Dafin masih tetap berada di ruang Pak kepala.
"Pasha, papamu akan datang, kamu temani bapak di sini ya," ucap Pak Johan.
"Ya Pak," ucap Dafin sambil berjalan ke arah lemari Pak Johan. Dia melihat ada hasil karya siswa yang terpajang. Dia berusaha untuk menjangkaunya.
Pak Johan yang melihat Dafin yang akan menjangkau koleksi itu,
"Pasha, kamu suka koleksi itu ya. Itu karya kakak kelas yang sudah tamat. Sebentar, Bapak bantu untuk mengambilkannya. Itu terlalu tinggi untuk kamu jangkau," ucap Pak Johan sambil mengambilkan koleksi lampu hias yang dikelilingi manik-manik itu.
Pak Johan pun memperagakan cara menghidupkan lampu hias itu.
"Indah sekali. Suka... Suka," kata Dafin.
Pak Johan menghubungi papa Dafin,
Dafin membayangkan tentang karya yang bisa dia buat seperti karya tersebut.
"Apakah Pasha menyukainya? Atau Pasha akan membuat sesuatu yang lebih bagus dari ini?" tanya Pak Johan bersahabat.
"Pinjam Pak," ucap Dafin singkat.
Dafin memang tidak seperti anak lainnya yang cas cis cus ngomong. Dafin sangat irit bicara , dia lebih banyak bergerak dari pada bicara.
"Baiklah Nak... Kamu boleh meminjamnya. Bapak yakin kamu akan menduplikatkan lebih bagus lagi,"ucap Pak Johan sambil mengusap kepalanya.
"Sebentar ya Nak, Bapak mau nelpon papamu dulu, ucap Pak Johan sambil mengambil handphone yang ada di meja kerjanya.
"Salam Pak, ini Johan kepala sekolah Pasha Pak, mohon maaf sebelumnya, nanti ketika jemput Pasha, singgah ke kantor dulu ya. Ada sesuatu yang perlu kita diskusikan," pinta Pak kepala.
Andri yang ditelepon oleh Pak kepala merasa heran dan bertanya-tanya,
Apa ya yang akan dibicarakan oleh Pak Johan? Apakah tentang Pasha atau ada hal lain yang ingin dia sampaikan.
Pak Andri adalah salah seorang donatur tetap yang membantu pengembangan sekolah tersebut semenjak Pasha bersekolah di sana,
"Baik Pak, sebentar lagi saya akan meluncur.
Pengusaha sukses itu pun meninggalkan kantornya dan bergegas ke sekolah Dafin,
Walau masih bertanya-tanya di hati, tetapi dia mencoba untuk berpikiran positif.
"Semoga ini adalah berita bagus tentang perkembangan Pasha," pikirnya lagi.
Sesampai di parkiran sekolah, dia bertemu dengan rekan bisnisnya,
"Aryo? Kamu ? Anakmu sekolah di sini juga?" tanya Andri.
"Benar, anakku sudah kelas 4. Dan kamu Andri?" Dia balik bertanya.
"Anakku masih kelas 1, anakku laki-laki," jelasnya.
"Kalau gitu sama, anakku juga laki-laki," balas Aryo sambil berlalu untuk menjemput putranya.
"Lucky, Kok murung, seperti tak semangat gitu," tanya Aryo.
"Sudah lah Pap, ayo pulang, nanti aja ngobrolnya," jawab Lucky sewot gitu.
Arya yang paham watak anaknya, tak lagi memperpanjang bertanya, dan langsung memantu Lucky menenteng tas Lucky menuju mobil.
Adri yang sampai di ruang kepala sekolah, melihat Dafin yang sedang asyik memperhatikan lampu hias,
"Tapi... Pasha... Kok mukamu memar, Andri langsung mendekati putranya.
"Duduk dulu Pak, itu sudah diobati, ini juga yang ingin kita bicarakan di samping yang lainnya. Sebentar Pak," ucap Pak Johan sambil memanggil Bu Dewi guru BK,
"Bu Dewi, izin bawa Pasha main dulu ya. Nanti kalau sudah selesai akan saya hubungi lagi," pinta Pak Kepala.
"Begini Pak Andri, tadi di kamar mandi ada sedikit kesalahpahaman antara Pasha dengan kakak kelas 4. Pasha katanya main air dan mengenai celana Kakak kelas 4 itu. Lalu kakak kelas itu marah dan menghina Pasha," jelas Pak Johan.
"Maaf, menghina seperti apa maksudnya?" tanya Andri sedikit emosi.
"Itulah Pak yang namanya anak-anak tak pandai bicara lebi bijak, dia menyebut Pasha Autis, mungkin korban sinetron atau film," kata Pak Johan.
Andri mulai memahami posisi anaknya.
"Jadi bagaimana selanjutnya?" tanya Andri yang mulai menurunkan nada emosinya.
"Besok rencananya saya akan panggil orang tua anak itu untuk bisa lebih sopan dan menyayangi adik kelas dan pentingnya memaafkan kesalahan orang lain yang bisa saja tanpa sengaja. Namun saya bincangkan dulu dengan Pak Andri. Saya tak ingin hanya karena ketidaktahuan anak, kita orang tua sampai berperang, atau berselisih.
"Baik Pak, saya setuju atas tindakan dan kebijakan Bapak selaku kepala sekolah. Saya ngikut saja.
"Kapan Bapak ada waktu untuk bersilaturahmi setelah besok saya bertemu dulu dengan orang tua kakak kelas tersebut?" tanya Pak Johan lagi.
"Atur saja waktunya oleh Pak kepala, saya menyesuaikan saja. Jumat pagi juga boleh sepertinya, hari baik dan barokah juga," tanggap Andri.
"Satu lagi, saya lihat potensi Pasha luar biasa, namun dia punya keterbatasan dalam beberapa hal. Mungkin kalau boleh saya sarankan, Pasha boleh disediakan guru pendamping. Hal ini banyak juga yang sudah dilakukan eh sekolah lain. Insyaallah akan sangat membantu fokus belajar dari Pasha. Lagi pula Bapak sangat mampu untuk itu. Karena gaji guru pendamping dibebankan kepada orang tua. Dan ini bukanlah keharusan, hanya saja sekedar saran. Boleh dicoba atau pun tidak," jelas Pak Johan.
"Setuju, lakukan yang terbaik untuk Pasha. Semua kebijakan sekolah yang terbaik buat Pasha, silakan saja. Saya malah banyak berterima kasih," ucap Andri.
"Pak Andri, saya juga melihat, sepertinya Pasha punya ketertarikan di bidang pra karya. Ini karya kakak kelas, dia menunjukkan ingin tahu lebih dibandingkan dengan yang lainnya. Dari banyak yang masuk ke kantor ini, baru Pasha yang punya ketertarikan lebih. Jadi saya pinjamkan ini untuk di bawa pulang, silakan nanti Bapak Tanya atau arahkan tentang rencana apa yang ada di kepalanya," jelas Pak Johan.
"Baik, Pak. Saya akan sediakan waktu untuk mendampingi dia dan mensupportnya.
"Bu Dewi, silakan bawa lagi Pasha ke kantor ya," pinta Pak Kepala.
"Baik Pak," ucap Bu Dewi sambil memasukkan handphone nya ke sakunya.
"Ayo Pasha sayang, kita jumpai Papa dan Pak Kepala sekolah. Mereka memanggil Pasha," kata Bu Dewi lembut.
"Baik Bu," ucap Pasha sambil memegangi jari Bu Dewi, mereka jalan beringin dan berpegangan tangan layaknya seorang ibu dan anak.
"Assalamualaikum, Pasha datang," ucap Bu Dewi mengajarkan Pasha.
"Waalaikum salam, masuk," ucap Andri dan Pak Johan kompak.
"Pasha, kita mau pulang, ucapkan terima kasih pada Bu Dewi dan Pak Kepala," pinta Andri.
"Terima kasih Bu Dewi. Terima kasih Pak Kepala," ucapnya tulus.
Dafin dan Andri pamit meninggalkan ruangan kepala sekolah dan langsung menuju mobil.
Andri berfikir untuk mengajak anaknya ke dokter, dia tahu bahwa Dafin tidaklah sekuat dan sesehat yang orang bayangkan.
"Pasha, sayang. Kita singgah sebentar ke klinik ya. Kita mau ngobrol sebentar dengan dokter dan minta bantuan dokter untuk menghilangkan rasa nyerinya," ajak Andri.
"Baik Pa," ucapnya.
Sementara Pak Johan berbincang serius dengan Bu Dewi dalam membahas Pasha. Pak Johan juga menjelaskan rencananya yang sudah disetujui oleh orang tuanya.
"Ini sudah sangat tepat Pak, kita tak ingin ada lagi anak yang akan membuly Pasha. Dengan guru pendamping, dia akan lebih fokus insyaallah," kata Bu Dewi.
"Berarti, tugas Bu Dewi mencarikan guru pendamping buat Pasha. Bu Dewi sudah mengamati sikap Pasha. Carilah yang sesuai, moga ada kemajuan nantinya," harap Pak Johan.
Dafin pun diperiksa oleh dokter,
"Ini biasa Pak. Ini hanya memar luar tak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap dokter.
Dalam perjalanan pulang. Dafin sudah keletihan dan tertidur, sementara Andri terus melajukan kenderaan menuju rumah.
Naira sudah menunggu dengan cemas, karena tak biasanya Dafin pulang selambat itu.
Andri memarkirkan mobilnya dan menggendong Dafin menuju kamarnya,
"Ibu...ibu..." ucap Dafin dalam tidurnya.
Andri yang mendengar ucapan Dafin dalam ngigaunya, sedikit cemas.
"Apakah anak ini akan menjadi anak kami pengganti Dino yang sudah pergi selamanya ataukah suatu saat di akan bertemu lagi dengan keluarganya," pikirnya.
Andri meletakkan Dafin diatas ranjang dan membiarkan untuk istirahat.Quotes
"Dengarkan dan perhatian suara hati dan bakat anak, jangan memaksakan anak melakukan sesuatu yang bukan bakatnya"
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T CALL ME AUTISM
Ficção CientíficaSeorang anak yang mengalami cedera waktu kecil, dan mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibu asuh dan mengakibatkan semakin terganggu psikisnya sampai akhirnya semua menjadi terungkap.