Episode 14 Derita Dafin

3 0 0
                                    

Sepulang sekolah, Ridho mengajak Azel main ke rumah,
"Zel, sudah lama tak main ke rumah, main yuk," ajak Ridho.
"Tapi, kemarin-kemarin kami sibuk di rumah sakit ada sedikit masalah keluarga. Adikku Dafin dioperasi," jelas Azel.
"Pantesan aku tak lihat kamu, jadi sekarang gimana?" tanya Ridho.
"Alhamdulillah, sudah di rumah, namun dia tak seceria dulu. Kadang murung dan lesu. Kadang mengamuk dan tak terkendalikan. Kata ibuku, dokter menyarankan operasi ulang ke Singapura, akan tetapi itu tidak akan mungkin," jelas Azel.
"Kasihan ya, padahal di lincah dan imut. Aku pernah ketemu dulu waktu ambil rapor, digendong ibumu, bukan?"
"Ya benar," ucap Azel.
" Tapi ... ayolah ke rumah sebentar, santai kita di kamarku. Nanti jam tiga-an gitu pulang, ayolah. Aku rindu tuk berbincang sambil main game dan nonton bersama," ucap Ridho memelas.
"Aku sebenarnya ingat adikku, tapi aku tak bisa menolakmu," jawab Azel yang membuat Ridho semangat.
"Yes, gitu dong, cakep!" Ucap Ridho.
Mereka pulang bareng ke rumah Ridho, seperti biasa, di rumah hanya ada bibi yang menyiapkan keperluannya.
"Bi, bisa tolong bawakan makan siang kami ke kamar? Kamiau main sambil makan," pinta Ridho
Bibi tak mungkin bisa menolak permintaan Ridho. Bibi pun menyiapkan makan siang bahkan cemilan buat mereka. Ridho dan Azel semakin betah di kamar.
"Azel, kalau lapar makan aja, tak usah segan pula. Di belakang masih banyak.
Kondisi keluarga Azel memang berbeda dengan Ridho. Ridho anak tunggal yang semua keinginannya terpenuhi secara materi. Tetapi dia sepi di rumah.
Sementara Azel lumayan ramai, namun kehidupannya selalu kekurangan, apalagi ayahnya yang selalu menyusahkan ibunya.
Azel sangat menikmati semua yang ada di rumah Ridho. Baik hal makanan, permainan dan rumah yang luas, mewah dan nyaman.
Sebenarnya Azel tidak terlalu menyukai permainan game, namun Ridho selalu mengajak dan mengajarkan. Azel pun terus mengimbangi Ridho. Mereka duduk di atas ranjang yang empuk. Duduk bersandar dengan laptop terbuka dan handphone yang juga dimainkan. Sambil mengemil, mereka asyik bermain seru-seruan tanpa ingat waktu.
"Hai Ridho, ternyata sudah pukul 4 sore, aku harus pulang, nanti aku bisa kena omel nih," ucap Azel bergegas minta pulang.
"Ok lah besok sini lagi ya," pinta Ridho.
"Ngak janji ya, dah, aku pamit," Azel bergegas pulang.
Farida dan Rania yang kompak menjaga Dafin. Farida pun menceritakan rencananya untuk membuka loundry dan membuat kue untuk diantar ke kedai.
"Rania, bagaimana pendapatmu untuk buka loundry dan buat kue itu?" tanya Farida.
"Bagus juga Kak, aku akan bantu," tanggap Rania.
Mereka pun merencanakan dan menyiapkan ruang depan untuk tempat loundry.
"Tapi masalahnya, kita belum punya modal untuk membeli mesin cuci dan setrika uap," keluh Farida.
Rania ingat, sebelum masuk penjara, dia punya tabungan dan cincin yang dia simpan di lemari pakaiannya.
"Coba aku lihat, moga saja masih ada," ucapnya dalam hati.
Dia bergegas ke kamar dan membongkar pakaian yang ada di dalam lemari.
"Alhamdulillah, masih ada. Moga ini bisa menjadi solusi buat Kak Farida," pikirnya.
Rania pun membawa uang tabungan dan cincinnya dan menyerahkan ke Farida.
"Kak, aku ingat ada tabunganku sedikit dan cincin. Alhamdulillah masih ada, silakan digunakan, moga ini bisa membantu," ucapnya.
"Benarkah? Alhamdulillah. Terima kasih dan insyaallah akan segera diganti setelah dapat uang," tanggap Farida sambil menerima pemberian Rania.
"Kak, itu tidak perlu, yang penting bagaimana usaha ini lancar dan bisa membantu ekonomi kita, dan Dafin bisa terjaga dengan baik," tanggap Rania.
Rania yang sekarang bukan Rania kejam dan cuek. Rania yang sekarang seolah jelmaan malaikat yang ada dipenjara.
Penjara sudah membuatnya sadar dan berubah 180 derajat.
"Terima kasih ya Allah, engkau telah hadirkan adik yang baik untuk kami, berikanlah jodoh terbaik untuknya ya Allah," ucapan syukur dan permintaan Farida kepada Khaliknya.
"Assalamualaikum, Azel pulang Bu, maaf terlambat, tadi ridho mengajaknya main ke rumahnya. Awalnya aku nolak, tapi dia memohon, jadi aku kasihan. Rumahnya sangat besar, namun dia kesepian, mama papanya sering ke luar kota. Sementara dia ditinggalkan bersama seorang bibi," ucap Azel panjang lebar.
"Sebenarnya ibu mau marah, karena Azel terlambat pulang, tapi mendengar ceritamu, ibu kasihan mendengar keadaan Ridho. Untuk selanjut jika kamu singgah dan lambat pulang, beritahu ibu ya agar tak panik," pinta ibu Azel.
"Jadi ibu tak marah? Terima kasih ibu. Mana Dafin, aku mau bermain bersama Dafin," tanya Azel.
"Ada di kamar sedang main dengan Nte Rania," jelas Farida.
Azel pun segera ke kamar, dia melihat adiknya sedang asyik bersama Nte Rania.
"Dafin... Dafin... Dedek sayang, Abang pulang," sapa Azel. Dafin pun melihat ke arah abangnya dan berdiri ke arah Azel.
"Bang, jalan.." Dafin minta di ajak jalan.
Azel sudah biasa membawa Dafin ke lapangan segi tiga.
Nte, aku mau tukar baju dulu, lalu ajak Dafin main di lapangan.
Dafin yang tampak bersemangat, dia mengejar bola dan berlari kegirangan.
Tak lama kemudian, Beryl pun juga nyampai di rumah.
"Beryl, kok lambat juga pulang, sebaiknya mulai besok, pulang sekolah langsung pulang ya, nanti kalau mau izin main, kan bisa disampaikan. Ini lihatlah, baju sekolah, kotor seperti ini, mohon jadi perhatian dan tak diulang lagi," tegur Farida.
"Ya Bu, terima kasih," jawab Beryl.
Dia tak menduga ibunya akan seperti itu.
Beryl langsung masuk, dan mandi.
Farida ingin agar Azel pulang dan segera mandi,
"Beryl, wah hebat, ini yang ibu suka, pulang ke rumah lalu mandi dan rapi. Tolong ke lapangan segi tiga, kau ajak adikmu main dan suruh Azel pulang untuk mandi," pinta Farida lagi.
Beryl merasa ibunya lebih menyayangi abangnya ketimbang dirinya.
"Apakah ini artinya ibu tak menyayangi aku?" Bapernya.
Beryl pun berlari ke lapangan.
"Bang, gantian, aku yang jaga Dafin. Abang segera pulang, di suruh mandi oleh Ibu," panggil Beryl.
Azel pun segera menggendong Dafin ke arah Beryl. Tiba-tiba bola voly terbang dan memantul kencang di kepada Dafin.
Hidung Dafin mengeluarkan darah segar dan Dafin pun dilarikan ke klinik.
Ini menjadi hari yang mengkhawatirkan bagi Azel.
Bukannya dia mandi akan tetapi dia harus mencari tempat untuk mengantar adik. Permainan voly pun berhenti seketika.
Datanglah seorang lelaki yang ingin mengantarkan Dafin untuk berobat. Dafin kondisinya sudah tak sadarkan diri. Lelaki itu yang mengurus semua biaya selama pengobatan Dafin.
Azel, ingin menghubungi ibunya, tetapi dia tak punya handphone.
"Beryl, kamu pulang, beri tahu ibu bahwa adik di klinik.
Setelah diperiksa dokter, dokter menyuruh agar Dafin di periksa di rumah sakit saja. Lelaki itu pun mengurus rujukan Beryl ke ruah sakit.


DON'T CALL ME AUTISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang