Siang itu, Erwin pulang ke rumah, dengan muka kusut, Erwin yang awalnya hanya sebagai pencatat angka permainan Domino. Akhirnya Erwin tergiur juga untuk mengikuti permainan itu dengan taruhan. Harapan Erwin bisa bawa uang lebih ke rumah dengan lipat ganda dari upah gajian akhir bulan. Tapi sungguh menyesakkan dada. Awalnya sudah menang banyak, namun menjelang pagi, Erwin kalah total, semua gajinya bulan ini habis di meja judi.
Penyesalan itu selalu datangnya terlambat. Biasanya setiap gajian, dia menyerahkan separuhnya kepada istrinya untuk belanja bulanan, dan separunya dia pegang untuk keperluan yang tak terduga dan biaya sekolah anak.
Erwin tak tahu mau bilang apa,
"Tak mungkin aku jujur, mengatakan uang gajian habis dalam satu malam di meja judi," pikirnya.
Farida sengaja tak menanyakan apapun untuk menghindari pertengkaran dan kesalahpahaman. Farida menghidangkan makan siang untuk suaminya dan ditutup dengan segelas kopi hitam. Selama di meja makan, Farida dan Erwin saling menunggu dan berharap akan ada yang memulai pembicaraan. Namun keduanya ternyata saling berharap, akhirnya jadilah meja makan kaku seperti patung lapar.
Rania yang melihat kondisi itu, lalu bergabung di meja makan dan menyapa sepupunya itu.
"Bang, Asyik lah ya tadi malam, bermalam Minggu bersama teman-teman. Rania sudah lama sekali tak kumpul dengan teman-teman, apalagi di sini Rania tak punya banyak teman," ucap Rania membuka bicara
Farida memandangi Rania, seolah dia sangat tak suka dengan ungkapan Rania.
"Rania, kamu kalau mau kumpul dengan temanmu yang ada di kampung, tak masalah juga, kamu kan bisa pulang kampung agak seminggu atau sebulan," sindir Farida.
Erwin memandangi Farida yang bicara agak ketus, tetapi Erwin tak mengomentari, hanya raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat tidak suka dengan sindiran istrinya kepada sepupunya, seolah Farida sudah tak membutuhkan Rania lagi.
Rania pun terdiam, karena dia tak mau pulang kampung yang akan dijodohkan dengan seorang petani dan dia merasa tak cantik lagi kalau sampai menjadi petani.
"Maaf Kak, Rania tak bermaksud untuk pulang kampung kok, Rania sudah betah tinggal di sini.
Erwin tiba-tiba mengalihkan pembicaraan,
"Azel dimana? Biasanya dia selalu ada di rumah," tanya Erwin yang berusaha kuat dari dunia sindiran.
Akhirnya suara emas Farida keluar juga yang sejak tadi tertahan buat suaminya,
Azel tidur di kamar, tadi dia bersenandung untuk tidurkan Dafin. Suara Azel mampu membuat Dafin tertunduk dan tertidur lelap," jawab Farida.
"Oh ya, terserah dia lah, aku sudah sering ingatkan dia agar mengurangi pekerjaan perempuan, agar kelak dia tumbuh normal dan tak menimbulkan masalah," ucap Erwin sedikit nada merendah seperti pasrah.
Mendengar sindiran tertuju lagu kepada Azel, Farida merasa tidak senang, karena Azel sudah sangat membantu untuk mengurus Dafin.
"Sudahlah, Bang, kasihan Azel dibicarakan gitu, apalagi oleh ayahnya sendiri. Pikirkan perasan Azel. Dia anak baik dan penurut dan tak banyak tingkah, dia sudah sangat membantu kita mengurus Dafin. Jadi Abang jangan selalu memandang di satu sisi saja, lihat juga sisi yang lain," jawab Farida membela.
"Terserah, aku katakan terserah, kita lihat saja nanti bagaimana akhir dari sebuah drama ini," balas Erwin.
Kembali lagi,. Suasana hening di Meja makan pecah menjadi ajang pertengkaran ringan yang saling umpat dan saling sindir.
Mendengar perdebatan itu, Azel yang tidur di dekat Dafin terbangun dan menyimak pertengkaran orang tuanya berujung pembahasan dirinya.
"Ya Allah, bantulah aku ya Allah, apakah kelakuanku memang sangat salah. Aku membantu jaga adik itu salah? Aku merapikan rumah itu salah? Ataukah aku harus keluyuran setiap hari biar aku kelihatan seperti jantan benaran?" renung Azel .
Dia bangkit dan keluar kamar,
"Ayah, benarkah ayah menginginkan aku untuk keluyuran dan bergaul dengan berandalan di luar sana supaya aku terlihat seperti lebih jantan?" tanya Azel
Erwin kaget dengan pernyataan Azel, dia tak menyangka bahwa Azel akan bisa bicara begitu.
Erwin tak menjawab, dan dia langsung masuk kamar.
Sementara Azel meninggalkan rumah siang itu entah kemana. Apakah dia pergi bergabung dengan adiknya Beryl ataukah dia pergi ke tempat lain.
Dafin yang terbangun dari tidurnya menangis dan rewel, Dafin yang berusia tiga tahun itu menanyakan abangnya yang biasanya setiap dia bangun, abangnya selalu membantunya.
Farida tak bisa jawab banyak, dia hanya mengatakan,
"Abangmu pergi keluar sebentar,
"Ayo tidur lagi, atau main dengan ibu," bujuk Farida.
"Tak mau, aku mau Abang," rengek Dafin.
Sampai sore pun Azel belum juga pulang. Sepertinya Azel nekat kabur dari rumah karena selalu disindir terus oleh ayahnya.
Azel terus berjalan sejauh dia bisa. Dia menelusuri anak sungai, tempat biasa Beryl singgah sepulang sekolah. Namun kali ini tempat itu sepi dan tak ada anak-anak yang memancing ikan.
Azel duduk dipinggir anak sungai itu sambil melemparkan batu-batu kecil yang ada ke sungai. Tanpa dia sadari hari mulai gelap. Tetapi Azel masih malas pulang ke rumah. Dia teringat rumah temannya yang tak jauh dari situ. Dia memutuskan untuk singgah di rumah Ridho, teman sekelasnya.
Azel bergegas ke rumah Ridho, dan mengetuk pintu,
Ridho, Ridho, kamu ada di rumah?" panggil Azel.
Ridho yang mendengar dari kejauhan seperti ada suara yang memanggil dirinya. Ridho berlari ke ruang depan dan membukakan pintu,
Eh, Azel temanku, ayo masuk," tawar Ridho.
Mereka berbincang beberapa saat. Ridho kaget mendengar cerita Azel.
"Kok tega ayahmu menyakiti hatimu segitunya, kamu adalah darah dagingnya. Ya sudah nginap saja di sini. Di rumah tak ada orang, papa dan mamaku pergi, ke luar kota, paling besok lusa baru pulang. Aku di rumah dengan bibi aja nih. Yuk langsung ke kamar saja istirahat. Mandi dulu lah kamu pasti gerah kan?" ucap Ridho.
Azel langsung masuk ke kamar Ridho dan berusaha untuk beristirahat, walau dia belum pernah kabur dari rumah, apalagi dia baru berusia 10 tahun.
Azel tidak bisa memicingkan matanya, walau dia merasa lelah. Dia selalu teringat kepada adiknya Dafin. Ingin rasanya dia pulang malam itu, tetapi hatinya terlalu terluka. Terjadi perang batin dalam hatinya, antara untuk pulang menemani Dafin tidur, atau mempertahankan egonya, karena dia merasa tidak dibutuhkan oleh ayahnya.
"Hii, melamun aja, nih. Kayanya mau tidur, kok malah melamun. Santai saja dulu di sini, kalau mereka mencintaimu, mereka pasti khawatir dan mencarimu, kalau tidak ya, nyantai aja di sini. Aku akan membantumu," kata Ridho yang sudah merasa besar itu. Ridho yang selalu dekat dengan teknologi online, pikirannya lebih dewasa melebihi usianya.
Ridho mengajak Azel bermain game. Di kamar Ridho ada laptop, TV dan handphone.
Dengan pengaruh Ridho, Azel pun ikutan main game online sampai larut malam tanpa kontrol orang dewasa.
Mereka tertidur setelah lewat pukul 02.15 WIB. Padahal pagi ini mereka harus pergi sekolah ataukah mereka akan membolos Senin ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T CALL ME AUTISM
Science FictionSeorang anak yang mengalami cedera waktu kecil, dan mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibu asuh dan mengakibatkan semakin terganggu psikisnya sampai akhirnya semua menjadi terungkap.