22) dua puluh dua

522 71 78
                                    

Kali ini siapa lagi yang matanya mengedar untuk memperhatikan seseorang yang sama sejak beberapa menit lalu? Wira. Wiranata orangnya.

Netra yang ia punya tidak pernah lepas dari objek yang sejak tadi tertunduk seraya membaca sebuah buku dipojok taman, tepat dibawah pohon rindang.

Gadis biasa yang mampu membuat beberapa pandang teralihkan atensinya, gadis dengan earphone yang memutar beberapa musik klasik di telinganya.

Bukankah hari ini hari yang cukup spesial untuk gadis itu? Lantas mengapa ia hanya berdiam diri seolah tak ingin diganggu?

Entahlah, Wiranata hanya menghela nafasnya lagi. Beberapa kata ada yang ia coret dari buku catatan dihadapannya. Karna untuk dikira, hanya dengan kata tidak mampu untuk menggambarkan seorang Anaraya.

Sampai akhirnya ponsel milik Wiranata berdering, panggilan dari Juna tertera disana.

"WIRAAAA BURUAN KE RUANG SIARAN, KATANYA LO MAU NGISI JADWAL ARRAYAN YANG KOSONG KALO DIA BELUM MASUK JUGA KAN?"

"Iya."

"YAUDAH SINI, DIA BELUM BISA MASUK, JADI GANTI SAMA LO DULU AJA,"

"Kenapa? Ayahnya kan udah balik dari rumah sakit?"

"Bukan, bukan itu lagi urusan dia. Lo inget gak ini tanggal berapa?"

"Dua puluh... dua?" jawab Wira seraya kembali menatap Ann yang masih fokus pada bukunya. Iya, dua puluh dua.

"Nah, lo masa lupa setiap tanggal dua puluh dua di bulan ini Arrayan selalu ngapain?"

Lelaki itu diam sebentar, mengingat beberapa hal kebelakang.

"Ayudia?" balasnya.

"YAPPP! UDAH BURUAN LO KESINI, GERAH BANGET GUE BANYAK YANG PADA NGIRIM SURAT CONFESS TERUS GUE YANG DISURUH BACAIN ANJINGLAH,"

"Iya iya santai, gue kesana sekarang."

Maka dengan tatap terakhir yang meyakinkannya hari ini, Wira berjalan memutar arah untuk pergi.

Arrayan, Arrayan. Prioritas lo sebenernya siapa sih disini? Orang yang udah meninggal?

Lucu, kadang terlalu lucu. Peran Wira sekarang sebenarnya apa? Dirinya sendiri pun bahkan tidak tau mengapa sampai saat ini, ia tidak pernah memilih kata pergi. Walau yang ia tahu, sampai kapanpun hatinya tidak akan pernah bisa dimiliki.

"Anjir lo cakep banget Wir hari ini?" teriakan Juna menyambutnya dari dalam ruang siaran.

Wira dengan Hoodie memang sudah biasa, Wira dengan kemeja yang beberapa kancingnya terbuka juga sudah biasa, tapi kali ini Wira dengan casual blazer bersama kaos putih polos dan kacamata yang bertengger tepat di wajahnya, lo mau ngomong apa?

Lelaki itu hanya mengendikkan bahunya tak peduli, lalu duduk di kursi sebelah Juna.

"Mulai berapa menit lagi?"

"Lima deh kira-kira, tunggu aja gue mau minum dulu," jawab Juna seraya menegak air mineral. "Lo siap? Mukanya tegang pisan udah kaya mau ngelamar orang," lanjutnya.

Sedangkan yang ditanya tetap sama, tidak menjawab apa-apa. Hanya jemarinya yang beberapa kali membenarkan letak kacamata dan mengamati kertas yang ia bawa.

"Jangan sebut nama gue ya Jun, awas aja lo kalo keceplosan."

"Hehe, sogokannya apa dulu?"

"Bebek deket ITB lo suka kan? Mau?" tawar Wira pelan.

Juna lantas mengangguk, "Lo kalo mode soft gini gue takut," ucapnya seraya memakai headphone dan mengembalikan posisi mic-nya untuk kembali memulai siaran radio kampus.

AplombTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang