Episode 20 Pasha di Buly

0 0 0
                                    

Segala usaha yang dilakukan Farida untuk menemukan Dafin belum juga membuahkan hasil. Kini sudah merupakan tahun ajaran baru bagi anak-anak masuk sekolah.
Keinginan Farida untuk mendaftarkan Dafin ke sekolah dasar, hanya sebatas rencana.
Nyatanya, kini Dafin  yang mau diantarkan ke sekolah dasar untuk menyambung  bakat yang sudah diukir di TK, kini hanya sebatas angan.
Setiap Azel dan Beryl  akan bersiap ke sekolah, Farida kembali termenung dan berurai air mata sambil memegang medali dan hasil karya Dafin yang terpajang di ruangan.
"Ibu, Azel berangkat sekolah dulu ya, Ibu jaga kesehatan ya. Tak baik melamun terus, doakan  Azel ya Bu," ucap Azel pamit yang sudah di jemput Ridho.
Farida hanya mengangguk, tak ada yang keluar dari mulutnya sepatah kata pun. Yang ada dalam pikirannya hanya Dafin.
Erwin yang berangkat lebih awal kerja, jari ini juga tak bawa bekal, Farida tidak ada masak, tak ada juga sarapan buat Azel dan Beryl.
"Bu Beryl berangkat juga ya Bu," ucap Beryl yang muncul dari kamar sambil menyalami ibunya.
Farida masih termangu. Pandangannya kosong, dia terlalu hampa. Seolah-olah yang menjadi harta berharganya hanya Dafin.
Teringat olehnya Dafin yang dilarikan ke rumah sakit, dioperasi, pekik Dafin, amukan Dafin dan gigitan Dafin seolah yang dia rindukan.
Entah sampai kapan Farida akan keluar dari situasi seperti ini.

Azel yang duduk di belakang ridho masih memikirkan ibunya, terlintas dipandangnya, betapa hampa dan hancurnya hati ibunya.
"Ibu tak mampu untuk merelakan Dafin yang saat ini entah di mana," Lamun Azel.
Tiba-tiba dia terkejut ketika Rido berhenti mendadak karena ada kucing yang melintas dan hampir saja ridho menggilasnya.
"Ridho, ada apa ini," sambil dia memegang erat pinggang Ridho karena hampir saja terjatuh.
"Ada kucing yang melintas ini. Kamu dari tadi diam saja, kalau melamun ya," tanya Ridho sambil melajukan kendaraannya.
Azel pun menceritakan kondisi ibunya saat ini sejak kepergian adiknya Dafin. Ridho terus melaju kencang, membuat Azel harus memegang Ridho lebih erat lagi.
"Azel, nanti pulang sekolah, kita ke rumahku dulu ya? Lalu kita pergi nonton. Kamu pakai baju aku aja. Mau ya?" pinta Ridho.
"Ee, kita ada tugas loh yang harus dikumpulkan segera," balas Azel.
"Ya udah, nanti kita kerjakan tugas di warnet aja, kita print dan jilid sekalian biar aku aja nanti bayar ya," tanggap Ridho.
"Asyik, dibayarin, he he," kata Azel senang.
Bagi Ridho, uang tidak menjadi masalah. Semua terpenuhi dengan baik, yang dia butuhkan ada teman untuk berbagi cerita, tak mungkin juga dia berbagi cerita dengan bibi, apa lagi saat ini dia sudah usia remaja.
Ridho udah merasa cocok dengan Azel sejak mulai SD, hingga sekarang pertemanan mereka semakin kental dan kokoh.
Sesampai di kelas, Azel yang duduk di depan, pada jam pelajaran bahasa Indonesia, Bu Yana menyuruh siswa untuk bisa bercerita di depan kelas tentang sebuah cerita atau pengalaman.
"Kamu Azel, maju ke depan," ucap Bu Yana tiba-tiba.
Azel yang tak bisa lagi untuk mengelak, maju ke depan,
"Guruku dan temanku,
Aku punya keluarga, ayah, ibu dan dua orang adikku.
Kata ayahku, kami aneh. Aku menyukai pekerjaan memasak padahal aku laki-laki. Adiku sangat suka memancing dan bermain bola padahal dia perempuan. Sementara aku punya adik kecil laki-laki. Waktu bayi seperti kelihatan normal. Tapi karena benturan hebat di kepalanya, terpaksa di operasi.
Sejak itu dia tumbuh besar menjadi anak yang punya keterbelakangan mental. Sedih yang berlebihan, marah yang berlebihan, memecahkan barang bahkan menggigit bila ada yang tak sesuai keinginan dia.
Walau dia seperti itu, tetapi dia adalah anak  anak kesayangan ibu.
Namun, kini dia  entah di mana. Hampir 3 bulan ini menghilang tanpa jejak. Dia keluar rumah, entah diculik atau entah apa. Semuanya gelap, melalui pertemuan ini aku berharap, apa pun ciptaan Allah harus tetap dihargai, disayang dan dihormati. Dan aku berharap, semua yang mendengar, dapat mendoakan, di mana pun dia berada, tetap sehat dan bahagia, terima kasih," Azel tampil memukau.
"Anak Ibu sekalian, Azel telah menceritakan sesuatu hal yang bisa kita fahami bersama. Itu adalah cerita atau pengalaman yang bisa juga menjadi informasi. Ibu bangga dengan Azel. Tetap Semangat dan semua doa dan harapan Azel bisa kita jalankan bersama ya," jelas Bu Yana.
Mereka pun mengirim doa kepada Adik Azel secara bersama.
"Ada lagi yang mau bercerita? Ini adalah nilai praktek publik Speaking. Azel nilainya sudah sempurna," jelas Bu Yana.
Semua siswa akhirnya mendapat giliran  untuk maju ke depan kelas menceritakan pengalaman. Baik pengalaman sendiri atau pun pengalaman orang lain.
"Anak ibu semua, terima kasih kalian sudah memberanikan diri untuk berbagi cerita. Kebanyakan tadi ibu perhatian banyak pengalaman pribadi yang dimodifikasi. Ibu sangat berharap, semua yang tadi kalian ceritakan, ada tugas baru, tuliskan atau ketik di ms.word ukuran kertas A4, jenis huruf Time New Roman dengan ukuran huruf 12 kalau save dan kirimkan filenya kepada Ibu melalui wa web,"  begitu penyampaian Bu Yana.
Farida yang hanya seorang diri semakin merasa kesepian. Sudah beberapa bulan ini, dia tak buka loundry.
Keprihatinan  warga yang simpatik pada dirinya menyarankan agar Farida kembali membuka loundry. Semua orang pernah kehilangan dan ujian itu berbeda-beda. Farida harus bangkit, dan mengikhlaskan semua ujian yang datang dari Allah agar iman kita tidak menjadi pupus.
Ucapan Bu Hamidah yang sengaja datang mensupport Farida sangat benar. Farida pun mulai bangkit dan bergerak. Dia mulai menata diri lagi dan ingin keluar dari rundung duka yang menyelimuti  dirinya.
Sementara Dafin yang berada di Banda Aceh, sudah aktif bersekolah. Dia duduk di kelas 1 SD Al-Falah, sebuah sekolah Islam yang terkenal bergensi di tanah rencong itu.
Selama belajar, Dafin yang dikenal dengan nama Pasha itu masih sulit menyesuaikan diri. Apalagi perbendaharaan katanya yang sangat sedikit, belum lagi teman barunya yang mengejeknya anak Autis.
"Kamu anak Autis, kok sekolah di sini, bukankah lebih baik kamu sekolah di SLB, lebih cocok," ucap Abang kelas yang membuly dirinya.
Pasha merasa dirinya ditekan, walau tak banyak menjawab, tetapi dia tunjukkan dengan cara menyerang orang lain. Walaupun  Abang kelas itu lebih besar dan lebih kuat dari dirinya.
Mukanya lebam akibat perkelahian itu, dan ketika dibawa ke kantor,
"Pasha, apa yang terjadi?" Tanya kepala sekolah.
"Dia bilang Autis," jawabnya singkat.
"Lucky, benar begitu?" tanya Pak Kepala.
"Ya Pak, tapi yang aku katakan babarkan Pak? Aku pernah lihat di TV bahwa anak autis harus dimasukkan ke sekolah khusus.
Apa yang bisa dia dapatkan di sini?" Jelas Lucky.
"Kamu sudah kelas 4, mengapa kamu mengganggu anak kelas 1. Dia kan tidak menggangu dirimu," tegur Pak kepala
"Tapi Pak, tadi di kamar mandi, dia main air, dan mengenai celanaku," Lucky terus saja menjawab.
"Gini saja, urusan di mana Pasha harus bersekolah, itu bukan urusanmu, lagi pula pemerintah sudah memberikan program inklusi. Anak tertentu bisa berada di kelas beberapa orang, itu akan membantu. Jika Lucky memang belum paham, biar nanti bapakmu saja yang ke sekolah. Dan Pasha juga akan bapak sampaikan ke orangtuanya agar dia lebih baik lagi," terang Pak kepala dan mempersilakan Lucky ke luar.
'Pasha, anak hebat, dengarkan bapak ya, jangan pernah dengarkan dan hiraukan ucapan orang lain yang ingin kita tak berhasil. Pasha harus semangat lagi dan tunjukkan bahwa Pasha punya kelebihan yang akan menutupi kekurangan Pasha. Tetap tenang, sabar dan semangat, ya sudah... semangat ya..." terang Pak Johan selaku kepala sekolah.

Quotes

" Jangan pernah merendahkan orang lain karena bentuk fisiknya, boleh jadi dia akan lebih sukses dari orang yang merendahkan dirinya "

DON'T CALL ME AUTISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang