16) enam belas

407 80 51
                                    

Johnny meregangkan tubuhnya ketika keluar dari kamar, hendak mencari angin setelah berkabar dengan Mikha walau hanya sebentar. Karna sesibuk apapun ia, Mikha tetaplah prioritasnya.

Hubungan mereka memang tidak banyak diketahui publik seperti yang lain, sesuai permintaan dan kemauan yang disetujui dua orang ini dengan alasan yang sama. Walau beberapa sudah ada yang tau seperti Arrayan dan bang Tama.

"Lo ngapain yan?" tanya bang John begitu melihat Arrayan duduk di kursi teras sendiri. Lelaki itu sedang menatap langit dengan ponsel di genggaman jari.

"Belum tidur lo bang?" Arrayan balik bertanya.

"Belum, baru selesai ngabarin Mikha. Lo sendiri kenapa belum tidur?"

Hening, lelaki itu tak menjawab lagi. Netranya kembali menengadah menatap langit dengan beberapa bintang.

"Kangen ya?" tanya bang John. Paham kalau banyak rasa yang sedang Arrayan pendam sekarang. "Gapapa yan, yang kaya gitu juga bagian dari proses melupakan." lanjutnya seraya duduk disamping putra bungsu keluarga Janitra.

Sama halnya dengan Wiranata, Arrayan juga sekarang anak satu-satunya dalam keluarga. Anak laki-laki yang memikul tanggung jawab besar. Anak laki-laki yang punya kendali atas dirinya sendiri.

Arrayan pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi anak bungsu dulu, disaat kakak perempuannya belum menikah. Sekarang, ia bukan lagi Arrayan yang bisa main-main dan bermanja dengan bebas karna sang kakak sudah memiliki dua anak perempuan.

Iya, Kay dan anak balita yang baru belajar merangkak waktu ia kirim fotonya pada Anaraya kemarin adalah anak dari kakak perempuannya, Arrayina.

"Bang gue mau nanya deh," ujarnya yang dibalas anggukan tanda mempersilahkan. "Pacaran sama teh Mikha nyaman ga?"

Bang John reflek menoleh, "Kita masih temen kan?" tanyanya. Ya iya tau Mikha memang cantik, tapi plis lah wanita di bumi itu banyak.

"Kejauhan mikir lo bang. Maksud gue gaya pacaran kalian nyaman?"

"Konteksnya yang mana dulu nih? Engga go publik atau saling berkabar seperlunya aja?" tanya bang John lagi. Tangannya beralih membuka toples di teras yang terdapat cookies coklat. "Lo lagi ada diposisi ini?"

Arrayan mengangguk, "Kayanya bakal."

"Yang ada dipikiran gue ga bener kan?"

"Anaraya maksud lo?"

"Iya, bukan kan?"

"Kalo jawabannya iya, lo bakal marah?" tanya Arrayan. Posisinya memang rumit jika terus dijadikan bahan pertimbangan hanya dengan alasan teman. Toh Wira juga tidak pernah menunjukkan bentuk usaha, ya wajar saja kalau tidak ada kata terima.

Bang John menggeleng dengan cepat, takut salah paham. "Ya engga lah gila. Itu urusan kalian, hak kalian, dan kalian tau mana yang baik dan buruk buat pertemanan." ujarnya. "Emang gimana dah ini ceritanya?"

Arrayan diam sebentar sebelum menceritakan, menarik nafas karna ia pikir ini hal yang aneh. "Ya lo tau mulai dari hari pas hp gue kebawa terus kumpul-kumpul menjelang makrab itu kita jadi lumayan deket. Gue udah pernah cerita kan tentang respon dia yang beda?"

"Ah iya iya, yang kalo sama lo jadi mau lebih banyak ngomong ya?" tanya bang John yang dibalas anggukan oleh lelaki itu.

"Nah yaudah kita jadi sering ketemu, tapi dia ga pernah mau kalo ada yang tau. Jadi sekalian jalan sekalian nganter Cozi sama Cizi ke groovy, seringnya kaya gitu. Akhirnya gue ngerasa kalo tadi waktu yang tepat aja buat bilang semuanya."

"Then?"

"Dia jawab satu bulan, udah kaya trial jurusan ya?" tanya Arrayan masih tidak percaya.

AplombTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang