Mendung di luar sudah berubah menjadi gerimis. Udara dingin mulai naik ke permukaan kaca jendela, hingga membuat sedikit berembun. Razavi memandang ke luar jendela kelas yang sedikit kabur oleh percikan air. Memperhatikan gerimis yang perlahan-lahan berjatuhan membasahi bumi. Hanya membutuhkan waktu satu menit, gerimis di luar berubah menjadi hujan deras.
Hujan deras memukul-mukul genteng dan suaranya terdengar begitu jelas di ruang kelas yang sepi serta penuh dengan kebisuan. Untung saja ia datang tepat waktu sebelum jam menunjukkan pukul tujuh. Jika terlambat, maka kesan baik yang selalu diperlihatkan selama ini akan menjadi sia-sia.
Pikiran Razavi berkelana. Melamunkan banyak hal sembari menatap hamparan kaca yang berkabur. Semesta seakan-akan mengerti mengenai perasaannya saat ini. Hatinya sedang mendung, ia ingin sekali menangis.
Menumpahkan semua yang terpendam di hati. Masa bodoh kalau ia adalah laki-laki atau malah dianggap cengeng. Akan tetapi, ia tidak bisa melakukan hal itu, berteriak meminta kebebasan saja ia tak bisa. Apalagi menangis meraung di hadapan orang yang paling dihormati. Kemungkinan malah luka babak belur yang didapat.
"Zavi, kamu dipanggil sama Bu Harisa."
Suara seorang gadis membuyarkan berbagai lamunan yang singgah di kepala Razavi. Ia menoleh sekilas ke samping kiri, di mana Aulia tengah berdiri sambil menatap dengan heran. Buru-buru ia membuang tatapan ke arah lain dan beranjak dari duduk, bersiap untuk menemui Bu Harisa—guru Bahasa Indonesia itu.
"Bu Harisa?" Alis Razavi mengerut dengan bingung, sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Menatap ke sekeliling kelas yang kini sudah dipenuhi oleh anak-anak lainnya.
Melamun dengan waktu yang cukup lama, membuat Razavi lupa dengan keadaan sekitar. Sementara Aulia mengangguk mengiakan pertanyaan dari Razavi.
"Iya, di ruang BP," balas Aulia sembari berjalan ke mejanya sendiri. Tepat di bangku belakang Razavi.
Razavi tak membalas lagi. Ia lebih memilih melangkah menuju ruang BP untuk menemui Bu Harisa. Merasa heran mengapa dipanggil ke sana. Perasaan selama duduk di bangku kelas XII, Razavi tidak pernah melakukan kenakalan apa pun. Paling hanya ditanya mengenai luka lebam di wajah. Namun, ia juga sering kali mempertahankan posisi peringkat pertama, apabila peringkat yang didapat berada di bawah.
Langkah Razavi terhenti saat ingin berbelok ke ruang BP. Telinganya tidak sengaja menangkap suara berat dari seseorang yang begitu dikenali. Tubuh Razavi bersembunyi di dinding samping pintu ruang kepala sekolah. Menajamkan telinga untuk menguping apa yang tengah dibicarakan oleh kepala sekolah bersama sang papa di dalam sana.
"Beruntung Bapak memiliki anak seperti Razavi. Sudah tampan, pintar lagi. Apalagi hasil olimpiade Fisika bulan lalu sudah keluar dan Razavi mendapatkan juara kedua dari olimpiade tersebut," ucap Pak Tatang sembari mengulas senyum senang pada sang papa.
Razavi menelan ludahnya sendiri. Memejamkan mata guna meredakan degupan di jantung. Juara dua tidak ada artinya di mata sang papa. Buru-buru ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang BP. Takut kalau sang papa memergoki ia sedang menguping.
Tidak lama kemudian, akhirnya ia sampai di depan pintu ruang BP. Mengembuskan napas kasar sebelum mengetuk pintu tersebut. Setelah menenangkan diri sendiri. Razavi mengetuk pintu, sehingga suara dari wanita paruh baya dari dalam mempersilakan ia masuk.
Razavi menunduk hormat saat melangkah masuk sembari mengucapkan salam. Lalu duduk di kursi depan setelah mendengar instruksi dari Bu Harisa. Sungguh, pikiran Razavi kini terbagi dua. Ia tidak sedang memikirkan apa yang ingin dibicarakan oleh Bu Harisa. Melainkan memikirkan alasan apa yang akan dibuat agar terhindar dari kemarahan sang papa nanti.
"Maaf, Bu. Kalau boleh tahu, Ibu memanggil saya ke sini untuk apa, ya?" Lama berdiam, Razavi mengajukan satu pertanyaan yang membuat ia kebingungan.
Bu Harisa yang tadinya sibuk dengan layar monitor laptop, kini menatap Razavi sekilas. Kemudian, mendorong secarik kertas formulir ke hadapan Razavi. Laki-laki itu melirik sekilas kertas yang ditodongkan oleh Bu Harisa.
"Lomba menulis karya ilmiah, Za. Ibu ingin kamu mewakili kelas XII Mipa 1 untuk ikut. Kamu bisa, 'kan?"
Razavi mengambil secarik kertas yang ada di atas meja. Membaca sederet kalimat yang tertera di kertas tersebut. Menimang-nimang permintaan dari Bu Harisa.
"Bawa dulu formulirnya, Za. Kalau kamu berubah pikiran, bisa isi itu dan kembalikan ke Ibu lagi. Kalau tidak bisa ikut, enggak apa-apa," ujar Bu Harisa, seolah-olah mengerti dengan keraguan serta kebimbangan di raut wajah laki-laki itu.
Razavi menarik sudut bibir ke atas membentuk senyuman tipis. Jika jadwal yang dipunya sepulang sekolah tidak padat, mungkin ia akan mengikuti lomba tersebut. Karya ilmiah bukanlah tugas yang mudah bagi Razavi, ia mesti mencari data dan meriset sesuai dengan tema yang ditentukan. Apalagi lomba yang diajukan oleh Bu Harisa itu bertingkat nasional.
"Baik, Bu. Saya akan memikirkannya terlebih dulu. Terima kasih atas informasinya dan saya mohon undur diri," kata Razavi menerima secarik kertas tersebut.
"Tunggu, Za. Nanti jam kedua 'kan ada pelajaran Ibu. Ibu bisa minta tolong sama kamu? Suruh anak-anak untuk mengerjakan buku paket halaman 56-78, baca terlebih dahulu baru diisi. Ibu akan datang terlambat ke kelas kamu," tutur Bu Harisa menatap penuh arti pada Razavi.
Razavi mengangguk mengiakan dan meninggalkan ruangan BP setelah mengucapkan salam serta permisi pada Bu Harisa. Ia berjalan dengan santai menuju kelasnya, memutar arah agar tidak melewati ruang kepala sekolah.
Otak Razavi masih berpikir keras mencari alasan apa yang tepat untuk mengelak. Namun, semakin ia memaksa berpikir, kepalanya malah terasa pening. Membuat ia menghentikan langkah sejenak, melihat ke lapangan sana yang terlihat basah oleh guyuran hujan.
"Kamu menghindar dari Papa, Zavi?"
Suara berat nan tegas milik sang papa menggema di koridor menuju kelas Razavi. Tubuh Razavi tersentak, sedikit menegang merasakan aura dingin nan intimidasi dari sang papa. Ia membalikan tubuh dengan raut wajah seceria mungkin. Menutupi kecemasan dalam diri yang kini mulai menyelimuti benak.
"Papa di sini?" Mengedarkan pandangan ke sekitar. Lalu kembali menatap sang papa yang tengah menatap dengan tajam.
"Kamu tahu apa yang Papa lakukan di sini?"
Senyum di wajah Razavi memudar. Ia menggeleng pelan menunggu kalimat apa yang akan dilontarkan oleh sang papa. Mengepalkan tangan kiri guna mengontrol rasa cemas dalam benak.
"Kenapa kamu tidak bisa mendapatkan gelar juara pertama dalam olimpiade Fisika kemarin, hah? Apakah kamu kekurangan makan hingga tidak fokus dalam pengerjaan olimpiade tersebut?" Nada suara Rayhan---Papa Razavi---terdengar penuh dengan penekanan.
Razavi mengembuskan napas kasar. Sebelumnya ia sudah menduga bahwa Rayhan akan membahas soal itu. Razavi sudah berusaha semaksimal mungkin mengerjakan soal tersebut bulan lalu. Hasil yang didapat pun sangatlah memuaskan, tetapi berbeda dengan sang papa. Lelaki paruh baya itu masih belum puas dengan hasil yang didapatkan oleh Razavi.
"Julian saja mendapatkan juara pertama, masa kamu kalah sama sepupumu itu. Padahal kalau kamu dibandingkan dengan dia, masih pintaran kamu," keluh Rayhan merasa belum puas atas pencapaian Razavi.
Tangan Razavi semakin mengepal. Sudah tak asing lagi ia mendengar kalimat yang terlontar dari sang papa, yang selalu membandingkan dirinya dengan sepupu cerdasnya itu.
"Juara dua pun lumayan, Pa," ucap Razavi dengan pelan.
"Itu bagimu, tidak dengan Papa. Awas saja kalau nilaimu menurun, Papa tidak akan pernah memaafkan kamu!" sentak Rayhan menatap tajam pada Razavi. Kemudian melangkah menjauh meninggalkan Razavi sendiri.
Pandangan Razavi begitu kosong sepeninggalan sang papa. Hati kembali tertekan dengan semua ucapan sang papa. Padahal ia baru saja memulai semuanya dari awal kembali; menjadi sosok yang sempurna di mata sang papa.
"Hidup lo menyedihkan, Za," gumam Razavi pada dirinya sendiri.
TBC:
Semoga enggak zonk hahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Teen Fiction"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...