Episode ke 10 Satu Pilihan

2 0 0
                                    

Setelah tiga hari dalam pengawasan tim dokter di rumah sakit, Dafin sudah diizinkan pulang. Farida membawa Dafin pulang, Erwin mulai mencoba untuk berinisiatif mengurus administrasi untuk kepulangan Dafin.
Alhamdulillah, mereka kembali ke rumah setelah satu pekan berpindah tinggal di rumah sakit.
Azel dan Beryl yang sudah satu pekan pula tak masuk sekolah, berencana untuk kembali belajar dan berkumpul bersama teman-temanya.
Farida yang sudah memutuskan untuk berhenti bekerja mengungkap suaminya,
"Bang, adik sudah menentukan pilihan sulit. Adik memutuskan berhenti bekerja dan fokus untuk mengurus anak-anak. Pengeluaran kita perhari, per Minggu dan bulanan, semuanya bertumpuh dengan gaji Abang. Moga ini ke depan moga kita lebih bisa berhemat," tutur Farida.
"Tak mungkin bisa Dik, gaji Abang tak seberapa, kita akan sangat kekurangan," tanggap Erwin mulai bertingkah.
"Insyaallah bisa, asalkan Abang mau berubah, tidak lagi ngumpul di kedai kopi, dan tidak ikut taruhan bersama teman yang lama," pinta Farida.
"Oh begitu, jadi sekarang kamu mau mengatur hidupku, tak boleh itu tak boleh ini, dan harus nurut saja apa kata kamu?" tanya Erwin emosi.
"Ya kalau Abang tak mau berubah, mana ada uang bisa ada untuk keluarga. Selama ini, aku kerja, dan hampir seluruh kebutuhan keluarga aku yang tanggung, akibatnya anak tak terperhatikan," balas Farida.
Erwin diam, namun dia sepertinya belum bisa terima kalau dia dikekang. Dia tetap ingin bisa berkumpul setiap malam dengan temanya di kedai kopi.
"Bang, Adik mohon mulai saat ini penuhilah kewajiban Abang sebagai kepala keluarga, biar adik yang ngurus urusan di rumah," pinta Farida sekali lagi.
"Sudah tak zaman lagi wanita hanya di rumah, semua wanita saat ini bekerja," jawab Erwin.
"Jadi kalau wanita bekerja buat apa wanita punya suami,"  ucap Farida lantang.
Azel yang mendengar pertengkaran itu berkata,
"Bu, biarlah Azel bekerja, atau Azel yang jaga adik. Kalau ayah begini terus Ibu harus kerja dan biarlah Azel berhenti sekolah," ucap Azel.
"Tidak bisa begitu Azel," kamu harus sekolah, supaya tak bernasib seperti Ibu," tegas Farida.
"Bisakah Abang membiarkan anak tidak sekolah? Pokoknya Farida tidak mau lagi Abang mengeluarkan uang untuk yang tidak penting. Dahulukan kepentingan keluarga," ucap Farida sambil meninggalkan suaminya di ruang duduk.
Farida ingin melihat di beberapa bulan pertama sikap suaminya sebelum dia memutuskan hal-hal berikutnya.
Erwin masih saja memikirkan hobinya untuk main domino dan ngopi bareng teman.
Ternyata kejadian yang menimpa Dafin belum juga membuat Erwin benar-benar sadar.
Farida sudah tak tahu harus bilang apa.
Sempat terpikir oleh Farida untuk pulang kampung saja da jauh dari kebisingan kota yang tidak lagi mau bersahabat dengan dirinya.
Dafin sudah mulai sembuh, tetapi ada sesuatu yang berbeda pada diri Dafin. Pandangan,tatap matanya sudah tidak lagi berbinar seperti dulu. Dafin juga menjadi pendiam dari biasanya, walau Farida belum bisa menyimpulkan kondisi tentang Dafin sesungguhnya.
Azel yang mencoba untuk mengajak adiknya bermain dan bercanda seperti dulu, juga tak direspon oleh Dafin. Seolah-olah
Dafin yang sekarang bukanlah Dafin yang dulu.
"Beryl, coba kamu sapa Dafin, tidak ceria dan tak peduli yang kita sampaikan," panggil Azil.
Beryl pun mencoba menyapa dan mencandai adiknya. Ternyata Dafin tak merespon Beryl. Sejak itulah mereka menyadari bahwa ada perubahan pada diri Dafin.
Azel dan Beryl yang berkesimpulan bahwa ada perubahan pada diri Dafin. Ibunya membenarkan dan akan mengkonsultasikan dengan dokter yang menangani operasi Dafin.
Sementara Erwin tak mau pusing memikirkan masalah Dafin. Baginya semua yang terjadi cukuplah menjadi urusan Allah.
Setelah beberapa bulan, Dafin semakin kurang merespon apa yang disampaikan. Farida mulai khawatir dan membawa Dafin ke dokter.
Dokter kembali memeriksa dan mediaknosa, ternyata ada kelainan bagian kepala yang menyebabkan terganggunya sel syaraf  Dafin sehingga dia sulit memberikan respon terhadap sesuatu.
"Jadi bagaimana anak kami Dok,"  tanya Farida.
"Ini sulit kami jelaskan, kalau ibu mau, bisa diperiksakan ke Singapura yang mempunyai peralatan yang lebih lengkap dan tenaga ahli yang lebih handal," jelas dokter itu mencoba memberikan gambaran. Mendengan ucapan dokter tersebut, Farida menjadi terhenyak dan tak bisa untuk berkata-kata.
Tak pernah akan terpikir oleh Farida akan serumit ini.
Dia pun  pulang membawa anaknya tanpa solusi apa pun.
Saat ini, Farida yang rapuh itu hanya bisa memandangi putranya penuh kasih.
"Anakku, apakah ini ujian? Bagaimana kami akan menjalani ini semua? Bagaimana dia akan bergaul? Bagaimana dia akan bersekolah? Seperti apa nasibnya kelak? Hanya Engkau yang tahu wahai Allah," begitu Farida mengerang menahan pedih.
Saat ini yang bisa dilakukan oleh Farida hanya bagaimana untuk membuat Dafin bisa tersenyum lagi. Semua hal yang lucu , imut dan manis karena senyuman, Seolah kini, tak akan ditampilkan lagi. Semua berubah dalam waktu singkat.
Kini Dafin adalah yang murung, kaku dan malu. Keberanian dan kebersamaan yang dulu dibanggakan, kini seolah tak akan muncul lagi. Dan berganti dengan pekikan histeris. Ketika dia menginginkan sesuatu, akan tetap permintaanya yang kurang jelas, membuat dia emosi. Akibatnya semua yang ada di sekelilingnya terbang melayang entah kemana.
Farida dengan sabar berusaha memeluk Dafin. Tidak ada yang mampu menjinakkan Dafin ketika dia emosi karena tak dapat yang dia mau.
Suatu sore, Erwin baru pulang,
Dafin mengangkat tangannya seperti minta digendong ayahnya.
Menggendong anak? Bukan Erwin banget. Dia cuekin anaknya dan terus masuk ke kamar. Dada Dafin langsung sesak, matanya melotot penuh kebencian. Dia ambil sepatu kerja ayahnya, lalu dia lempar ke muka ayahnya yang mencoba rebahkan badannya. Betapa kaget Erwin, dia marah langsung berdiri.
"Kau anak setan entah dari mana," bentaknya sambil membalas perbuatan Dafin.
Erwin seperti orang gila memukulkan sepatu itu berkali-kali ke muka dan punggung Dafin.
"Hai, lelaki kurang ajar kau, berani menganiaya adikku, awas akan ku laporkan kau ke polisi," bentak Azel yang belum pernah semarah itu.
Azel yang seperti anak lemah gemulai itu, tiba-tiba kuat dan seperti singa.
"Kau berani dengan ayahmu? Anak durhaka," ucapnya sambil menampar Azel.
"Tampar lagi, terus tampar, mengapa berhenti? Cuma itu yang bisa dilakukan oleh ayah pecundang. Tak ada kata durha buat seorang ayah bejat," ucap Azel menantang.
Farida malu ditonton tetangga seperti sebuah sebuah pertujukan. Dia tanpa bicara, meninggalkan rumah dengan menggendong Dafin  entah pergi kemana.
Azel juga keluar mengikuti langkah ibunya.
Beryl tidak melihat drama tersebut. Karena dari tadi siang dia pergi bersama temannya.
Erwin yang tebakar emosi itu tinggal sendiri di dalam rumah. Tetangga yang melihat pertunjukan itu pun bubar karena permainan sudah usai.
Erwin berdiri di depan cermin, dia memperhatikan dirinya yang sudah tidak muda lagi. Raut muka yang tidak bisa Agi dibilang tampan itu, dia amati secara dalam. Kemudian dia berbalik badan dan muka masih ke arah cermin.
"Sudah tak lurus lagi tulang punggungku. Penampilanku ini boros. Aku belum terlalu tua," ucapnya sendiri di depan kaca.
Dia merasa tak beruntung seperti yan sekolahnya dulu yang mempunyai keluarga bahagia dan hidup mapan.

Quotes

"Jangan pernah mengukur kebahagiaan dari bentuk luar saja. Kamu lah yang akan menciptakan kebahagiaan itu"

DON'T CALL ME AUTISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang