Episode 12 Solusi di Tengah Kepanikan

1 0 0
                                    

Malam itu Erwin tak pulang ke rumah. Farida berusaha untuk menghubungi nomor kontaknya, namun tak aktif.
Farida mulai berfikir untuk harus kerja lagi.
"Kalau begini, anakku akan makan apa? Sepertinya aku harus kerja lagi. Tapi bagaimana dengan Dafin," Farida harus berfikir keras lagi.
Farida pun bermusyawarah dengan anak-anaknya.
"Azel, Beryl, ayo sini duduk dekat Ibu," pinta  Farida.
Dafin sudah tertidur pulas. Mungkin karena kecapean sudah berendam seharian.
Azel dan Beryl yang sedang nonton TV langsung menjumpai ibunya.
"Ya Bu, ada apa ya Bu, sepertinya penting amat," tanya Azel.
Beryl pun ikut kepo mendekati ibunya.
"Gini ya Nak. Saat ini ibu tak bekerja demi mengurus Dafin. Namun setelah dijalani, ibu harus bekerja untuk kebutuhan kita. Kebetulan saat ini anak ibu sekolah pagi harinya dan siangnya bisa menjaga Dafin. Rencananya kalau kalian setuju, ibu akan mencari kerja mulai siang sampai malam.
Kira-kira sanggupkah kalian untuk menjaga Dafin. Dafin yang sekarang bukanlah Dafin yang dulu, kita harus banyak mengerti dan mengalah, supaya dia tetap tenang.
Azel tak menjawab, dia ingat, biasanya pulang sekolah main dulu ke rumah Ridho. Apalagi Beryl yang kalau siang sampai menjelang magrib seolah sudah punya rutinitas sendiri.
Melihat anaknya yang saling pandang dan tak memberikan jawaban, Farida cukup paham bahwa anaknya memang agak keberatan. Lagi pula mengurus Dafin saat ini memang bukan urusan gampang. Ini adalah pekerjaan orang dewasa  yang tak mungkin juga dikerjakan oleh anak.
Farida berfikir lagi untuk memikirkan plan B.
"Baiklah anak Ibu, memang kalian masih terlalu kecil untuk menjaga Dafin yang sekarang dan resikonya juga besar kalau dia lagi sindrom," ucap Farida menanggapi arti diamnya anaknya.
"Ya Bu, maafkan kami," jawab Azel.
Farida tersenyum yang dipaksakan kepada anaknya. Sebenarnya, dia belum mendapatkan solusi dari apa yang dia pikirkan.
"Sekarang kalian tidur ya, besok kan sekolah," pinta  Farida.
"Baik Bu," jawab Azel.
Beryl pun pamit kepada ibunya untuk megera mengikuti saran ibunya.
Di kamar, Azel mengajak adiknya untuk berbincang sebelum tidur.
"Beryl, kasihan ya Ibu. Dia harus memikirkan Dafin, dan harus memikirkan pekerjaan juga," ucap Azel.
"Ya Bang, tapi kita mesti berbuat apa. Kita 'kan anak kecil," tanggap Beryl.
Azel mencoba untuk memikirkan "Bagaimana supaya ibu bisa kerja sambil menjaga Dafin ya," pikir Azel.
Dia teringat, ibunya bisa mencuci, menyetrika dan jago masak.
"Mungin ibu bisa bekerja dari rumah ya. Buka loundry dan mengantarkan kue-kue ke warung. Aku mau beri tahu ibu sekarang, moga ibu belum tidur.
Dia melihat Beryl sudah bergayut di pohon mimpinya. Azel membuka pintu kamar dengan pelan, dan menuju kamar ibunya.
"Ibu, Ibu, permisi, apakah ibu sudah tidur?" Panggil Azel.
Farida membuka pintu,
"Azel? Kamu belum tidur? Ada apa?" tanya Farida.
"Maaf Bu, Azel teringat yang ibu sampaikan tadi, seandainya ibu buka loundry dan buat kue untuk diantar ke kedai.
Azel mau kok antar kue pagi-pagi ke kedai," usul Azel.
"Luar biasa, usul yang bagus. Kok ibu tak terpikirkan selama ini, bisa kita coba Insya Allah," tanggap Farida.
Farida sedikit lega mendengar usul  dari Azel. Walau Azel tak bisa untuk memenuhi kemauan ibunya tetapi dia bisa membantu melalui ide pendapat yang dia kemukakan.
"Terima kasih, Ibu sudah mendengarkan usulanku, sekarang aku bisa tidur nyenyak malam  ini, hehe," ucapnya sambil meninggalkan kamar ibunya.
Farida pun bersiap untuk beristirahat, setidaknya apa yang diutarakan oleh Azel, sudah memberikan gambaran dan arahan untuk ke depan. Farida merebahkan dirinya di samping Dafin.
Azel pun juga sudah tertidur, memang mereka seharian bermain air. Farida dan anak-anaknya melewatkan malam itu dengan tidur pulas.
Sementara Erwin yang masih enggan pulang ke rumah, hatinya  penuh dengan ketidakpastian. Duduk di warung kopi, hanya melihat orang bermain domino sambil taruhan, sementara dia, apa yang ingin dipertaruhkan. Dompetnya sudah kering. Apa yang sudah dilakukan Erwin adalah kesia-siaan. Anaknya sangat membutuhkan perhatian dan kerja kerasnya. Akan tetapi jiwanya masih diselimuti oleh khayalan dan harapan bisa mengumpulkan uang dengan cara berjudi. Dia tak menyadari bahwa sebenarnya dia telah dikeroyok secara diam-diam.
"Ah, besok harus tetap kerja, aku pulang saja, sudah larut malam juga. Pasti anak istriku sudah tidur," pikirnya sambil mengendarai motor tuanya itu.
Erwin masuk rumah tanpa suara. Dia langsung pergi beristirahat di kamar Rania yang sudah agak lama tak ditempati.
Sejak Rania berada di penjara, kamar itu selalu kosong.
Rania yang tetap dipenjara karena dia tak bisa menyewa pengacara dan keluarga korban belum datang untuk mencabut tuntutan, atau memaafkan.
Rania, sudah tak memikirkan kapan dia dibebaskan dan dengan cara apa dia akan dibebaskan. Rania yang kuat seperti laki-laki itu, sudah ada lagi yang berani mengganggunya. Sejak dia mampu mengalahkan Alya  yang sok jagoan itu.
Bagi Rania dipenjara cukuplah, bisa makan dan tempat tinggal  gratis, begitulah pikiran pendeknya untuk menghibur diri. Walaupun sebenarnya dia merasa bersalah telah mengabaikan tugasnya menjaga anak saudaranya sendiri.
"Bagaimana bnasin Dafin saat ini ya, kok di malam selarut ini, aku tiba-tiba inga dirnya. Dafinku sayang Dafinku yang malang," pikirnya.
Semakin dia ingin melupakan anak itu, semakin kuat pula bayangan Dafin kecil itu bergantungan di pikiran sadarnya.
"Ini ada apa ya, apakah ini pertanda Dafin merindukan aku, ah tapi tak mungkin. Ataukah Bang Erwin membuka pintu maaf buatku dan menjemputku untuk kembali, ah aku ngarap ya," pikirnya lagi.
Rania mencoba untuk tidur, semua penghuni penjara sudah tertidur semua. Udara yang dingin karena baru saja hujan reda di sekitar penjara. Dalam dinginnya malam, dia tidur dengan berbantalkan telapak tangan dan berselimutkan kain sarung yang dibunguskannya ke tubuhnya.
"Nte, Nnte, pulang, aku rindu Nte.  Masakan Nte enak. Nte..." suara itu begitu terdengar jelas.
"Dafin... maafkan Tante ya. Tante janji akan merawat Dafin dengan baik," ucap Rania sambil mengulurkan tangannya yang ngin menggendong Dafin.
"Sudah dulu Nte. Besok aku jemput Nte ya, tunggu ya," Dafin menghilang diantara gelapnya malam.
Dafin...Dafin, jangan pergi, jangan pergi," ucapnya ngigau.
"Hai, Rania bangun. Kamu mimpi apa, masih pukul 03.00 WIB nih, ganggu tidur orang saja," tegur  yang wanita disampingnya.
"Mana Dafin?" tanyanya separuh ngigau. "Dafin apa, siapa itu Dafin. Apakah dia pacarmu? Emang ada juga yang naksir kamu?" Ledek temannya.
"Eh, maaf. Aku telah menganggu tidur kalian," ucap Rania kepada penghuni kamar yang pada bangun dengar percakapan Sinta.
"Emangnya kamu mimpi apa ha?" tanya Sinta lebih lanjut.
"Aku mimpi keponakan aku yang sudah ku celakai. Dia memaggil aku, katanya rindu," ungkap Rania lemas.
"Moga saja ini pertanda baik, semoga keluarga mu memaafkan kamu dan mencabut tuntutan nya," ucap Sinta.
"Entahlah, tetapi aku pantas dihukum, aku sudah sangat kejam kepada anak ya g tak berdosa.

Quotes

"Janganlah berputus asa dari Rahmat Allah, setiap ada kesulitan pasti akan ada jalan keluarnya"


DON'T CALL ME AUTISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang