Episode 2 Kekecewaan Farida

8 0 0
                                    

Azel yang sangat kesal melihat tingkah ayahnya, mengajak Dafin untuk jalan-jalan sore. Azel sudah tidak lagi menghiraukan cacian ayahnya kepada dirinya, yang paling penting adiknya menjadi tenang.
Ketika Azel sedang membawa Dafin bermain di lapangan seberang rumah, Dafin menunjuk ke arah becak yang berhenti di depan rumah sambil berkata,
"Ibu pulang, ibu pulang,"  Dafin berlari ke arah ibunya, Azel berusaha untuk mengejar Adiknya, hampir saja Dafin tergilas oleh becak. Becak yang kaget melihat anak kecil berlari ke arahnya langsung menghentikan kenderaannya secara mendadak. Kepala Dafin terbentur ke roda becak, untuk tidak ada cedera. Warga langsung berkerumun ingin mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
Farida yang sagat khawatir tentang Dafin, segera mengambil dan menggendongnya untuk masuk ke dalam rumah. Seorang pemuda datang dari lapangan membubarkan kerumunan itu,
"Sudah, sudah, bubar, bubar, apa yang kalian tonton, ini tak akan membantu kecuali kalian bisa bantu," ucap pemuda itu tegas.
Warga yang tadinya ingin kepo dengan urusan orang lain, langsung membubarkan diri setelah pemuda itu membubarkan mereka.
Azel yang cemas tentang kejadian itu, masuk rumah, berjalan di belakang ibunya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Erwin.
Farida, seperti orang sakit gigi tak sanggup menjawab pertanyaan suaminya, dia langsung membawa Dafin ke kamar.
Dafin yang sangat merindukan pelukan hangat ibunya, langsung merasa tenang.
Erwin yang merasa diabaikan, langsung masuk kamar dan berkata,
"Farida, apakah kamu sudah tuli? atau bisu? Sehingga tak bisa menjawab pertanyaanku, atau apakah aku tak boleh lagi untuk bertanya suatu hal," ucapnya sambil meninggi.
"Abang, sudah berapa lama kita berumah tangga? Kok sekarang bisa baperan begini. Mudah sekali untuk marah dan merasa tersinggung. Sudahkah Abang memeluk Dafin hari ini? Dia butuh perhatian ayahnya," ucap Farida yang kesal saat ini.
Erwin merasa terpukul dengan ucapan Farida,
"Sudahlah, kalian sama saja, aku malas untuk terus berdebat, lebih baik aku keluar untuk menenangkan diri," ucap Erwin meninggi.
Farida yang belum sempat istirahat itu menyambung pembicaraan suaminya,
"Tempat yang paling baik untuk menenangkan diri adalah masjid dan tempat istirahat yang paling baik adalah kuburan," ucap Farida spontan.
Erwin berlalu, seolah-olah dia tidak mendengarkan ucapan istrinya. Dia langsung menggas kenderaannya dan menelusuri jalan raya.
Erwin yang selalu bersifat apatis terhadap perkembangan keluarga, memilih untuk pergi berkumpul bersama teman-temannya untuk menghilangkan suntuknya.
Dalam perjalanan, Erwin melihat Beryl yang sibuk memancing ikan di tepi sungai, memang benar, semua temannya adalah laki-laki dan usia temannya semua diatas usianya, kebanyakan anak kelas 5 dan 6.
Erwin menghentikan kenderaannya,
Beryl, mengapa kamu masih memancing ikan sesenja ini, ini sudah hampir mangrib. Ayo pulang, ayah antar," panggil Erwin.
Beryl yang kaget melihat ayahnya, langsung berlari meninggalkan temannya, secepat kilat dia berlari agar segera sampai ke rumah. Sepertinya Beryl tidak ingin bertemu ayahnya, seolah ayahnya datang mencarinya dan akan menerkamnya. Sungguh tak disangka seorang nak perempuan, bisa berlari sekencang itu.
Setelah Erwin yakin Beryl sudah menuju rumah, Erwin kembali membelokkan kenderaannya dan melanjutkan rencananya untuk menyenangkan diri mengatasi suntuknya dengan kejadian di rumah.
"Hai Erwin, tumben ikut gabung kita di sini, sudah lama tak muncul, kami pikir sudah dipingit di rumah, ha ha," kata saah seorang temannya.
"Ah kalian ini, aku bukannya ngak mau ngumpul, tapi aku sering pulang kerja kemalaman. Aku kecapean dan ketiduran, coba kalian jemput aku, pasti aku akan terbangun, kalian juga sih," ucap Erwin mengelak.
"Sekarang angin apa yang membawa kamu ke sini, apakah kita akan main domino atau adu ayam, tapi harus taruhan dong," ucap temanya yang lain.
"Ok, siapa takut, aku ada bawa sedikit uang, cukuplah untuk main-main sebentar," jawab Erwin.
"Ha ha, sebentar? Kalau sebentar tanggung, tak usah saja, biar kami aja yang main, kamu cukup jadi wasit aja, sepertinya kamu sedang kere," ledek temannya.
Erwin pun terdiam dan mengikuti saja apa yang dikatakan temannya, dia hanya mencatat angka-angka. Sambil menghisap rokok perai dan ditemani secangkir kopi hitam, Erwin sedikit lebih tampak tenang untuk sesaat.
Sementara Farida merasa gelisah dan kecewa karena suaminya bel juga pulang.
"Suamiku memang tidak pengertian, kami sudah sibuk bekerja seharian, mestinya bisa untuk bersantai dan berbagi cerita sambil memperhatikan perkembangan anak. Bukannya cuek, marah-marah dan bertengkar kayak gini," ucap Farida dalam hati sambil menghela nafas panjang. Farida memperhatikan ke tiga anaknya yang sudah tertidur. Mestinya dia sangat bahagia dan bersyukur memiliki tiga orang anak; Azel, Beryl dan Dafin. Ketiga anaknya adalah harta terindah yang dia miliki. Dia bekerja dari pagi sampai sore hanya demi memenuhi kebutuhan anaknya. Farida selalu memandangi ketiga anaknya dengan berbagai watak perangai yang berbeda. Sesekali dia melirik ke dinding, dia memperhatikan pergerakan jarum jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.39 WIB. Memang ini adalah malam Minggu, besok suami istri itu libur kerja. Namun harapan Farida untuk berkumpul keluarga malam Minggu menjadi gagal. Apakah ini karena sedikit insiden sore tadi ataukah suaminya memang sudah merencanakan untuk mengulang perangai lamanya berkumpul menghabiskan malam bersama teman-temannya.
"Entahlah," pikirnya.
Azel tiba-tiba terbangun, nyamuk tidak mau kompromi dengan dirinya, sekuat tenaga nyamuk berupaya menghisap darahnya. Mungkin karena darah Azel terasa manis dan bersih. Beda dengan darah Beryl yang terasa pahit dan kotor.
"Ibu, kok ibu belum tidur? Ada apa Bu? Sudah selarut Ibu masih termenung, tidakkah ibu letih bekerja seharian? Ibu butuh istirahat yang cukup," ucap Azel dengan bijak.
"Anakku, kamu sangat baik dan penuh pengertian, moga kelak kamu menjadi orang sukses dan berbakti ya Nak! Kamu sangat bisa mengayomi adik-adikmu," lanjut Farida.
Azel mengangguk sambil mendekati ibunya, dia membawakan minyak urut, Azel berniat untuk mengurut ibunya agar lebih rileks.
"Ibu, Azel mohon, Ibu berbaringlah sebentar, Azel ingin mengurut Ibu, moga bisa mengusir penat Ibu yang sudah bekerja seharian.
Betapa senang hati Farida mendengar ungkapan Azel.
Farida pun tanpa memberikan tanggapan lagi, langsung merebahkan tubuhnya ke kasur.
Layaknya tukang urut, Azel mengurut mulai dari jari-jari kaki dan telapak kaki, dianjutkan untuk mengurut betis, paha, pinggang, punggung hingga ke kepala.
Farida langsung tertidur pulas, Azel merasa senang melihat ibunya yang sudah bisa istirahat. Tiba-tiba Azel teringat ayahnya yang kaku, dingin dan pemarah,
"Eh, di mana ayah sekarang ini, mungkinkah dia tak akan pulang dan menginap di rumah temannya, tapi siapa? Masa ia ada orang dewasa ada acara nginap di rumah teman, kayak anak sekolah aja,"pikirnya.
Azel yang hobi menulis itu, langsung mengambil buku dan membuat tugas cerpen yang di suruh oleh Bu guru.
Sekolah tempat Azel belajar, mengikuti program literasi bekerja sama dengan Gerakan Menulis Nasional bersama Nyalasia. Setiap awal bulan, guru-guru di sekolah Azel meminta hasil karya siswa untuk dikumpulkan dan dibukukan dan diletakkan di perpustakaan sekolah setelah diproses editing dan diterbitkan.
Azel merupakan salah seorang andalan guru, dalam menghasilkan karya cerpen dan puisi. Menurut gurunya, Azel adalah siswa yang berbakat di bidang kepenulisan.
Kali ini, Azel ingin menulis cerita pendek tentang keluarganya dari sudut pandang yang berbeda. Azel memulai tulisannya tentang ide pokok,
"Tangisan Dafin".
Setelah cerita ditulis, judulnya dia ganti dengan "Harapan Zien"
Azel mampu menyelesaikan satu cerpennya malam itu. Sambil menulis, Azel selalu menatap wajah Dafin tiada henti. Kali ini Dafin betul-betul menjadi inspirasi Azel dalam menulis tugas yang diberikan oleh gurunya.

DON'T CALL ME AUTISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang