Matanya beralih dari layar laptop ketika ponselnya berbunyi dengan nada dering andalan Anaraya. Gadis itu mengerutkan dahi lalu melepas kacamatanya. Hari ini sudah lelah dengan tugas kuliah, dan kali ini ia memohon jangan tambahkan lagi masalah lainnya.
"Halo sayang bunda," suara diseberang sana terdengar memekikan telinga.
"Iya, halo bun." jawabnya pelan.
"Bunda udah kirim ke kamu data panti asuhannya, ya. Harus dikunjungi dalam waktu dekat sesuai kemauan ayah. Ah iya, untuk pemisahan yang ke panti jompo, bunda minta data secepatnya ya sayang. Bunda udah minta tolong untuk program hari anaknya kan?"
"Udah bunda, Ann usahain ya. Lagi agak penuh juga jadwal di kampus."
"Aduh sayang, bunda engga maksa kok, cuma kali ini bunda minta tolong ya, Ann? Udah kesepakatan bersama soalnya,"
"Iya bunda."
"Yaudah kalo gitu bunda tutup ya, sehat terus anak kesayangan Danurdara. Kapan-kapan pulang, bunda sama ayah udah kangen banget."
"Iya bunda, Ann tutup ya." lalu sambungan keduanya terputus. Membuat Anaraya lagi-lagi menghela nafasnya.
Kalau sedang lelah memang rasanya ingin menyerah. Ann itu gadis yang paling tidak suka mengerjakan segalanya dibawah batas waktu dan terburu-buru.
Netranya kembali beralih menatap layar laptop. Tugas yang tak kunjung selesai karna jalan pikirannya yang tak kunjung menemukan titik terang. Padahal sudah banyak hal-hal menumpuk yang menunggunya didepan sana.
Tugasnya sebagai putri pertama Danurdara, pun tugasnya sebagai mahasiswi sastra Inggris yang terkenal karna kecerdasannya. Kalau dipikir tidak ada yang istimewa sebenarnya. Hal-hal demikian hanya seperti beban dan tekanan bagi Anaraya.
Gadis ini tidak suka dipuji. Tidak suka terlalu dibanggakan berlebihan kecuali hanya diapresiasi dengan sederhana.
Tak lama telfonnya berdering lagi, membuatnya kesal setengah mati.
"Iyaa bunda, jangan diingetin terus, Ann cape." ujarnya dengan suara yang kian serak. Kebiasaan jelek seorang Anaraya yang harus ia ubah adalah menangis kalau sedang lelah-lelahnya.
"Ann?" panggil suara berat milik lelaki di seberang sana. "Kenapa?" ia bertanya lagi.
"Hah kak Rayan?" tanya Anaraya seraya melihat layar ponsel. Benar, ia salah sangka ternyata.
"Kenapa?"
"Engga,"
"Kenapa?"
"Gapapa,"
"Kenapa?"
"Cape..." jawab Ann pada akhirnya. Ia menyandarkan wajahnya diatas meja dengan ponsel yang masih ditelinga. "Lebay emang, tapi engga suka banget sama keadaan kaya gini," sambung Anaraya.
"Kata gapapa aja engga cukup ya? Mau aku kesana?"
"Engga usah kak, ga penting."
"Yaudah kalo engga. Mau ditemenin aja gimana?"
"Muka aku jelek banget kalo lagi gini," gadis itu meringis diujung perkataannya. Malu tapi tak apa, sudah terlanjur.
"Enggapapa, yang butuh didengar itu cerita kamu, Ann. Lagi kosong juga, mau ngeluh?"
"Gapapa?"
"Ya kalo mau?" tanyanya. "Aku pindah ke kamar dulu sebentar, disini berisik." ujar Arrayan kemudian berjalan ke kamarnya.
"Gimana?" lelaki itu bertanya lagi setelah aman dari teman-teman. Arrayan memang sudah memutuskan untuk kembali ke kost bersama yang lain setelah dirasa kondisi sang ayah telah cukup pulih. "Cape banget ya? Kenapa aja hari ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplomb
Teen FictionSelamat bertemu dengan Arrayan dan Anaraya. "Aplomb itu tenang. Ya kaya aku pas ngeliat kamu kan?" "Tapi tenang yang aku punya, bentuk lain dari kata pura-pura."