentuh.

Tidak ada satu orang pun yang tahu kehidupannya.

Meskipun begitu, dibalik diamnya Mark, sorot mata yang terkadang tak sengaja bertubrukan dengan Ryujin tersirat banyak beban, seolah menyimpan berbagai cerita yang tak bisa diungkapkan.

Dan Ryujin ingin tahu, apakah sorot itu hanya ditujukan padanya? Kenapa orang lain tidak ada yang membicarakan mata elang itu?

Jika memang tidak ada yang menyadarinya, biarkan Ryujin menjadi orang pertama yang sadar makna dibalik tatapan Mark selama ini.

Big ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang