Kafe

264 20 2
                                    

Suara denting lonceng yang terdengar menandakan masuknya seseorang ke dalam kafe tempat Mark bekerja. Tubuhnya yang sedang beristirahat sejenak perlahan bangkit, matanya melirik sebentar ke arah pergelangan tangan sebelum kembali mengamati dalam diam tamu yang baru saja duduk itu.

Sepuluh menit sebelum jam tutup kafe dan orang itu baru datang, ditambah dengan penampilannya yang sedikit ... nyentrik? Gadis berambut pirang yang mengenakan jaket kulit dan sepatu boots hitam serta riasan tebal di wajah, sepertinya tipe tamu yang menyebalkan.

Mark mendengus sebal ketika melihat pelayan lain sedang sibuk hilir mudik membawa pesanan, hanya dia lah yang sedang menganggur dan terpaksa harus melayani gadis itu.

Dengan enggan Mark berjalan menghampiri si gadis berwajah angkuh dengan membawa buku menu dan nota pesanan. Berdoa dalam hati semoga orang itu adalah pembeli terakhir. Mark lelah tentu saja, hari ini kafe sangat ramai dan ia ingin cepat pulang ke tempat kosnya.

Saat sampai di depan meja dan hendak memberikan buku menu, gerakan tangan Mark terhenti ketika ia mendengar suara menyebalkan dari gadis itu.

"Hot americano satu, latte satu dengan 50% cream, mocca bread satu, tiramisu cake satu. Sekalian take away red velvet cake dan iced cappuccino masing-masing satu," ucap gadis itu dalam satu tarikan nafas, tanpa menatapnya.

Tentu saja Mark yang masih memegang buku menu sama sekali tidak sempat menulis pesanannya, tidak dengan pesanan secepat rap itu.

"Uhm, maaf. Bisa tolong diulangi sekali lagi?" Mark berusaha meminta dengan sopan, nota dan pulpennya sudah siap ditangan.

Gadis itu merotasikan matanya malas. Melirik Mark yang sedang berdiri memandang alat tulis di tangan, menunggunya bicara. Tampan tapi lambat, pikirnya.

"Hot, americano, satu, latte, satu-"

"Aku tidak selelet itu, Nona," potong Mark kesal. Gadis itu memberi penekanan pada setiap kata, seperti sedang membantunya belajar menulis. Yang benar saja!

Gadis berlipstik hitam di depannya hanya tertawa sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah menertawakan kekesalan Mark atau obrolan di chatnya, Mark tidak begitu peduli.

"Hot americano, latte dengan 50% cream, mocca bread, tiramisu cake. Take away red velvet cake dan iced cappuccino. Semuanya masing-masing satu," ucap si gadis tanpa mengalihkan wajah dari ponselnya.

"Baik, silakan menunggu." Mark berlalu menuju konter dan memberikan pesanannya pada Taeil.

Dengan sigap Mark meletakkan piring-piring kue yang Taeil berikan di atas nampan. Ketika semakin dekat dengan meja pengunjung terakhirnya, lagi-lagi telinga Mark tak sengaja menangkap percakapan gadis itu dengan seseorang.

"Kau tidak bisa kesini? Aku sudah memesan..." ucapnya terdengar kecewa.

Beberapa meter lagi hingga Mark sampai di depan meja, gadis itu tiba-tiba berdiri membuat Mark menghentikan langkah.

"Tunggu! Jangan pergi! Aku akan kesana!" ucap gadis itu panik dan segera merapikan bajunya yang sedikit kusut.

Seketika iris coklatnya menatap Mark yang sudah berada di hadapannya dengan senampan penuh pesanan.

"Bisakah... bisakah semua ini dibungkus dengan cepat?" tanya gadis itu pada Mark. Ia terlihat gelisah dan terburu-buru.

Mark yang mengamati raut wajah memohon pada gadis itu dengan cepat mengangguk dan berjalan tergesa ke belakang, membungkus pesanannya dan kembali hanya dalam waktu beberapa menit.

Big ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang