Kini, Dafin sudah berada di kelas 6, walau kemampuan akademiknya masih setara dengan anak kelas 3.
Dia sudah bisa berhitung 1-25. Sudah mampu juga menulis kata- kata pendek walau tulisannya besar semua. Badannya yang terus tumbuh pesat, kulitnya yang putih bersih, rambutnya yang ikal,bola matanya yang bulat, walau kalau melihat kearah lawan bicara selalu menunduk dan sesekali matanya yang melirik ke atas.
Entah mengapa dia yang sibuk dengan diri sendiri, asal tidak ada yang mengganggu, dia masih aman dan terkendali. Namun, yang namanya belajar klasikal, ada-ada saja ulah anak lainnya yang akan menjadi ujian sosial Badi Dafin dan perkembangannya ke depan.
Walau sebagian orang ada yang menyarankan untuk belajar di SLB. Namun bagi Andri dan Naira, belajar di SLB akan menambah miskin perilaku sosialnya, karena tak ada rule yang akan menjadi contoh lebih baik. Apalagi pemerintah sudah memberikan peluang bagi anak autis untuk sekolah membaur di sekolah biasa dengan istilah sekolah inklusi.
Di sekolah Nurul Falah yang audah mendapat SK dinas pendidikan,sebagai sekolah inklusi. Ini artinya sekolah Nurul Falah bisa menerima anak autis untuk belajar di sekolah tersebut dengan bandingan 1:15.
"Pasha, coba Ibu lihat tulisanmu," kata Bu Rita wali kelas 6B.
"Pasha, lihatkan tulisannya ke Bu Rita," pinta guru khususnya.
"Ini Bu," Dafin memperlihatkan tulisannya.
"Alhamdulillah, Pasha hebat, insyaallah kamu sukses Nak," tanggap Bu Rita sambil memberikan tugas penjumlahan sederhana yang akan dibimbing langsung oleh guru pendampingnya.
Kemudian Bu Rita melanjutkan pembelajaran secara klasikal.
Dafin mengerjakan tugas yang diberikan Bu Rita, dengan bimbingan guru pendamping, tampak Dafin sedang mencoba minta bantuan jarinya untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Saat ini belajar di kelas akhir tidak terlalu seram. Pemerintah telah mengubah kebijakan, tidak ada lagi ujian nasional. Yang ada hanya ujian sekolah. Dan kelulusan juga ditentukan oleh sekolah. Jadi sudah hampir tidak ditemukan istilah tinggal kelas atau tidak lulus. Belajar, sudah bergeser paradigma. Dulu belajar hanya mengejar kognitif belaka tanpa memperhatikan keterampilan dan sosial. Padahal, kebanyakan orang sukses bukan karena bagusnya kognitif melainkan karena bagusnya keterampilan dan sosial.
Inilah tugas besar yang dipikul guru pendamping Dafin agar Dafin bisa tumbuh dan berkembang secara keterampilan, sosial dan juga kognitif secara bertahap.
Keberhasilan Dafin selama ini di bidang kerajinan tangan, itu sudah melebihi anak-anak lain yang masih sekedar belajar, datang dan pulang tanpa menunjukkan keahlian apa pun.
Kini Dafin yang sudah berada di kelas 6 sudah mulai jarang mengikuti lomba, karena perlombaan itu rata-rata ajang kelas 4 dan 5.
Ketika ditanya kepada Dafin oleh papanya,
"Pasha, siapa nama teman akrabmu di sekolah?"
Dafin sulit untuk menyebutkan walau pun hanya satu nama. Walau Dafin sudah lebih lima tahun berada di sekolah tersebut, namun belum ada satu pun yang menjadi teman akrabnya.
"Baiklah, Pasha, papa berharap selama di kelas 6 ini Pasha memiliki beberapa teman baik, nanti kalau ketemu, Pasha boleh ajak main ke rumah, boleh juga nginap di rumah asal dia sudah mendapatkan izin dari orang tua mereka," ucap Andri yang mulai ingin agar anaknya bisa berbaur, bertanya, bercerita, tertawa dan bercanda dengan anaknya.
Dafin masih saya sibuk dengan benda- benda. Baik berupa permainan bongkar pasang atau pekerjaan tempel produk.
Seolah dia tidak peduli apakah dia punya teman atau tidak.
Andri yang mulai memikirkan tentang sosial anaknya, terus berupa untuk berkonsultasi dengan pihak yang kompeten.
Adrian akhirnya mendapat rujukan untuk terapi sikap sosial, Adrian ingin putranya bisa beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Adrian sudah mendapatkan tempat terapi buat putranya. Setiap hari Sabtu sore, dia mengantar putranya untuk melakukan terapi. Walau melakukan terapi tidak seperti membalik telapak tangan, karena butuh waktu dan kesabaran, namun Adrian dengan sepenuh hati, dengan harapan secara perlahan dan pasti putranya bisa lebih baik dan semakin mandiri.
"Pak, bawa dia terus ke tempat keramaian, suruh dia menanyakan sesuatu, dan kirim orang untuk menanyakan sesuatu. Ajak dan undang tenan kelasnya, adakan acara di rumah dan acara di rumah teman kelasnya juga. Semakin sering membawa dia ke berbagai tempat berbeda dengan dialog singkat, nanti akan terbiasa untuk bertanya dan menjawab. Akhirnya kelak akan menjadi habit yang melekat dalam dirinya," jelas psikiater yang menanganinya.
"Baik Pak Terima kasih.
"Pasha, lihat bapak ya,"
Adrian mengangkat kepala Pasha, lihat bapak itu mau bicara ya Nak...
Pasha mengangkat kepalanya dan melihat mata bapak itu.
Psikiater itu mengangguk, lalu tersenyum begitu lama, kemudian menyapa,
"Pasha...
Dia menatap mata Paha sambil tersenyum.
"Ya Pak..."
Pasha menjawab dan mulai menatap bapak itu dan sedikit tersenyum.
"Kita teman ya..."
Pasha mengangguk.
Terapi dialogis itu dilakukan dengan rutin, selain itu Adrian juga mengikuti saran psikiater itu untuk menambah intens pertemuan dialogis dengan berbagai pihak.
Adrian juga membawa anaknya ke kantor dan mengajak dialog dengan karyawan kantor.
Naira juga melakukan hal yang sama. Mereka ingin agar kemajuan Pasha di bidang keterampilan diimbangi dengan kemajuan di bidang sosial.
Adrian juga menerima saran dari temannya untuk mengikuti audisi menyanyi dan berpidato dengan mendatangkan pelatih handal, berbakat dan mengerti dunia anak autis.
Kini Pasha sangat sibuk berlatih bernyanyi dan pidato.
"Dek, siapa sangka, Pasha punya bakat bernyanyi apalagi berpidato. Ternyata semua itu bisa dilatih. Tidak ada yang tidak mungkin," ucap Adrian kepada istrinya.
"Benar Bang, kok tak dari awal kita lakukan, coba aja sejak pertama kita lakukan," jawab Naira.
"Mana juga kita tahu, untung aja ada teman yang menyarankan, sehingga kita bisa melakukannya," balas Adrian.
"Iya juga, ini pertolongan Allah, yang memberikan jalan terbaik buat anak kita.
Pasangan bahagia itu sibuk memperbincangkan perjuangan dan usahanya untuk Dafin.
Sementara nun jauh di sana, Farida masih punya keyakinan, bahwa Dafin akan kembali. Hati kecilnya mengatakan bahwa Dafin masih hidup.
Edwin yang hanya di atas kursi roda, dan hanya Menunggu belas kasihan istrinya untuk membantunya, selalu bermenung,
"Istriku yang dulu ku sia-siakan, aku selalu kasar kepadamu, kini aku betul-betul bergantung kepadanya," ucapnya penuh penyesalan.
Azel yang sudah beberapa hari menginap di rumah Ridho, tiba-tiba pulang, sementara di rumah hanya ayahnya,
"Ayah? Kok sendiri, mana yang lain," tanyanya.
Azel lupa bahwa Beryl masih di sekolah dan ibunya belum pulang.
Dia membantu untuk menyiapkan makan dan minum untuk ayahnya,
"Makanlah ayah, mungkin ayah sudah lapar, dan tak perlu menunggu Ibu," ucap Azel sambil menyuapi ayahnya.
Hati Erwin semakin sedih. Teringat olehnya bagaimana dia memarahi putranya yang selalu dia hina dan rendahkan. Melihat Azel yang duduk dihadapan dirinya dan menyuapinya, tiba-tiba dia seperti melihat Azel yang sedang menyuapi Dafin.
"Dafin, kau dimana Nak, ayah rindu dan ayah ingin minta maaf atas kesalahan ayah," ucapnya.
"Ayah? Bicara apa ? Kok Dafin ? Emangnya Dafin sudah ketemu?"tanya Azel
"Bukan itu. Melihat kamu yang menegang sendok menyuapi ayah, terbayang oleh ayah, kamu dan Dafin yang selalu main bersama saat ayah baru pulang kerja, tapi itu dulu," ucapnya keluh.
Watu terus berlalu, kini dengan kemajuan Dafin dalam bidang sosial, Dafin pun sudah memulai mengikut audisi, dan dia berbakat. Wajahnya sudah mulai mengisi layar kaca.Quotes:
"Jangan takut untuk mencoba hal-hal yang baik. Takdir tidak akan berpaling dari usaha"
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T CALL ME AUTISM
Science FictionSeorang anak yang mengalami cedera waktu kecil, dan mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibu asuh dan mengakibatkan semakin terganggu psikisnya sampai akhirnya semua menjadi terungkap.